Thursday, April 28, 2011

My Earphone

"Seperti orang gila saja..."
 
Beberapa orang sering mengucapkan kalimat itu jika mereka tengah mengomentari style saya. Apalagi jika saya sudah memakai topi, dan earphone yang sangat mencolok. Earphone. Benda itu adalah teman terbaik saya, sekaligus menjadi penyumbat telinga dari gelombang ocehan jelek tentang saya, maupun tentang sekeliling saya. (Mungkin termasuk tentang kamu?)

Saya muak mendengar orang-orang mengoceh tentang orang lain, seperti mereka tidak pernah melakukan salah saja. Mungkin mereka tak sadar, jika sebetulnya ocehan mereka tentang orang lain itu suatu saat akan berbalik ke mereka. Karena itulah, karena saya tak ingin termakan ludah saya (atas omongan saya tentang laku orang lain), maka, saya memilih untuk menyumbat telinga saya dengan earphone (baik ada musiknya, ataupun tidak).

Hal ini pun saya lakukan karena saya sadar, saya hidup hanya sendiri. Teman sebaik apapun yang saya punya, toh akhirnya melukai saya juga. Makanya, jangan sekalipun mengucapkan kalimat itu lagi pada saya, mengerti?



Oleh: Tetha Anjani

On the Floor



[Pitbull]
J-LO!

[Jennifer Lopez]

It's a new J-Lo ration
of party people

[Pitbull]

Get on the floor (dale)
Get on the floor (dale)
RedOne

[Jennifer Lopez]

Let me introduce you to my party people
In the club... huh

[Pitbull]

I'm loose
And everybody knows I get off the chain
Baby it's the truth
I'm like Inception
I play with your brain
So don't sleep or snooze
I don't play no games so don't-don't-don't get it confused no
Cause you will lose yeah
Now pu-pu-pu-pu-pump it up
And back it up like a Tonka truck
Dale!

[Jennifer Lopez]

If you go hard you gotta get on the floor
If you're a party freak then step on the floor
If your an animal then tear up the floor
Break a sweat on the floor
Yeah we work on the floor
Don't stop keep it moving
Put your drinks up
Pick your body up and drop it on the floor
Let the rhythm change your world on the floor
You know we're running sh*t tonight on the floor
Brazil, Morocco,
London to Ibiza,
Straight to LA, New York,
Vegas to Africa

[Chorus]

Dance the night away
Live your life and stay young on the floor
Dance the night away
Grab somebody, drink a little more
Lalalalalalalalalalalalalala
Tonight we gon' be it on the floor
Lalalalalalalalalalalalalala


Tonight we gon' be it on the floor

[Verse 2]

I know you got it
Clap your hands on the floor
And keep on rockin'
Rock it up on the floor
If you're a criminal, kill it on the floor
Steal it quick on the floor, on the floor
Don't stop keep it moving
Put your drinks up
Its getting ill
It's getting sick on the floor
We never quit, we never rest on the floor
If I ain't wrong we'll probably die on the floor
Brazil, Morocco,
London to Ibiza,
Straight to LA, New York,
Vegas to Africa

[Chorus]

Dance the night away,
Live your life and stay young on the floor
Dance the night way,
Grab somebody drink a little more
Lalalalalalalalalalalalalala
Tonight we gon' be it on the floor
Lalalalalalalalalalalalalala
Tonight we gon' be it on the floor

[Pibull]

That badonka donk is like a trunk full of bass on an old school Chevy
Seven tray donkey donk
All I need is some vodka and some coke
And watch and she gon' get donkey konged
Baby if you're ready for things to get heavy
I get on the floor and act a fool if you let me
Dale
Don't believe me just bet me
My name ain't Keath but I see why you Sweat me
L.A. Miami New York
Say no more get on the floor

Lalalalalalalalalalalalalala

Tonight we gon' be it on the floor
Lalalalalalalalalalalalalala
Tonight we gon' be it on the floor
Lalalalalalalalalalalalalala
Tonight we gon' be it on the floor

