Showing posts with label surat untuk Romo. Show all posts
Showing posts with label surat untuk Romo. Show all posts

Friday, August 12, 2011

Bicara Sendiri


Romo..

Seperti biasanya, akan selalu ada rasa penasaran yang tertinggal di pikiran Yuni tentang semua sikap Romo yang terindra oleh Yuni. Mungkin bisa Yuni mulai dengan mengawalinya merasakan dari hati terlebih dahulu. Merasakan bagaimana rasanya berada di posisi Romo saat mengambil keputusan untuk lebih memilih bersikap seperti 'ini' daripada seperti 'itu'. Yang membuat Yuni seringkali tidak paham adalah bagaimana bisa Romo memilih sikap yang hampir selalu lebih baik dari pilihan Yuni. Sangat belum bisa memahami! Bahkan Romo pernah memilih sikap untuk lebih baik tidak menjelaskan 'mengapa' hanya untuk alasan 'karena' kepada Yuni. Pertimbangannya adalah PENTING dan TIDAK PENTING.

Selama ini Yuni tidak paham tentang kuatnya peranan sebuah prioritas di dalam hidup ini. Menghadapi mana yang harus diprioritaskan berarti juga harus berhadapan dengan memilih pilihan. Bisa pilih satu saja, atau dua, atau tiga, atau lebih dari itu. Walau sebenarnya ujung-ujungnya juga harus memilih satu pilihan saja. Nah, Yuni entah bagaimana ceritanya, karena tidak paham memosisikan si prioritas ini, bisa dengan mudahnya memasukkan rasa egois dan emosi ketika memilih. Sehingga siapa pun bisa menebak akhir ceritanya bagaimana: sia-sia! Yang membuat Yuni heran, bagaimana bisa Romo menyingkirkan rasa egois dan emosi dalam memilih pilihan demi sebuah prioritas? Bagaimana bisa, Romo? Yuni bahkan tidak bisa memahami sikap Romo yang mampu bersabar dalam bosannya waktu untuk menjalani rutin yang ternyata penting?

"Ya jalani saja, nikmati saja."

Itu yang sering Romo katakan.

"Tidak perlu berpikir dengan sulit, susah, ribet, dan sejenisnya. Hadapi dengan santai dan terima saja jika hasilnya gagal."

Ini juga selalu Romo katakan kepada Yuni.

"Apa pun yang terjadi karena memang harus terjadi."

Entah sudah berapa kali kalimat yang ini Romo katakan bahkan saat di dalam perjalanan pun Romo selalu mengingatkan.

Mungkin kesimpulan tentang sikap Romo yang selama ini Yuni perhatikan adalah bahwa Romo tidak pernah menganggap masalah itu adalah masalah. Bagi Romo yang namanya 'masalah' hanya sebatas nama. Ya, nama sesuatu itu adalah 'masalah'. Tapi, substansinya tidak Romo anggap sebagai 'masalah'. Romo tidak mau memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul. Tapi, Romo hanya memikirkan 'bagaimana' masalah jangan muncul kembali. Sangat berbeda dengan Yuni yang selalu memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul sampai-sampai sikap Yuni yang seperti itu cenderung menimbulkan masalah baru. Ujung-ujungnya Yuni akan jatuh ke dalam pembahasan yang TIDAK PENTING. Mengapa tidak penting? Karena Yuni lebih memilih mengutuki diri dengan rasa bersalah yang begitu tinggi terhadap sesuatu yang sudah terjadi, sudah lewat, sudah berlalu. Bukan memikirkan solusi untuk perbaikan menuju perubahan untuk menyelesaikan prioritas.

"Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan, Yank, daripada hanya sekedar merasakan sakit hati karena tidak dipedulikan."

Bahkan Yuni masih belum bisa membedakan mana yang PENTING, mana yang TIDAK PENTING. Bagi Yuni, selama itu bisa membuat Yuni senang, maka Yuni anggap itu PENTING. Padahal Romo memandang terbalik. Logika Romo selalu saja berada di atas logika Yuni. Bodoh memang Yuni selalu pakai perasaan di atas logika saat menghadapi masalah.

Romo, Yuni memang seperti melupakan dunia Yuni. Padahal Romo sendiri yang mengatakan kalau dunia Yuni itu menarik. Bagaimana bisa Yuni lupa tentang itu, Romo?

Friday, April 22, 2011

Firasat


Romo, apakah ini yang namanya firasat? Sudah sedari pagi saya menerima tanda-tandanya hingga siang menjelang pun saya langsung buru-buru untuk menemuimu. Sampai-sampai sopir angkot pun menyetir dengan buru-burunya karena mungkin terkena pengaruh firasat yang sedang saya bawa-bawa di mana saya duduk tepat di belakang sopir angkot itu. Saya merasa dia membantu mempercepat pertemuan kita, Romo. Walau saya yakin betul kalau dia tidak tahu menahu tentang saya yang sedang membawa firasat. Dan, empat puluh lima menit pun terlewati. Selang beberapa menit, Romo pun menjemput saya di perempatan lampu merah. Memerah wajah saya melihat Romo. Campur-campur antara malu-malu dengan tersengat sinar matari.


"Ada apa ini?"

Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tapi, ada yang begitu kuat yang saya rasakan. Kita tetap bicara kok sependek-sependek selama di perjalanan. Membicarakan di mana bisa membeli kacang panjang segar sesiang ini untuk makanan hamster. Akhirnya, dapat juga. Perjalanan pulang pun berlalu dengan bisu.

Sesampai di rumah, saya ke ruang TV. Romo ke studio untuk melanjutkan design kaos. Kemudian saya pun ke studio. Hanya untuk mengambil hape karena saya mau online. Komputer sedang Romo pakai. Saya ke teras depan. Kali ini sinar matari sedang tidak mengunjungi teras depan. Saya merasa adem.

Saya membuka Opera Mini. Sudah lama tidak berkunjung ke blog Ecocalipse. Membacanya membuat kita terus-terusan membisu.

