Saturday, August 13, 2011

Konsisten yang Impoten

Paling berat untuk memulai mengerjakan sesuatu. Saya bisa mengkhayal dulu ke London kemudian belok ke Rusia kemudian turun ke Jerman sampai akhirnya kembali lagi ke kamar saya hanya untuk menunda-nunda aktifitas saya membaca buku yang belum terselesaikan. Padahal bukunya ada di sebelah kepala saya. Tapi, kok tangan ini malas sekali mengambilnya untuk kemudian dibuka kemudian dibaca kemudian tenggelam di dalamnya kemudian ....aaaaargh memikirkannya saja saya sudah malas!

Tapi, akan lain ceritanya jika saya sudah melawan rasa malas itu dan segera melakukan yang sudah diniatkan. Saya akan lupa kalau saya mesti berkhayal ke mancanegara dulu. Dan saya akan seperti orang kesurupan 'serius' jika sudah melakukannya dengan rencana yang pas. Memang benar-benar akan lain ceritanya.

Oh, rasa malas! Terkadang saya malas--tu kaaaann--bertanya kepada Tuhan mengapa kau diciptakan!

*sambil melirik tumpukan bacaan di meja

O ya, saya juga sedang menyicil salinan note-note saya yang berserakan entah dimana-mana. Sangking banyaknya, saya pun jadi malas. Tapi, kalau tidak dipaksa, bakalan tidak selesai-selesai juga arsip saya itu. Padahal saya sangat suka mengarsip berkas-berkas saya.

Fokus fokus fokus!

Collapse

Mungkin sayanya saja yang selalu menganggap mereka-mereka itu serius. Atau mungkin sayanya juga yang egois dan terlalu terburu-buru? Bukan begitu juga. Tapi, coba deh tunjukkan keseriusan itu. Ini bukan baru pertama kali saya mengalaminya. Dulu sudah sering diajak sama yang lainnya. Tapi, ya begitulah, cuma 'anget-anget taik ayam' saja. Kalau sudah terlihat gelagat tak seriusnya, saya pun kecewa. Mungkin jika nanti saya diajak lagi, saya harus memasang perasaan biasa-biasa saja. Tidak perlu euforia dengan shock begitu. 'Kan mereka yang membutuhkan saya. Jadi, buatlah situasinya seperti mereka yang mengemis-ngemis hebat ke saya. Nah, itu baru saya anggap mereka serius. Tentang berkas yang sudah terlanjur saya berikan, entah dibaca atau tidak, biarlah bercecer. Saya anggap itu bonus bagi yang menemukan karya saya, selamat membaca imaji saya, dan tergila-gila lah kepada saya.

Friday, August 12, 2011

W


"Aku ingin bisa menghentikan waktu."

Begitulah katamu saat kita sedang di dalam perjalanan. Entah karena alasan apa. Aku pun tidak menanyakannya. Aku lebih memilih menebak sendiri apa alasanmu.

Apakah karena kamu takut waktu akan membunuhmu?
Ah, tidak juga sepertinya. Kamu bukan jenis manusia penakut. Kamu bisa saja membunuh waktu, tapi kamu masih punya perasaan terhadap waktu hingga kamu lebih memilih untuk menghentikannya saja. Ada kesan 'hanya sesaat' ketika kamu mengatakan ingin menghentikan waktu. Pasti setelah itu kamu akan membiarkannya berjalan lagi. Ya, kamu mematisurikan waktu entah untuk apa.

Apa karena kamu tidak ingin berpisah olehku?
Aku senang jika ini alasanmu. Kamu lihat senyumku yang mengembang ini? Kamu lihat? Ayolah katakan saja jika memang ini alasanmu. Aku tidak akan menertawakanmu. Percayalah. Tapi, aku mengerti jika kamu tidak mau mengakuinya. Seperti yang kita tahu, waktu itu suka sekali iri terhadap kita. Dia selalu saja berusaha memisahkan kita. Rasanya seperti dikejar-kejar olehnya jika kita sadar akan keberadaan dia. Sudah sering aku katakan kepadamu jika kita sedang menikmati kebersamaan, jangan kita hiraukan keberadaan dia. Anggap saja dia sudah mati dan tidak bangkit lagi. Tapi, jika kita sedang berjauhan, kita suruh saja rasa rindu kita untuk lebih cepat mengejar waktu agar dia tertangkap dan kita bertemu. Nah, kamu masih belum mau mengakui alasan kamu ingin menghentikan waktu karena tidak ingin berpisah olehku? Jawab saja. Wajahmu merah lho. Hahaha..

Apa lagi ya alasan yang lain?