Friday, April 22, 2011

Firasat


Romo, apakah ini yang namanya firasat? Sudah sedari pagi saya menerima tanda-tandanya hingga siang menjelang pun saya langsung buru-buru untuk menemuimu. Sampai-sampai sopir angkot pun menyetir dengan buru-burunya karena mungkin terkena pengaruh firasat yang sedang saya bawa-bawa di mana saya duduk tepat di belakang sopir angkot itu. Saya merasa dia membantu mempercepat pertemuan kita, Romo. Walau saya yakin betul kalau dia tidak tahu menahu tentang saya yang sedang membawa firasat. Dan, empat puluh lima menit pun terlewati. Selang beberapa menit, Romo pun menjemput saya di perempatan lampu merah. Memerah wajah saya melihat Romo. Campur-campur antara malu-malu dengan tersengat sinar matari.


"Ada apa ini?"

Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tapi, ada yang begitu kuat yang saya rasakan. Kita tetap bicara kok sependek-sependek selama di perjalanan. Membicarakan di mana bisa membeli kacang panjang segar sesiang ini untuk makanan hamster. Akhirnya, dapat juga. Perjalanan pulang pun berlalu dengan bisu.

Sesampai di rumah, saya ke ruang TV. Romo ke studio untuk melanjutkan design kaos. Kemudian saya pun ke studio. Hanya untuk mengambil hape karena saya mau online. Komputer sedang Romo pakai. Saya ke teras depan. Kali ini sinar matari sedang tidak mengunjungi teras depan. Saya merasa adem.

Saya membuka Opera Mini. Sudah lama tidak berkunjung ke blog Ecocalipse. Membacanya membuat kita terus-terusan membisu.

Pukul 14.00 WIB membaca Ecocalipse selesai. Saya ke studio untuk meletak hape. Tapi, kamu masih tetap membisu, Romo. Saya pun masuk ke kamar yang sangat berantakan. Seprai dan selimut apalagi bantal dan guling sudah berpindah tempat. Majalah Horison, Go Girl dan Sister berantakan. Buku Immanuel Kant dan Anti-Kapitalisme tercampak di sudut rak. Tumpukan kaos dari jemuran belum dilipat. Tumpukan baju dan celana kotor belum dipisahkan. Pintu lemari baju terbuka semua. Benar-benar artistik kamar musisi dan penulis. "Ke dapur saja dulu." Begitu pikir saya.

Ke dapur, segera membereskan segala sesuatu. Piring dan gelas kotor berantakan. Untung saja air hidup. Kalau tidak, mau berapa kali saya harus jengkel setiap hari karena air mati. Ya, saya mencuci piring. Firasat itu datang lagi. Entah mengapa saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya mencuci piring ini. Saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya hidup di rumah ini. Romo, apakah ini yang namanya firasat?

Setelah selesai mencuci piring, saya pun kembali ke kamar. Membereskan semua yang berantakan. Mengumpulkan uang-uang kertas dan receh yang berserakan di mana-mana. Empat puluh ribu, setelah saya kumpulkan. Saya bawa uang itu ke studio dan memberikannya kepadamu, Romo. Kamu hanya bertanya dengan kaget yang melucu tentang dari mana uang itu semua. Dari semua sudut kamar, jawab saya. Kemudian saya pun kembali ke kamar membawa seprai dan sarung bantal baru yang sekalian saya ambil dari lemari di studio.

Saat kembali membereskan kamar, entah mengapa saya merasa hari ini adalah hari terakhir saya membereskan kamar ini. Saya merasa kalau hari ini adalah hari terakhir saya tidur di kamar ini. Ah, Romo, apakah ini yang namanya firasat?

Akhirnya selesai juga acara membereskan tempat sakral kita. Saya pun kembali ke studio masih dengan penuh peluh. Sedangkan kamu masih dengan membisu. Bicaralah, Romo.

Ternyata saya tertidur di studio sekitar dua jam. Kamu masih di depan monitor. Refleks wajahmu menoleh ke arah saya.

"Udah bangun, Ayank."

Saya pun hanya bisa tersenyum. Kemudian Romo mematikan komputer. Setelah itu berjalan ke arah saya.