Pukul 14.00 WIB membaca Ecocalipse selesai. Saya ke studio untuk meletak hape. Tapi, kamu masih tetap membisu, Romo. Saya pun masuk ke kamar yang sangat berantakan. Seprai dan selimut apalagi bantal dan guling sudah berpindah tempat. Majalah Horison, Go Girl dan Sister berantakan. Buku Immanuel Kant dan Anti-Kapitalisme tercampak di sudut rak. Tumpukan kaos dari jemuran belum dilipat. Tumpukan baju dan celana kotor belum dipisahkan. Pintu lemari baju terbuka semua. Benar-benar artistik kamar musisi dan penulis. "Ke dapur saja dulu." Begitu pikir saya.

Ke dapur, segera membereskan segala sesuatu. Piring dan gelas kotor berantakan. Untung saja air hidup. Kalau tidak, mau berapa kali saya harus jengkel setiap hari karena air mati. Ya, saya mencuci piring. Firasat itu datang lagi. Entah mengapa saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya mencuci piring ini. Saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya hidup di rumah ini. Romo, apakah ini yang namanya firasat?

Setelah selesai mencuci piring, saya pun kembali ke kamar. Membereskan semua yang berantakan. Mengumpulkan uang-uang kertas dan receh yang berserakan di mana-mana. Empat puluh ribu, setelah saya kumpulkan. Saya bawa uang itu ke studio dan memberikannya kepadamu, Romo. Kamu hanya bertanya dengan kaget yang melucu tentang dari mana uang itu semua. Dari semua sudut kamar, jawab saya. Kemudian saya pun kembali ke kamar membawa seprai dan sarung bantal baru yang sekalian saya ambil dari lemari di studio.

Saat kembali membereskan kamar, entah mengapa saya merasa hari ini adalah hari terakhir saya membereskan kamar ini. Saya merasa kalau hari ini adalah hari terakhir saya tidur di kamar ini. Ah, Romo, apakah ini yang namanya firasat?

Akhirnya selesai juga acara membereskan tempat sakral kita. Saya pun kembali ke studio masih dengan penuh peluh. Sedangkan kamu masih dengan membisu. Bicaralah, Romo.

Ternyata saya tertidur di studio sekitar dua jam. Kamu masih di depan monitor. Refleks wajahmu menoleh ke arah saya.

"Udah bangun, Ayank."

Saya pun hanya bisa tersenyum. Kemudian Romo mematikan komputer. Setelah itu berjalan ke arah saya.

"Mau makan apa, Ayank? Malam ini gak perlu masak."

Saya diam saja.

"Yuk, Yank, makan di luar. Ganti baju dulu."

Saya pun segera bangkit menuju kamar untuk berganti baju. Sedangkan kamu sudah menunggu di garasi. Setelah mengunci pintu rumah dan membuka pagar, saya naik ke boncengan motor di belakang. Sebelum berangkat, kamu membisikkan sesuatu kepada saya.

"Ayank, makasi atas semuanya ya."

Motor dinyalakan. Jalanan pun disetubuhi. Sedangkan saya masih tetap terdiam di boncengan belakang motor sejak bangun dari tidur tadi dan sedang asyik mencium bau badanmu yang sudah berhari-hari belum mandi. Diam-diam saya merasakan kalau firasat mencoba keluar dari tubuh saya dan memberi kecupan selamat tinggal kepada saya, Romo.

Ah, Romo, yang tadi itu memang firasat. Tapi, dia tidak jadi mengambil saya darimu karena Tuhan melarangnya. Terima kasih, Tuhan.

Monday, January 3, 2011

#9 Dear Romo..

Dear Romo..

Saat Yuni mengetik surat ini, Romo sedang di dalam perjalanan menuju Medan. Serasa masih belum percaya kalau nanti siang kita sudah sepakat untuk bertemu melepas rindu yang panjang. Yuni sudah tidak sabar ingin menjambak rambut gondrongmu, Romo.

Di telinga ini yang terdengar hanyalah riuh detik jam yang seakan-akan ingin menikam Yuni karena rindu yang terus bergejolak ingin disambut oleh senyumnya Romo. Bagaimana ya senyumnya Yuni besok? Yuni yakin pasti senyum Yuni seperti anak TK lima tahun seperti yang sering Romo katakan kepada Yuni.

Yuni tak punya kata-kata lagi. Hanya kegilaan satu per satu yang semakin menggila karena menanti Romo.

 -----------------------------------


Ah, Romo. Ada sekelebat yang baru saja lewat di dapur.  


 

Sunday, January 2, 2011

#8 Dear Romo..

Dear Romo..

Tidak biasanya di dini hari begini Yuni merasakan gerah yang teramat sangat. Bulir keringat itu terus saja mengalir bebas. Sementara di atas kepala sudah ada baling-baling angin yang sedari tadi berputar. Tapi, tetap saja gerah itu lebih banyak kuasa daripada angin.

Malam nanti Romo pulang. Tidak sabar bertemu Romo besok harinya. Mungkin belum apa-apa Yuni sudah berlari saja menggapai Romo. Yuni rindu. Banyak hal. Selama tak jumpa begitu banyak sekelebat kesederhanaan mampir dalam ingatan. Yuni belajar menghargai jarak agar tidak menjadi perbedaan. Sedangkan Romo tetap dengan hati yang sejuk mengecup ubun-ubun Yuni dari jauh untuk selalu tenang menghadapi waktu. Yuni lupa menghitung detik sejak kepergian Romo. Mungkin jarum jam masih menyimpan catatan mereka untuk bisa Yuni intip.

Yuni hanya di kamar saja. Menanti dan terus menanti. Menunggu pesan datang yang mengatakan kalau Romo sudah tiba maka datanglah. Pesan singkat tak sampai 160 karakter menjadi terasa penuh seisi bumi jika itu Romo yang mengirimkannya. Yuni lihat jam, masih lama pagi besok hari itu.

...ada pelajaran sejak ditinggal Romo. Yuni belajar menjadi diri sendiri dengan kesederhanaan kata-kata. Melihat jejak langkah Yuni ke depan, bukan yang tertinggal di belakang, dan menutup mata dengan jejak langkah kaki orang lain. Muncul rasa berarti saat tidak satu orang manusia pun menegur nama Yuni. Hanya menanti dan terus menanti kalau yang maya itu selalu setia. Sebut saja mereka yang ada di dunia khayal Yuni yang menjelma masuk ke dalam mimpi Yuni dan esok harinya Yuni bercerita kepada seorang teman yang duduk di sudut maya dunia ini, dan setelah itu kami berdua tertawa dengan cerita bodoh itu. Seakan-akan hal yang bodoh itu mampu membahagiakan.