21.00 WIB


Di ujung jalan kamu menurunkanku dari sebuah perjalanan. Menurunkanku dengan penuh kasih sayang. Pikiranku sudah sampai di rumah, karena sudah tidak sabar ingin mencium para rohku yang sedang menanti di kamar. Aku pegang tanganmu. Menitipkan rasa khawatir di punggung tanganmu atas kepulanganmu yang sebentar lagi akan aku saksikan. Ya, tidak ada yang bisa menghentikan hujan saat ini. Dan kamu tetap berlari dengan tidak peduli seberapa cepat hujan-hujan itu pecah menghantam tubuhmu. Aku takut justru kamu yang akan pecah. Tapi, matamu tidak mengatakan begitu. Ah, pulanglah. Hati-hati. Hujan tidak akan menghantammu. Mereka akan menggandengmu pulang. Aku akan menunggu kabar sampainya kamu di rumah lewat para hujan yang baik hati menjatuhkan tetesannya di atap kamarku. Pulanglah..


: aku takut menoleh ke belakang. ke ujung jalan itu.

Bicara Sendiri


Romo..

Seperti biasanya, akan selalu ada rasa penasaran yang tertinggal di pikiran Yuni tentang semua sikap Romo yang terindra oleh Yuni. Mungkin bisa Yuni mulai dengan mengawalinya merasakan dari hati terlebih dahulu. Merasakan bagaimana rasanya berada di posisi Romo saat mengambil keputusan untuk lebih memilih bersikap seperti 'ini' daripada seperti 'itu'. Yang membuat Yuni seringkali tidak paham adalah bagaimana bisa Romo memilih sikap yang hampir selalu lebih baik dari pilihan Yuni. Sangat belum bisa memahami! Bahkan Romo pernah memilih sikap untuk lebih baik tidak menjelaskan 'mengapa' hanya untuk alasan 'karena' kepada Yuni. Pertimbangannya adalah PENTING dan TIDAK PENTING.

Selama ini Yuni tidak paham tentang kuatnya peranan sebuah prioritas di dalam hidup ini. Menghadapi mana yang harus diprioritaskan berarti juga harus berhadapan dengan memilih pilihan. Bisa pilih satu saja, atau dua, atau tiga, atau lebih dari itu. Walau sebenarnya ujung-ujungnya juga harus memilih satu pilihan saja. Nah, Yuni entah bagaimana ceritanya, karena tidak paham memosisikan si prioritas ini, bisa dengan mudahnya memasukkan rasa egois dan emosi ketika memilih. Sehingga siapa pun bisa menebak akhir ceritanya bagaimana: sia-sia! Yang membuat Yuni heran, bagaimana bisa Romo menyingkirkan rasa egois dan emosi dalam memilih pilihan demi sebuah prioritas? Bagaimana bisa, Romo? Yuni bahkan tidak bisa memahami sikap Romo yang mampu bersabar dalam bosannya waktu untuk menjalani rutin yang ternyata penting?

"Ya jalani saja, nikmati saja."

Itu yang sering Romo katakan.

"Tidak perlu berpikir dengan sulit, susah, ribet, dan sejenisnya. Hadapi dengan santai dan terima saja jika hasilnya gagal."

Ini juga selalu Romo katakan kepada Yuni.

"Apa pun yang terjadi karena memang harus terjadi."

Entah sudah berapa kali kalimat yang ini Romo katakan bahkan saat di dalam perjalanan pun Romo selalu mengingatkan.

Mungkin kesimpulan tentang sikap Romo yang selama ini Yuni perhatikan adalah bahwa Romo tidak pernah menganggap masalah itu adalah masalah. Bagi Romo yang namanya 'masalah' hanya sebatas nama. Ya, nama sesuatu itu adalah 'masalah'. Tapi, substansinya tidak Romo anggap sebagai 'masalah'. Romo tidak mau memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul. Tapi, Romo hanya memikirkan 'bagaimana' masalah jangan muncul kembali. Sangat berbeda dengan Yuni yang selalu memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul sampai-sampai sikap Yuni yang seperti itu cenderung menimbulkan masalah baru. Ujung-ujungnya Yuni akan jatuh ke dalam pembahasan yang TIDAK PENTING. Mengapa tidak penting? Karena Yuni lebih memilih mengutuki diri dengan rasa bersalah yang begitu tinggi terhadap sesuatu yang sudah terjadi, sudah lewat, sudah berlalu. Bukan memikirkan solusi untuk perbaikan menuju perubahan untuk menyelesaikan prioritas.

"Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan, Yank, daripada hanya sekedar merasakan sakit hati karena tidak dipedulikan."

Bahkan Yuni masih belum bisa membedakan mana yang PENTING, mana yang TIDAK PENTING. Bagi Yuni, selama itu bisa membuat Yuni senang, maka Yuni anggap itu PENTING. Padahal Romo memandang terbalik. Logika Romo selalu saja berada di atas logika Yuni. Bodoh memang Yuni selalu pakai perasaan di atas logika saat menghadapi masalah.

Romo, Yuni memang seperti melupakan dunia Yuni. Padahal Romo sendiri yang mengatakan kalau dunia Yuni itu menarik. Bagaimana bisa Yuni lupa tentang itu, Romo?

Sunday, August 7, 2011

Selamat Datang

Selamat datang, Delapan.
Silakan duduk.
Tunggu sebentar.
Aku sedang menghabiskan tangisku.