"Mau makan apa, Ayank? Malam ini gak perlu masak."

Saya diam saja.

"Yuk, Yank, makan di luar. Ganti baju dulu."

Saya pun segera bangkit menuju kamar untuk berganti baju. Sedangkan kamu sudah menunggu di garasi. Setelah mengunci pintu rumah dan membuka pagar, saya naik ke boncengan motor di belakang. Sebelum berangkat, kamu membisikkan sesuatu kepada saya.

"Ayank, makasi atas semuanya ya."

Motor dinyalakan. Jalanan pun disetubuhi. Sedangkan saya masih tetap terdiam di boncengan belakang motor sejak bangun dari tidur tadi dan sedang asyik mencium bau badanmu yang sudah berhari-hari belum mandi. Diam-diam saya merasakan kalau firasat mencoba keluar dari tubuh saya dan memberi kecupan selamat tinggal kepada saya, Romo.

Ah, Romo, yang tadi itu memang firasat. Tapi, dia tidak jadi mengambil saya darimu karena Tuhan melarangnya. Terima kasih, Tuhan.

Sunday, April 17, 2011

S

Untuk: Akar.
Di mana pun kamu berada.

Lama tidak bertemu bukan berarti saya lupa.
Berjalan 2500 tahun bukan sebentar, saya harap kamu
mengerti. Asko sangat dingin dan tempat ini sangat asing.
Padahal ini tempat kita biasa belajar tapi sudah tidak sama, ya?

Akar, matahari kelima akan terbenam tidak lama lagi. Saya
ingin optimis tapi sulit. Mereka masih mengira mereka terpisah.
Saya cemas matahari tenggelam sebelum semua frekuensi
lepas landas. Tapi mereka seperti bertahan. Sengaja bertahan.

Jangan takut, Akar. Kebenaran yang tak bernama tak pernah
terputus. Datang sebelum waktu. Hadir sebelum ruang.
Kamu selalu bercermin. Poros keempat yang tidak terlihat,
jangan lupa itu.

Salam saya untuk tiga teman kamu. Petir harus dibuat lebih
percaya diri.

Selamat menjadi:
S



[Dee; Supernova: Akar; Cet I: November 2002, Keping 36; Selamat Menjadi: S; 208-209]

17.00 WIB

Satu jam yang lalu, aku sudah bisa menyentuhnya kembali. Bau tubuhnya kembali merasuk hidungku untuk menjadi obat penenang penatku. Dia belum mandi sudah dua hari.

Walau sudah sore, tapi sengatan sinar matahari masih bisa dianggap berani. Tak jadi aku duduk-duduk di teras depan karena sinar matahari masih bertahta. Aku hanya bisa mengintip takut-takut dari punggung jendela. Ingin benar aku bermain-main di teras depan rumah. Tapi..

Ya, aku baru ingat sesuatu yang terlupakan sejenak. Sepertinya teras depan rumahku sudah tidak menyukaiku lagi. Dia sudah lebih senang didatangi sinar sang Raja daripada aku. Makanya akhir-akhir ini sang Raja betah berlama-lama bercanda bersama teras depan rumah. Aku cemburu. Jendela pun sudah malas menjadi tempat aku bersembunyi untuk memantau teras depan.



Semakin aku memikirkannya, semakin aku serba bersalah. Lebih baik aku ke kamar mandi saja sekarang.

: Yank, udah belum pakai kamar mandinya?

Thursday, April 14, 2011

tentang HARI INI di 14 April 2011

Tuan, hari ini tidak ada cerita tentang kita berdua. Hari ini kita seperti lupa ingatan, lupa diingatkan, dan lupa mengingat sejarah yang sedang saya tulis. Tapi, saya pikir kita tidak seperti orang-orang lain yang selalu punya satu hari sakral bagi mereka yang awas saja jika dilupakan. Sayangnya, tidak berlaku pada kita. Yang ada kita hanya sedikit kaget kalau ternyata sudah banyak cerita yang kita tulis dan sekarang sudah menjadi sejarah. Bahkan beberapa detik yang lalu adalah sejarah.