Romo..
Memang benar menjadi diri sendiri itu susah gelisah! 

Saturday, January 1, 2011

#7 Dear Romo...


Dear Romo..

Tiba-tiba Yuni jadi rindu mendarat di Titik Koma, Romo. Sudah lama Yuni tidak meminjam novel-novel lagi di Titik Koma. Alasannya karena yeah..novel-novel di dua rak buku kita belum selesai Yuni baca. Lebih menarik rasanya jika semua otentik kita itu sudah Yuni baca. Makanya selalu mikir-mikir kalau mau minjam novel di Titik Koma. 

Sebenarnya bisa saja semua itu terbaca kalau Yuni disiplin dengan quote Yuni ini:

Setiap ada jeda: baca, baca, baca. Setiap ada spasi: tulis, tulis, tulis.

Kalau Yuni disiplin saja dengan quote itu, semua selesai. Ya, semua selesai!! Tapi,...
BILANGAN FU saja belum selesai-selesai. Majalah HORISON yang setipis itu saja, belum selesai-selesai. Itu 'kan namanya kebangetan!!
Ah, Yuni harus disiplin. Harus. Demi jiwa dan rasa. 

Saya kaya dengan karya!! 

hehehehehe...


--Yuni tidur ya. Sudah remuk redam.

#6 Dear Romo...

Dear Romo...

Sudah Tahun Baru dan kita biasa-biasa saja, bukan? Romo hari Selasa pulang. Asik-asik-asik. Yuni mau cerita apa ya..hmm..oh ya, Yuni tadi mulai menulis kembali buku hariannya. Lupa tentang apa ceritanya. Yuni hari ini juga masih kesal, hampir menuju marah, Romo. Soalnya tadi malam Yuni seharusnya nonton, tapi tidak jadi. Belum lagi ada orang yang asal saja mengatakan kalau membaca dan menulis itu seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Sembarangan saja dia berbicara. Bagi Yuni, membaca dan menulis adalah aktifitas yang sakral. Sangat sakral. Jadi, Yuni akan marah dan ingin menikam saja jika ada yang meremehkan dua aktifitas itu. Aaaarrggghhh...

..dan sekarang Yuni masih saja kesal. Sudah hampir dua puluh empat jam. Sepertinya Yuni nonton konser MUSE yang di Wembley(eah) saja biar hilang kesalnya (sedikit).


benar-benar pengen nikam!!!!

Thursday, December 30, 2010

#5 Dear Romo..

Dear Romo..

Tidak biasanya surat ini Yuni tulis di jam segini. Tidak ada alasan khusus. Hanya sedang ingin saja, Romo.

Malam ini malam tahun baru. Seperti malam-malam tahun baru sebelumnya, Yuni memang tidak pernah ke mana-mana. Hanya di rumah. Bukan sesuatu yang penting untuk menghabiskan malam di luaran sana. Bukan karena tidak ada teman atau apa, tapi karena itu tidak penting. Jadi, malam tahun baru kali ini akan Yuni habiskan di kamar dengan menonton film dan membaca literatur yang belum terselesaikan sambil mulai aktif kembali menulis buku harian per 1 Januari 2011. Ide yang sangat baik, bukan? Hehehehe...

Tadi malam Yuni juga belum menulis, Romo. Baiklah, Yuni akui Yuni masih malas menulis, tapi tidak untuk malas membaca. Yuni sedang memulai untuk rutin kembali membaca majalah Horison yang sudah Yuni beli untuk dikoleksi dari dua tahun yang lalu itu. Dan Yuni memulai dari majalah Horison yang Romo berikan kepada Yuni dulu. Bercerita tentang in memoriam Mochtar Lubis. Yuni tahu siapa beliau. Hanya sekedar tahu. Tapi, setelah membaca beberapa esai dari para sastrawan mengenai beliau, Yuni jadi semakin tahu seperti apa sosok beliau. Jadi berpikir, mengapa tidak dari dulu-dulu saja Yuni rutin untuk membaca majalah Horison yang sudah menumpuk ini. Oh ya, setelah Romo pulang nanti, jangan lupa kita pesan majalah Horison ya, Romo.

Beberapa menit yang lalu, Yuni baru saja selesai ngobrol dengan "mereka" tentang Romo. Banyak yang Yuni obrolkan. Salah satunya adalah mengapa Yuni tidak bisa selingkuh di belakang Romo. Hahahaha... Itu cerita basi. Cerita yang lainnya lagi adalah mengapa Yuni sudah sangat berubah dari sebelum "bertemu" Romo dibandingkan dengan yang sekarang. Yuni masih belum percaya saja, Romo. Entah apa yang bisa membuat Yuni menjadi "sembuh" sejak bersama Romo. Oh, Romo..Yuni punya cinta yang hebat buat Romo, bukan buat yang lain. Hehehe...

Romo, perut Yuni sakit. Ada bau kentut di mana-mana. Hahahaha...
Justify Full

Wednesday, December 29, 2010

#4 Dear Romo...

Dear Romo...

Yuni demam, Romo. Masih pukul 01.21 wib dini hari dan di luar hujan rintik-rintik membanting diri ke atas seng dapur. Badan Yuni hangat yang seharusnya dingin. Bibir Yuni kering yang seharusnya lembab. Barusan pipisnya banyak, menandakan Yuni masih sehat-sehat saja.

Well, tadi sore kita ngobrol banyak sampai-sampai Yuni kesal karena pulsa Telkomsel-nya habis. Ngobrol banyak dengan cerita yang tiada putus. Mungkin kalau bukan karena Romo ingin melanjutkan membuat prakaryanya, pembicaraan kita tadi masih berlanjut sampai sekarang. Ah, tidak mungkin...tidak mungkin...hahahaha...

Sebentar, Yuni mau coba lihat situs tentang Inception Ending yang tadi Romo katakan. Tunggu ya, Romo.

Beberapa menit kemudian....................

Yang ini bukan situsnya http://www.inceptionending.com ?
Nanti-nanti saja Yuni baca.

Romo, sampai detik ini Yuni juga belum menulis. Tapi, Yuni sudah membuat konsep tentang apa saja yang ingin ditulis. Mungkinkah kepulangan Romo nanti akan mendapatkan tulisan yang banyak dari Yuni? Belum tentu karena sampai sekarang Yuni belum juga menulis.

Tinggal dua minggu lagi pengumuman sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Yuni jadi resah gelisah. Saingannya hebat-hebat, tentu. Ini bukan tentang ambisi ingin menang, tapi belajar bagaimana bisa merasa ada di antara mereka-mereka yang hidupnya tidak bisa lepas dari sastra.

Romo, badan Yuni semakin panas saja ini. Sepertinya ini serius. Cepat pulang Romo. Kalau Romo ada di sini, Yuni hampir tidak pernah sakit. Coba Romo ingat-ingat, setiap Romo pergi pasti Yuni demam. Sakit yang begini sama seperti waktu Yuni kecil dulu saat Ayah pergi dinas luar kota, Yuni pun demam. Apakah Yuni dengan Romo seperti itu hubungan batinnya? Entahlah, Romo.

Yuni ingin istirahat saja. Cepat pulang ya Romo. Ya ya ya ya ya...

Tuesday, December 28, 2010

#3 Dear Romo..

Dear Romo..

Sepuluh menit lagi akan ada yang namanya pergantian waktu menuju esok hari dan Yuni masih saja belum menulis, Romo. Apa pentingnya Yuni harus menulis saat-saat sekarang ini? Apa pentingnya, Romo? Yuni masih terlalu menikmati masa-masa tarik ulur antara emosi dan waktu dalam menyeimbangkan tindakan. Oh, terlalu banyak teori yang Yuni katakan. Sederhananya, Yuni sedang ingin berbicara secara personal dengan Romo.


Kapan Romo pulang? Lima hari lagi? Kurang dari itu? Atau lebih dari itu? Yuni akan tetap menunggu. Yuni penasaran seperti apa pertemuan yang akan terjadi di antara sudut-sudut yang punya ceritanya sendiri.


Hari ini Yuni mencoba untuk tidur dengan pulasnya. Tapi, tidak bisa. Begitu susah Yuni untuk tidur karena Yuni ingin datang ke dunia mimpi Yuni. Terakhir Yuni bermimpi tentang si Mura. Ada yang ingin dia katakan kepada Yuni tentang perasaan terdalamnya yang terpendam tentang Yuni. Kami berbicara di depan kamarnya. Tapi, entah mengapa keberadaan Romo yang terus saja mondar-mandir antara ruang tengah-studio-ruang depan membuat Mura menjadi tidak siap untuk mengatakan apa yang seharusnya Yuni dengar. Kalimat terakhirnya yang Yuni dengar adalah...

"Kak, sebenarnya yang membuat Mura bersikap begini kepada kakak adalah karena kakak..........."

Kalimat itu terputus, Romo!!! Padahal Yuni begitu ingin mendengarkan lanjutan kalimat dari mulutnya. Tidak sebentar kami berdiri di depan kamarnya. Dia sambil tetap memegang gagang pintu kamarnya dan Yuni bersender di salah satu sisi rangka pintu. Lebih tepatnya sisi menuju ruang tengah. Dan Romo terus saja mondar-mandir bahkan sesekali berhenti di depan kami untuk mendengar pembicaraan kami. Sebelumnya, butuh hampir setengah jam Yuni mencoba untuk mengajaknya berbicara. Semua diawali dengan ekspresi wajahnya yang tidak begitu senang terhadap Yuni tanpa sedikitpun mau melihat ke arah Yuni. Tapi, Yuni terus mengajaknya berbicara sambil meyakinkan kepadanya kalau semuanya baik-baik saja. Akhirnya, keluarlah kalimat itu dari mulutnya yang akhirnya terputus karena Yuni harus masuk ke mimpi yang lain.


Mimpi yang lain di mana Mama masuk ke dalam kamar Mak Cut yang di dalamnya hanya ada Yuni yang sedang terbaring sakit. Mama duduk di sisi kiri Yuni. Lebih tepatnya di sisi luar tempat tidur. Ada banyak kebahagiaan yang dia ceritakan kepada Yuni. Salah satunya tentang keluarga. Mama ingin Yuni sehat-sehat saja dan segera memberinya cucu. Kemudian Mama keluar dari kamar sambil memindahkan tangannya yang semula dia genggam kemudian berpindah untuk menyentuh perut Yuni. Tangannya dingin.


Itulah mimpi terakhir yang Yuni ingat. Yuni merindukan mimpi-mimpi Yuni yang lainnya.


Baiklah, sekarang Yuni (akan) menulis.

Monday, December 27, 2010

#2 Dear Romo..

Dear Romo..

..dan Yuni belum juga menulis. Entah mengapa sedang keranjingan maen facebook beserta aplikasinya, kalau gak mau dibilang m-a-r-o-k!! Bukan begitu, Romo. Ini bukan mencari pembenaran atau kambing hitam karena ini bukan tentang kebenaran apa pun dan tidak ada kambing hitam di sini. Tapi, ini tentang mood. Ya, kali ini baru pembenaran. Apa bedanya? Hahahaha...

Sampai detik ini, kamar Yuni masih tertata dengan rapi seperti saat baru dibereskan kemarin itu. Yuni masih merasa bahagia sampai saat ini karena kamar Yuni masih baik-baik saja. Oh, bahagianya Yuni, Romo. Tapi, tetap saja Yuni belum juga menulis.

Wauaww..tadi Romo kirim Short Message Service dan Yuni senang sekali. Romo juga menelpon dan Yuni "tidak bisa" berkata-kata lagi karena.."hei, tumben Romo nelpon Yuni!!" hahahaha.. Walaupun Yuni sedang bahagia tapi Yuni tetap saja belum menulis. Ouch..

Bagaimana kalau malam ini berikan satu kesempatan lagi untuk free menulis? Bagaimana Romo? Pundak Yuni sakit dan ya ampun!!!!!! Yuni melupakan cucian di belakang!!!!!!!

Sebentar ya Romo.....!!!!!