Tadi malam adalah malam yang manis, Tuan. Awalnya memang pahit karena saya begitu terpukul Tuan mengetahui saya berbohong beberapa kali selama ini. Tapi, Tuan, itu semua saya lakukan karena saya tidak ingin Tuan marah. Jangan memarahi saya, Tuan. Sempat senyum itu lenyap dari wajah saya setelah mendengar pengakuan dari Tuan. Bahkan Tuan saya tinggalkan tanpa kata penutup. Saya sedih. Ingin berbalik memeluk Tuan. Tapi, saya sudah cukup malu. Tuan pasti tidak akan percaya lagi dengan saya. Saya sudah berbohong. Tidak ada saya berselingkuh, Tuan. Tuan tahu itu. Saya hanya berbohong kecil, Tuan. Cukup Tuan saja yang diberikan Tuhan untuk saya. Maafkan saya, Tuan, karena sudah berbohong.

Saya pikir Tuan tidak peduli dengan kegelisahan saya setelah pertemuan tadi malam. Ternyata Tuan segera datang kepada saya agar saya tidak terus cemberut. Tuan mengatakan kalau saya memang jujur dan tidak masalah jika pernah berbohong kecil. Tuan minta saya tersenyum kembali. Saya tersenyum dan Tuan bilang kalau Tuan percaya saya. Hati saya menari-nari, Tuan. Begitu saja lepas dan saya merindu.





Ah, Tuan, saya sudah melewati banyak waktu bersama Tuan. Jangan pernah pergi, Tuan. Jangan pernah pergi.

Monday, April 11, 2011

Kenangan

Saya baru saja selesai makan (tengah)malam. Saat makan tadi, saya diingatkan oleh banyak hal--semoga saja saya masih ingat saat menuliskannya--tentang yang sudah-sudah. Sudah terjadi. Sudah lewat. Ya sudahlah. Tapi, sudahkah saya melupakannya? Belum. Tidak bisa. Bukan. Memang tidak bisa. Jadi, harus bagaimana? Biarkan saja. Ya, begitulah akhirnya. Saya membiarkannya. Belum. Tulisan ini belum berakhir. Jangan pura-pura bodoh.

Sabtu, 9 April 2011, saya bertemu dengan Alga di lobi Perpustakaan USU. Saya lupa sudah berapa lama tidak bertemu dengannya dan saya pun memang tidak berniat untuk mencoba menghitung sudah berapa lama. Ada keperluan dengannya. Lebih tepatnya saya mau membeli buku dari rak bukunya. Satu saja kok. Ada yang membuat saya berpikir sejenak untuk mengesampingkan pikiran fokus saya kepadanya saat saya bicara dengannya. Dia bilang, "Kalau kita membeli buku dari orang, sebenarnya kita itu membeli kenangan yang ada pada orang tersebut dan saya yakin pasti harga buku dua puluh ribu begini ini mahal buat Zai." So, why? Saya masih belum mengerti pada saat itu. Yang ada di pikiran saya adalah mengapa jual beli buku yang sudah bekas ini jadi dibikin ribet dengan menghubungkan kenangan dan harga? Pada dasarnya tidak ribet, tapi baru kali ini ada orang yang menyinggung tentang itu kepada saya dalam jual beli. Beda halnya jika itu menghadiahkannya. Wajar jika kenangan itu dibahas. Tapi, dalam jual beli? Saya masih belum juga mengerti. Banyak spekulasi yang keluar masuk dalam kepala saya entah lewat mana. Saya jadi bertanya, apa maksud dia berkata begitu? Apakah saya harus maklum jika buku itu dihargai seharga dua puluh ribu karena punya kenangan padahal seharusnya saya bisa menawar? Atau, apakah saya harus mengerti jika harga dua puluh ribu itu masih dianggap murah dari harga aslinya karena buku itu punya kenangan dari si pemiliknya maka saya tidak boleh menawar? Saya masih belum mengerti. Tidak terpikir oleh saya untuk menganggap ada kenangan di buku itu. Seharusnya saya berpikir begitu. Tapi, pada saat itu sedang tidak. Seperti biasa, jika saya berbicara dengan Alga, pasti menyisakan sedikit tandatanya di pihak saya. Saya lupa apakah pada saat itu dia ada menjelaskan apa maksud dia berkata begitu atau tidak. Benar-benar tidak fokus. Saya anggap dia berkata begitu sebagai pemanis pertemuan dan uang selembar dua puluh ribu pun saya serahkan. Jual beli sah dan selesai. Kemudian, ngobrol beberapa saat lagi sampai akhirnya berpisah dengan keluar dari pintu yang berbeda. Saat keluar dari lobi, saya baru menyadari pada dasarnya saya sangat menyayangi Alga. Tidak ingin saya ucapkan. Kalau perlu dia tidak usah tahu. Di antara kenangan bersamanya, tidak pernah tidak menyisakan tandatanya.


: Saya tidak akan melepas print-out foto kamu di tulang buku pada buku yang saya beli dari kamu.

Eternal

Bukan tidak berarti jika seorang perempuansore hanya menjadi salah satu labirin di antara spasi miliknya saya. Sekarang, justru dia yang menjadi sesuatu yang menyesap di dalam pikir dan rasa saya tentang seperti apa ringannya hidup yang berat. Saya memujinya tanpa harus memujanya.

Sudah hampir tiga bulan saya tidak singgah di terasnya. Ya, saat ini saya masih berani hanya ke terasnya saja. Selama hampir tiga bulan ini, saya hanya mengintip saja dari teras rumah saya. Mengintip dari balik keriting rambutmu bahwasanya mungkin kita sama-sama belum bisa tidur. Mengintip kalau ternyata lampu kamarmu masih menyala walau samar-samar saya rasa. Tahukah kamu, perempuansore, satu per satu resah saya meluruh dalam genangan air hujan yang barusan saja? Meluruh karena pekamu. Meluruh karena kesederhanaanmu. Meluruh karena saya menyadari kamu masih lah juga manusia. Kesederhanaan yang bersahaja. Itu yang kamu suguhkan dengan sungguh-sungguh. Dan, saya adalah salah seorang yang menyesapinya. Mungkin dengan rakus. Rakus dengan sederhana yang bersahaja.


: Malam ini, adakah memujimu seperti memujamu, perempuansore?

Sunday, April 10, 2011

Maramura

Ha!
Aku tak berwujud.
Siang walaupun malam.
Aku tak berwujud.
Memapah bumi sampai ke tepi.
Siang walaupun malam.
Aku tak berwujud.
Aku cari sebuah Maramura dalam lipatan-lipatan jubah Tuhan.
Siang walaupun malam.
Aku tak berwujud.
Menjalang-jalang bersama hawa.
Siang walaupun malam.
Aku tak berwujud.
Habis senyumku hanya untuk bisa menjadi wujud.
Parahnya bukan siang atau pun malam.
Tapi, tak berwaktu!

R

Apa salahnya jika bosannya saya menjadi rahasia? Apa salahnya? Dia saja pandai menutupi dan saya anggap itu menjadi rahasia. Biasanya saya akan selalu cerita kalau saya bosan, kalau saya ini, kalau saya itu. Tapi, sekarang itu rahasia. Percaya?

Punya rahasia itu menyenangkan.
Saat ditanya, "Ayank kenapa, Yank?"
Jawabnya, "Gak kenapa-kenapa, Yank."
Percaya? Mana mungkin. Saya anggap dirahasiakan karena saya malas menjawab. Dia tahu kok kalau saya kenapa-kenapa. Dia juga tahu kok kalau saya malas bicara. Dia juga tahu kok kalau saya sudah begitu inginnya tergeletak di kamar. Tubuh lelah, bicara pun malas. Akhirnya, saya berahasia.

Saya ada rahasia. Bukan berarti saya tidak jujur. Saya ada rahasia. Bukan berarti saya kenapa-kenapa. Saya ada rahasia karena itu semua tidak penting untuk diajak bicara.
Seharusnya saat saya ditanya ada apa dengan saya, saya tinggal jawab "b.o.s.a.n!"
Tapi, sekarang yang begitu itu jadi rahasia.