.................................................................................
...................................................................
.................................................
...................................
...........................
10 menit kemudian

Sepertinya besok pagi saja Yuni melanjutkan cuciannya. Sudah malam ini. Walaupun besok pagi melanjutkan cuciannya, Yuni tetap saja belum menulis.
Besok Yuni mulai. Well, sudah ada ide kok, Romo.

Saya merindukanmu, Ouch!!

Sunday, December 26, 2010

#1 Dear Romo..

Dear Romo..

Ini bukan surat untuk Romo. Yuni gak tau lagi mau kirim surat sama siapa. Jadinya Yuni tulis aja kalau ini surat untuk Romo walaupun Yuni tau surat ini pasti gak bakalan dibaca sama Romo karena surat ini bukan untuk Romo. Kalaupun ini untuk Romo, pasti tetap juga gak bakalan dibaca sama Romo karena Romo udah gak pernah lagi baca surat-surat dari Yuni. Kenapa Romo? Gak suka lagi ya? Udah bosan ya dengan surat-surat dari Yuni?

Tadi Yuni udah beres-beresin kamar. Rencananya sih biar adem aja ngeliat kamar karena untuk sebulan ke depan Yuni bakalan banyak menghabiskan waktu di kamar. Semua udah disusun dengan rapi. Sekarang udah adem ngeliatnya. Tapi, entah kenapa masih ada perasaan yang gak nyaman setelah beres-beresin kamar. Tadi udah Yuni cari-cari di manalah perasaan yang gak nyaman itu berada. Tapi, gak dapat juga. Eh, kayaknya surat ini untuk Romo aja deh. Yuni emang lagi pengen ngobrol sama Romo.

Kembali ke perasaan yang gak enak tadi ya, Romo. Kan udah Yuni cari-cari tuh, tapi gak nemu juga. Mondar-mandir masuk keluar kamar tetap juga gak nemu. Trus, Yuni rebahan sebentar di tempat tidur. Baru terasa di mana letak gak nyaman itu. Ternyata di kamar ini masih banyak kali pekerjaan yang Yuni tunda-tunda belum Yuni lanjutin dari jaman kapan gitu. Yuni malas ah bikin daftarnya lagi. Lagi malas, Romo.

Yuni tau kok malas itu gak baik jika dibiarin, tapi Yuni sedang menikmatinya, Romo. Paling gak, kamar Yuni sekarang udah adem diliatnya. Mungkin nanti siang deh Yuni bikin daftarnya. Sekarang masih terlalu dini hari. Yuni mau tidur. Yuni udah ngantuk.

Romo, cepat pulang ya. Yuni merindukan bau badanmu.

Thursday, December 9, 2010

selain MENGERTI tentangmu, masih adakah yang LAIN yang bisa saya berikan? (bagian 2)


Untuk beberapa hari ini saya masih terus saja "gelisah". Berusaha untuk mencocokkan aura yang ada pada saya dengan aura yang ada pada dirimu. Saya tau bahwa kamu pun akan selalu mengatakan kepada saya agar saya "santai saja" dengan segala rasa itu. Ya, kamu mungkin saja benar kalau itu hanya perasaan saya saja.

Perempuan selalu mengeluh kalau pasangannya tidak perhatian. Mereka memang makhluk yang rata-rata ingin dimanja, disayang, dipuja oleh para kaum sepertimu termasuk saya di antara salah satu perempuan itu. Tapi, keinginan yang seperti itu terkadang bisa berdampak tidak baik bagi kaum seperti saya. Mereka pasti akan merasa menjadi segala-galanya atas kaummu dan sesekali akan bisa bertindak di luar batas kesabaran dan harga diri para lelaki jika apa yang mereka inginkan tidak terpenuhi. Memang tidak semua perempuan seperti itu. Hanya saja, hampir rata-rata begitu.

Kaum sepertimu pun begitu. Ada juga yang ingin dimanja seperti perempuan bahkan cenderung kalau berpikir selalu menggunakan perasaan. Ada juga yang tidak peduli--tidak suka ambil pusing--untuk hal-hal yang tidak penting. Dan, perempuan selalu susah ditebak apa yang sebenarnya mereka cari dari laki-laki.

Tentang kita, kamu adalah laki-laki yang sangat peduli di balik wajah ketidakpedulianmu itu terhadap saya. Tapi, saya selalu menganggap kalau kamu tidak pernah peduli. Peduli untuk hal-hal yang luput dari pandangan saya dan itu membuat saya selalu tersenyum di dalam hati dan tidak lupa mengucapkan syukur kalau kamu memang "baik". Padahal selama ini saya sering marah-marah bahkan menangis hanya karena kamu saya anggap tidak peduli kepada saya perihal tidak membalas sms dan mereject telpon. Alasannya: kamu tidak dengar dan lupa. Gara-gara kamu, uang untuk mengalokasikan dana pulsa handphone sebulannya hanya Rp.10.000,- dari yang dulu-dulunya bisa mencapai ratusan ribu rupiah (saya pun terbahak-bahak!!!)

Beberapa hari terakhir ini, saya tidak bisa bersikap dengan "santai". Saya memikirkan sepertinya saya tidak perhatian terhadapmu. Seperti yang kamu katakan kalau saya "masih" memikirkan diri saya sendiri. Tapi, setiap saya bertanya tentang kamu, kamu selalu malas menjawabnya. Kamu bilang, daripada nanti dijawab dan ternyata tidak pas, lebih baik diam saja. Akhirnya, saya pun diam karena berpikir kalau bertanya pun kepada kamu pasti tidak dijawab dan kamu pun diam karena berpikir daripada salah menjawab lebih baik diam saja. Dan, kita benar-benar diam padahal kita ada bersama.
Seperti katamu kemarin: Kok sunyi-sunyi aja ya? Biasanya ayank ribut berceloteh?
Jawabku: Gak tau. Kenapa, Bang? Ngerasa gak ada beda gitu yah antara ada Yuni dan gak ada Yuni?
Kamu: Ya, justru itu. Ngerasa seperti gak ada ayank. hehehe...