Ya iya lah. Saya bosan, dianya yang bingung. Bagaimana tidak bingung kalau saya bosan dengan buku, FB, TV, majalah, kerjaanseni, orang-orang di luaran, jalanan, kota, matahari, bahkan mimpi di saat tidur. Bagaimana tidak bingung? Dia bingung mengatasi bosannya saya. Ujung-ujungnya saya disuruh tidur. Di pangkuannya. Sementara dia sibuk dengan tuts dan monitor berwarna.

: Ayank, saya punya rahasia. Inisialnya 'R' (mengigau).

Enclose

Sejak tadi, pikir dan rasa yang ada hanya bergumul. Lelah saya. Begitulah perkiraan saya. Saya beri bookmark pada pikir dan rasa. Tapi, belum juga merasa pas. Mungkin harus berjalan lagi sesuai dengan prosedur. Mungkin harus sering-sering lagi makan buah-buahan biar air di tubuh dalam bisa seimbang. Mungkin harus jangan banyak bicara yang tidak penting agar rasa bersalah tidak semakin liar. Mungkin harus pintar-pintar mengatur volume ke-AKU-an saat bertemu dengan alien-alien yang lain. Mungkin harus paham bagaimana menjaga sebuah dan banyak ide dari bocornya mulut dunia agar tetap merasa bisa memijak bumi dengan leluasa. Mungkin harus selalu menganggap kalau Tuhan selalu di sampingmu.

Jika sekarang saya merasa gelisah, tak seharusnya menangis menjadi-jadi. Menumpuk memang. Itu semua karena tidak mau menikmati. Hari ini saja. Ya, hari ini saja. Apa yang bisa? Jangan dipikirkan. Jangan, jika ada yang harus dibuang-buang.

Berhenti lah untuk merasa hebat. Mungkin siapa pun bisa memuji. Tapi, bisa jadi tidak memuja. Diam-diam saja, tanpa harus melirik apa yang akan diberi.

Tidak hebat. Sungguh tidak hebat. Yang ada juga kejujuran itu yang paling putih. Banyak yang tidak diketahui, tapi sudah merasa seperti banyak tahu dan tahu banyak. Merasa hebat. Ya, merasa hebat. Apa tidak lelah terus begitu? Benar-benar tidak ada yang hebat.

Tak sanggup dan tak perlu untuk berlisan, katakan saja lewat selipan-selipan kertas. Tak perlu tunjukkan untuk bisa dibaca apa isi di dalamnya. Seperti menjual diri dengan jangkauan harga.

Orang lain, boleh saja kita masuki. Selami dia. Bicarakan dia di dalam dirimu. Tak perlu harus ada yang tahu karena itu memang tidak perlu. Tidak ada yang hebat. Hanya Tuhan.

Pikir dan rasa bukan hal kemarin sore. Semua, tidak ada yang hebat.

16.00 WIB

Di sini lah aku menunggu-nunggu. Pergeseran waktu membuat aku semakin diam tak menentu. Simpang empat yang melelahkan jika kupandangi terus-menerus. Tapi, aku akui memang keramaian pada saat itu lah yang menjadi teman.

Sudah hampir setengah jam dari sejak pemberitahuan kalau kita akan bertemu. Belum juga datang-datang. Rasa yang dirasa menjadi campur baur. Haruskah begitu? Baiknya aku bisa menahan rindu yang sebentar lagi akan menetas. Rasakan pecahannya. Pasti menusuk-nusuk.

Lelah mata ini memandang simpang empat yang meraung-raung. Menunduk lah aku agar tidak cedera mata. Saat menunduk itu, ada suaranya.

: Yank!

Dia datang dan tersenyum padaku. Salah memang jika aku harus berlari. Jarak pisah hanya dua meter. Norak aku.

Saturday, April 9, 2011

Q

Ada satu penghuni ransel yang sedang saya suka bawa kemana- mana. Ya, sudah hampir dua minggu ini saya pakai ransel terus. Eiger. Biasanya pakai tas samping perempuan yang nyelip di ketek. Tapi, kali ini, agak berubahlah sikit. Nah, apa itu?

Entah apa lah itu. Pokoknya saya bawa-bawa. Mungkin kalau orang-orang terlalu dijaga begitu rupa ini barang. Kalau saya ya bawa seperti biasa saja. Ah, kita tidak sedang bermain-main 'Apakah aku?' Saya hanya ingin tidak mau berterus terang saja. Holalalala..

Seharusnya sudah dari sejak dulu saya rajin membawanya. Dulu, saya segan. Tak enak jika dilihat orang. Sekarang, tak peduli saya apa orang kata dengan mereka punya mata. Saya juga punya mata. Jadi, biasa saja. Saya pun sudah katakan kepada dia kalau saya akan bawa barang ini kemana pun saya pergi. Tak ada yang salah jika saya pakai di saat saya sedang menunggu pesanan makanan datang.

Takjub saya dengan barang ini. Tak terkira.

Walau saya urakan, bukan berarti saya tak pantas menggunakan barang ini. Peduli apa coba?

: banyak tumpukan surat di dalamnya, Q.

Pelangi-pelangi.. Alangkah indahmu..

Mari! Malam ini aku sakit kepala. Sebelah pulak itu. Hmm..yang kanan. Tau kau 'kan macam mana rasanya? Tak usah lah aku jelaskan lagi. Malas aku.

Malam. Sekarang sudah malam. Baru pulang aku. Rame kali pun orang-orang di jalan. Apalagi di daerah Ring Road. Rame macam semut. Ada pula yang konser di pom bensin Petronas Ring Road. Ah, pening kepalaku tengok banyak orang macam gitu.

Ha! Hari ini, seharusnya aku senang. Tapi, entah kenapa ilang pulak rencana aku untuk bisa senang. Jangan kau tanyak kenapa aku tak bisa dapat senang itu. Mana lah aku tau. Ah, bosan kali aku.

Aih mak jang, udah minumnya aku obat, tapi tak ilang-ilang juga sakit kepalaku. Macam mana lah ini? Tadi aku bikin lagu. Baru yang sound piano, melodi, kick dan senur drum. Gara-gara kepalaku lagi pening kali, semua kotak-kotak di FL bikin aku jadi ngamuk-ngamuk. Malas aku. Jadinya baru cuma sampek intro saja lah yang aku bikin. Judul laguku: Look in Me. Belum tau aku lanjutan nadanya. Kapan-kapan aja lah. Nanti ngamuk-ngamuk lagi aku.

Tak usah ajak aku ngomong tentang buku, sastra, politik, apalagi tentang Briptu Norman. Tau kau 'kan aku lagi bosan? Seminggu ini udah penat kali untuk mikir. Alah, tau aku kalau kau pasti remehin aku. Sukak-sukak aku lah mau macam mana. Pokoknya aku lagi gak sor kalau kau ajak ngomong tentang itu tadi.

Betol-betol lah aku ini lagi malas kali tengok orang-orang. Termasuk kau lah. Apa pulak kau protes? Mana boleh angek! Ngerti lah kau dikit sama aku. Gak lamanya aku macam gini. Besok pagi pun aku udah lupa. Gak pala kali lah kau pikir-pikir.

Hah! Masih pening kepala aku. Tidur lah aku ya. Kamis mungkin aku keluar. Lagi pengen di rumah aja aku. Ok lah ya..




Pelangi-pelangi..
Alangkah indahmu.
Merah kuning hijau di langit yang biru.
Pelukismu agung..
Siapa gerangan.
Pelangi-pelangi..
Ciptaan Tuhan..



Hoaaaaammm...!!!

Sunday, April 3, 2011

15.00 WIB

Nah, pergi lah aku ke tempat dia seorang. Dengan harap-harap cemas, terbayang olehku bagaimana penyambutan nanti akan terjadi. Tak seharusnya memang aku bermain pikiran di dalam perjalanan. Kata nenek, banyak orang jahat di jalan. Berhati-hati lah kau, Nak. Begitu katanya.

Banyak tempat yang sudah entah berapa kali aku lewati. Bosan mata itu-itu saja yang ditengok. Tak ada kiranya Pemerintah setempat untuk sedikit kreatif dengan kota tanpa merusak bumi? Apa lah artinya, kreatif tapi merusak?