Dulu, di saat saya begitu over untuk marah-marah kepada kamu tentang hal yang sepele seperti tidak perhatian kepada saya, ada satu pertanyaan yang kamu tanyakan di sela-sela kemarahan saya sedang di puncak-puncaknya.
"Pernah gak hitung berapa kali ayank merasa ada untuk abang?" dengan santainya kamu bertanya sambil terus tetap membuat musik dan saya yang dari tadi marah-marah sambil menangis tiba-tiba terdiam tercekat mendengar pertanyaan itu.
Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tau harus menjawab apa dan karena memang saya tidak punya jawaban yang pas selain "tidak pernah menghitung" dan "tidak pernah terpikirkan untuk merasa ada". Setelah itu kamu yang menghapus air mata saya dan menenangkan saya sambil berkata kalau semuanya pasti baik-baik saja.

Saya memang masih hanya memikirkan diri saya sendiri. Kamu benar. Yang saya tau saya tidak boleh menjadi orang yang terus mengeluh kepada kamu. Yang saya tau saya harus percaya kepada kamu kalau kamu pasti akan selalu baik-baik saja karena kamu tidak ingin membuat saya semakin banyak pikiran. Dan yang saya tau saya harus bisa mengerti kamu.

Sekarang, alangkah baiknya jika kamu membiarkan saya untuk bisa minum sendiri dari gelas saya sendiri.

Tuesday, December 7, 2010

Sudah saya katakan

Akhirnya sudah saya katakan jika saya ingin dibaca olehmu..

Ya, memang harus seperti itu. Saya ingin "dibaca" olehmu dan saya akan selalu "mendengarmu". Itu kan karya-karya kita?

Saya dengan semua tulisan saya...




...dan kamu dengan semua musikmu.


Kita hampir selalu "diam" bahkan sampai berjam-jam di setiap pertemuan padahal kita sedang saling berhadapan satu sama lain. "Diam" yang punya ceritanya sendiri di zona yang tak terbatas tapi tetap tidak bisa saling tau.

Saya punya kata...

...dan kamu punya nada.

Hanya dengan itu kita bisa saling bicara tanpa perlu lidah ikut campur di antara keduanya.


--Nah, kapan kamu mulai untuk "membaca" saya?

Wednesday, December 1, 2010

selain MENGERTI tentangmu, masih adakah yang LAIN yang bisa saya berikan? (bagian 1)


Ya, mengerti tentangmu.
Tidak mudah untuk beradaptasi dengan kata "mengerti", apalagi itu tentang kamu. Saya yakin kamu pasti sudah tidur sekarang. Mengingat apa yang kamu katakan bahwa akhir-akhir ini kamu sudah sering cepat tidur. Itu bagus untuk kamu. Tapi, saya yang tidak bisa tidur akhir-akhir ini. Daripada saya guling-guling sana-sini tanpa penjelasan di atas tempat tidur, lebih baik saya menulis ini. Menulis tentang kamu.

Apa yang kamu pikirkan tentang saya akhir-akhir ini? Sesuatu yang lain kah? Kalau saya yang jawab, saya akan mengatakan kalau saya memang sedikit lain. Saya sudah bisa menerima hal-hal yang saya inginkan dari kamu tapi tidak bisa kamu penuhi. Dan, saya sudah tidak cemburu lagi karena saya percaya dengan kamu.

Saya mengerti kamu.
Mengerti kamu dan mengerti kamu.

Selain mengerti tentangmu, masih adakah yang lain yang bisa saya berikan? Jika ada, katakan saja. Saya hanya bisa tertawa. Tertawa karena mengapa tidak dari dulu saja saya langsung bisa mengerti kamu. Tapi, hidup punya cerita tersendiri agar manusia bisa merasakan apa itu maknanya "membekas". Saya ingin ada yang membekas pada diri saya. Dan proses yang selama ini saya jalani hampir dua tahun ini, yang sudah menjadi konflik di antara kita, yang selalu menjadi ketakutan bagi saya, yang selalu.....yang selalu......dan yang selalu....., menjadi bekas bagi saya sampai kapan pun.

Saya sangat berterima kasih kepada kamu karena kamu punya kekuatan untuk bersabar menghadapi saya di saat orang-orang lain langsung memilih meninggalkan saya karena segala kekurangan saya. Apalagi yang bisa saya lakukan selain mengerti akan dirimu?

Sekarang, saya merasa--mungkin kamu juga begitu--lepas bebas untuk bercerita tentang orang-orang yang pernah singgah dalam hidup kita. Bukan seperti dulu saat kamu begitu tidak mengerti harus bersikap dan berkata apa jika salah satu di antara mereka yang pernah mengisi hidupmu tiba-tiba hadir kembali di saat saya sudah menjadi bagian dari hidupmu. Saya mengerti saat itu pasti tidak ada sedikit pun keinginanmu untuk menyembunyikan masa lalu dari saya. Kamu hanya ingin menjaga perasaan saya karena saya adalah perempuan pecemburu (buta).

Saya sangat menikmati pembicaraan kita tadi. Sungguh tanpa rasa cemburu. Yang ada hanya bahagia karena tidak ada rasa terpaksa untuk bercerita. Saya berharap ini bisa saya pertahankan. Begitu juga kamu jika saja tiba-tiba justru kamu yang menjadi pecemburu. Tapi, saya yakin kamu tidak seperti itu karena kamu percaya saya.

Kita sibuk. Sibuk dengan dunia masing-masing dan saya sudah mengerti. Pilihan saya untuk membiarkan kamu larut dengan duniamu adalah tepat. Sekali lagi saya katakan, saya sudah mengerti.

Katamu: Jalani saja!


--Saya ingin membekas dan ingin selalu..

Thursday, September 9, 2010

bukalah MATAku


Romo...
Malam ini mata Yun tidak bisa terpejam lagi. Padahal jarum jam sudah berlari sampai posisi di antara angka dua dan tiga. Tak terpejam, mimpi pun belum datang. Kata bulan, mungkin seharusnya Yun bercerita saja. Hmm...sepertinya, setelah di pikir-pikir dan rasa-rasa, Yun mengambil keputusan untuk menjadi manusia pakai batas untuk hal yang tak terbatas dalam ruang dan waktu di dunia Yun. Memang benar seperti yang Romo katakan kalau dunia Yun itu sangat menarik. Yun mulai menikmatinya, Romo. Keunikan itu selalu ada di diri Yun. Dan, Yun butuh untuk membesarkan segala yang unik, menarik, dan menggelitik tentang Yun agar Yun tidak terus-terusan berjalan dengan satu kaki dan satu arah.