Hampir lima puluh menit ditempuh. Peluh berlari-lari sementara sejuk angin menjalari. Sedikit lagi pertemuan itu akan terjadi. Aku penasaran dengan permulaannya. Adakah senyum yang aku dapatkan?

Nah, kita tunggu saja lah!

P

Ada apa sebenarnya? Saya saja tidak mengerti. Tapi, selalu saja disudutkan. Padahal sudah berulang kali saya katakan kalau saya tidak di sudut.

Terkait dengan dua buah buku tulis yang saya punya, itu tidak ada kaitannya dengan siapa pun. Itu hanya dua buah buku tulis kosong. Tidak ada isinya.

Hari ini juga tidak ada surat yang datang. Mungkin saya belum mengecek. Hanya saja memang sejak dari kemarin tidak ada satu pun surat yang masuk.

Kalau ada yang ingin melenyapkan urusanmu, jangan bertanya kepada saya. Tapi, tanyalah kepada mereka.

Sekian dan terimakasih.





Tertanda: P

14.00 WIB

Selama satu jam biasanya aku masih menunggu pengharapan. Tak masalah jika nantinya ternyata mengecewakan. Tapi, siapa yang sangka kalau selama ini aku selalu berharap untuk selalu kecewa! Benar-benar membingungkan menjadi seorang pendiam rupa. Ya, siapa sangka!


Biasanya di menit-menit begini, aku terkapar menjelajahi dunia orang. Malas benar aku bangkit. Padahal menggeser pantat sesenti pun tak juga ingin. Parah memang benar-benar di puncak. Jika begitu, jangan salahkan malaikat dan setan jika ragu-ragu datang menghampiri. Ragu-ragu mengetuk hatiku agar aku tetap di tempat, tidak kemana-mana, apalagi hanya untuk bertemu denganmu. Tapi, cinta dan setangkup rindu ternyata bisa melenyapkan ragu-ragu. Aha, hanya dibutuhkan sebuah keyakinan saja, Tuan.

Tepatnya setelah satu jam kemudian, aku pun bergegas pergi dan mendapati dunia luar ternyata ribut bagai kadang ayam petelur.

Dalam perjalanan, kusuguhkan pikiranku dengan lamunan-lamunan. Apa kiranya yang akan terjadi dalam pertemuan? Mari kita bermain tebak-tebakkan, Tuan.

Friday, April 1, 2011

O

Jangan sinis kepada saya jika ternyata saya sangat mengagumi sosok seorang Nyai Ontosoroh. Terlepas dari seperti apa hidupnya, saya menilai takjub akan keberaniannya. Walau dendam itu bukanlah sesuatu yang salah baginya, saya tetap merasa kalau dia pasti akan terlihat sangat sexy dengan ekspresi jijiknya terhadap hukum Eropa. Ah, saya sudah tidak sabar ingin menonton film Bumi Manusia dari Mira Lesmana. Penasaran saya kira-kira siapa yang memerankan sosok Nyai Ontosoroh.

Dia sang otodidak tentang segala hal. Tidak ingin tertinggal dari bangsa penjajah. Ah, bagaimana ini?

: Nyai, sudi kiranya sahaya panggil Nyai dengan sebutan mama 'O..o..o..' ?

13.00 WIB

Di kesempatan ini, aku masih memilih menunggu namamu datang kepadaku. Tak aku hitung berapa banyak biji hujan yang jatuh di kota Medan selama menunggu namamu datang kepadaku. Yang aku rasa bahwasanya setiap biji hujan yang jatuh akan menumbuhkan kerinduan yang semakin suburnya selama menunggu namamu datang kepadaku. Maka, lebihkan biji hujan itu, Tuhan!

Sering emosi yang tak berarti berubah menjadi emisi. Karena tak bisa sabar. Padahal sabar itu banyak buahnya.

Aku lihat sekarang namamu sedang melayang-layang pelan menuju kejatuhannya di pangkuanku. Aku pungut. Dan kau pun berkata..

: Ayank, lg dmn?