Romo...
Yun suka dengan semua yang ada di Yun. Mulai dari Yun kecil sampai sekarang. Itu semua milik Yun. Tidak boleh ada yang mengambilnya. Biar kata orang Yun ini tidak ada apa-apanya. Yang penting bagi Yun, diri ini selalu berharga.

Romo...
Yun lagi ingin sendiri dengan semua kesendirian Yun. Tapi, Romo tetap di sini ya...



--Kebersamaan itu tidak akan pernah mati, Sayang!

Monday, August 23, 2010

KEMARIN


Ada yang salah dengan hari ini? Aku pikir semuanya baik-baik saja. Pasti akan selalu baik-baik saja. Masalah sisi hatiku yang lain yang sering gelisah tidak menentu, dibiarkan saja. Sementara sisi hati yang satu lagi menjadi penawar agar tidak sakit sebelah.

 













Sudah lama waktu berlalu dengan segala perubahan fisik maupun psikis. Jika sedang tidak memperhatikan dengan detail, perubahan itu tidak tampak berarti. Terkadang baru disadari ternyata sudah banyak yang berubah.

Hari ini bukan cerita tentang hari ini. Maksudku hari ini bukan hanya dimulai dari hari ini. Oh, lebih tepatnya hari ini adalah cerita segala waktu. Aku sudah lama ingin memulai hari ini dengan hari yang jauh terlempar di belakangku, sementara kenangannya masih saja terus mengikuti sampai aku dinyatakan benar-benar lupa tanpa disengaja. Tuhan pun maklum. Makanya orang lupa, gila dan tidur terbebas dari dosa saat itu juga.

Ini cerita tentang kita. Belum tahu seperti apa kesudahannya. Kamu selalu mengatakan agar aku jangan memikirkan bagaimana nanti, tapi pikirkan saja yang sekarang. Lama-lama aku masih belum terbiasa dengan cara berfikir begitu. Ujung-ujungnya aku mengira kalau kamu tidak ingin aku bertanya-tanya terus apa jadinya nanti hubungan ini. Ekstrimnya, aku pikir kamu tidak serius denganku. Terlihat sekali aku tidak percaya denganmu. Padahal sebenarnya aku lupa bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang sama, kembali, tanpa aku sadari dan sekarang baru aku sadari, kembali.

Cemburu menciumku saat semua itu aku baca dengan remuk redam. Cemburu, yang aku tahu seharusnya tak buta menjadi benar-benar buta dalam hitungan menit. Pernah aku tersadar saat aku menyendiri dengan tubuh penuh kesakitan, melihat dirimu menjelma menjadi sebuah penyakit bagiku. Ingin rasanya aku bunuh kamu tanpa permisi dan mencium pipimu lembut saat nafas terakhirmu menghangatkan wajahku. Tapi, itu semua hanya perasaanku saja. Perasaan yang berbicara dengan tutup mata dan tutup mulut. Seperti aku yang tertidur tapi tak terpejam. Bukan, seperti terpejam tapi tak tertidur.

Aku menginginkanmu dengan detak jantungku yang terus berpacu. Semakin kamu mendekat, semakin dekatlah kematian itu karena jantungku semakin lelah olehmu. Maka, ku ingin kematianmu agar ku tahu kita mati bersama karena saling menemani bukan saling mencinta tanpa kebersamaan.

Friday, June 25, 2010

Sebelum dan BERIKUTnya...



Dulu saya suka selingkuh saat saya merasa kosong pada satu titik. Sekarang saya tidak suka selingkuh saat saya merasa mulai kosong di hampir satu titik. Dulu saya tidak tahan kalau disakiti. Sekarang saya ingin menahan apa yang disakiti. Dulu saya selalu minta untuk dipuja. Sekarang saya tidak ingin dipuja-puja. Pernahkah saya bangga dengan sebuah kesalahan? Ya, pernah. Dulu saya bangga dengan semua kesalahan saya. Tapi, sekarang saya hanya mendiamkan kesalahan saya. Saya biarkan semua itu berlalu dengan bisu. Saya biarkan semua itu terpendam dalam diam. Sekarang yang saya tahu adalah apa yang harus saya lakukan karena dulu saya tidak pernah tahu apa yang harus saya lakukan. Saya ingin dicari dan selalu ingin dicari karena saya ingin merasa berarti. Saya selalu mencari karena saya merasa pasti saya berarti. Suatu saat nanti ada sebuah cerita panjang yang akan membuat dunia ini merasa dibohongi oleh saya karena saya selama ini menyimpan sebuah "arti" bagi diri yang berarti. Apalah artinya arti jika tidak berarti? Saya pasti berarti bagi yang punya hati beserta isi. Saya adalah arti itu sendiri.



Romo, tolong dibaca. Ini surat untuk Romo tentang air mata yang kesakitan...

Saturday, June 12, 2010

peri ANUSELIA


Romo, dulu pernah ada cerita tentang peri kecil yang senang melintasi ruangan ini. Dia terbang sampai mengenai langit-langit ruangan ini.

"Buuuggghhh..."

Oh, dia kesakitan pada saat itu, Romo. Kepalanya kejedut dengan langit-langit yang keras. Langit-langit yang ada di ruangan ini tidak sama seperti langit-langit yang ada di rumahnya. Ternyata dia terjatuh melayang-layang seperti sehelai daun kering yang lepas dari dahan pohon kayu, berputar-putar, menari dengan indah sambil memegangi kepalanya yang pusing. Dia mendarat di atas tempat tidur saya, Romo.

"Uuuughhhh..."

Dia pikir dia sudah mati padahal dia hanya merasa kalau dia sudah mati atau mungkin rasa-rasanya mati. Setelah dia yakin dia masih baik-baik saja, dia bangun dari kepusingannya yang sesaat.
Tak lama sebelum dia akan bangkit dari kepusingannya, saya masuk ke dalam ruangan ini. Saya duduk di tempat tidur dan peri terhimpit oleh pantat saya. Saya tidak tahu, Romo.

"Buuuugggghhh..."

Malamnya saya bermimpi ada peri kecil keluar dari anus saya.

"Hai...nama saya peri Anuselia. Kamu siapa?"
"Iiiiiiihhhhh.............................lucunyaaaaa....."

Friday, May 7, 2010

Romo, sekarang ini yang TERTINGGAL hanyalah SELAMAT TINGGAL.


Sebuah aktivitas hidup dalam keseharian yang selalu saja ingin dikorek-korek oleh manusia lain merupakan basa-basi yang sudah menjadi tradisi. Sekarang hal-hal seperti itu sudah dibatasi dalam zona batas saya untuk memandang orang lain. Pembelajaran lokal dalam situs sekeliling pijakan saya sudah ada rambu-rambu bahwa tidak semua di antara mereka bisa memijak garis terjauh saya. Romo mendengar walau tak selamanya memberi komentar. Rasa kesal saya karena hal-hal yang tidak saya ketahui sering menjadi spekulasi-spekulasi sesaat dalam perjalanan saya. Tidak segampang itu saya bisa sekadar blak-blakan tentang siapa dan oleh siapa saya bercerita. Saya tidak perlu memaki-maki hal-hal yang sudah diajarkan ke saya bahwa yang seperti itu pantasnya dikubur dalam-dalam.

Setiap hari setiap saat selalu ada kalimat-kalimat penenang dari dalam jiwa untuk senantiasa meyakinkan diri bahwa saya hari ini pasti baik-baik saja. Saya sangat berharap itu ada di diri saya. Ikhlas akan selalu menjadi headline dalam menyambut hari. Menjadi manusia, maksud saya menjalankan hari-hari sebagai manusia, butuh cara kreatif yang akan terus mengalir, berganti-ganti dengan alur yang baru dan terus baru. Akan sampai mana? Mungkin tak akan sampai-sampai karena bukan saya sebagai penentu tempat pemberhentian.

Jika ditanya, saya ingin kenangan yang tidak saya ingin ada harus hilang dari perangkat ini. Tidak juga saya, tidak juga kamu, apalagi mereka. Saya tidak akan berlari. Sudah lelah. Saya akan berjalan saja sebagaimana seharusnya. Memaksakan diri untuk terus menyesali juga tidak ada guna. Saya hanya meminta untuk bisa kuat. Dalam segala hal bisa saja berbagai kemungkinan akan datang dan berlalu silih berganti. Menembus batas adalah belum saatnya.

Ada sebuah manifesto yang ingin saya ciptakan. Ada sebuah dunia yang sedang saya bangun. Ada sebuah konspirasi yang masih dalam mimpi. Sudah saya simpan erat-erat dalam catatan. Saya disuruh membuat dialog dalam monolog. Kemudian saya harus berani tampil dalam panggung yang ditonton miliaran nyawa. Kemudian akan ada gerak-gerik kata yang berkeliaran di antara mereka. Siapa yang sangka?

Nada-nada yang akan mengiringi sudah menunggu. Mereka sedang bersiap-siap untuk dijodohkan dengan narasi pengikat aksi. Saya yang menjadi pelakon dalam lelakon yang tidak monoton. Saya akan membuat batas lingkaran itu akan semakin mengecil diameternya, mungkin hanya selingkar telapak kaki saya. Egoiskah? Itu yang saya ingin. Koreklah jejak-jejak saya jika memang terbenam saat terbaca oleh mata. Bukan saya yang membaca jejak. Saya tidak akan membaca jejak saya jika saya yang berjalan. Jejak hanyalah jejak. Yang saya lihat akanlah selalu depan yang menawan. Jika ingin mengikuti jejak saya, ikutilah jejak pertama. Tapi, jangan harap saya akan menunggu karena jejak bukanlah sebuah yang bijak.

Tariklah dunia, seperti uluran tali ini. Akan bergelombang terus dan terus sampai akhirnya lepas dan berhenti begitu saja. Saya dituntun oleh rasa. Di sebelah saya ada jiwa yang tersentuh betapa saya begitu berharga bagi dirinya. Saya adalah kenangan dan dia adalah khayalan.



--Manifesto, Nadi, Jangan-jangan, dan Aorta!

Monday, April 19, 2010

Malam ini saya sedikit CURHAT, Romo!

Malam ini curhat. Curahan Hati. Curi Hati. Curangi Hati. atau Cucuran Hati. Maksa sekali. Hohoho...

Medan masih tetap panas dengan segala keringat yang terus berlomba untuk bisa dapat keluar dari terowongan sempit kulit. Saya tidak jadi mandi, sudah malam. Bisa-bisa Makcut ngomel-ngomel dengan saya. Sekarang yang ada di pikiran saya adalah bagaimana caranya saya bisa melakukan semua yang sudah saya rancanakan. Atau sepertinya rencana saya masih kurang pas. Tapi, saya yakin pasti bisa saya laksanakan jika mau. Sekarang atau tidak sama sekali, kata Romo. Rambut saya bergetah keringat. Seperti yang saya katakan tadi, saya takut diomeli jika mandi malam. Gerah yang bisa membuat marah-marah.
Mie Aceh tadi yang dibeli masih dalam bungkusan. Sebentar lagi saja deh saya lahap mie Acehnya. Sedang ribet otak saya. Apa mungkin karena terlalu banyak pekerjaan di rumah hingga membuat saya tidak punya waktu untuk berbicara sendiri. Berbicara sendiri di sela-sela pekerjaan rumah bisa membuat saya tidak konsen. Inginnya, saya duduk di meja kamar saya, memegangi pulpen, menyediakan buku catatan, kemudian berpikir sambil berbicara dengan alur yang mengalir.

Sekarang masih pukul 22.07 wib. Belum saatnya untuk bisa berbicara. Sebentar lagi saya harus menjemur cucian yang sudah saya keringkan di mesin cuci. Oh, dua puluh empat jam tidak cukup! Setiap hari tidur hanya tiga jam. Pagi-pagi harus sudah mengurus rumah dan si kecil. Sampai akhirnya jarum jam berpindah ke siang yang menandakan saya harus sudah menyiapkan makan siang. Rumah berantakan kembali oleh si kecil. Membuatnya harus bisa tidur siang agar malam tidak rewel juga butuh perjuangan.

"Tidak menerima keluhan", kata Romo.


Bagaimana saya tidak mencak-mencak saat saya mendengar kalimat itu. Marah-marah saya. Tega sekali berkata begitu kepada saya. Tapi, saya memilih diam saja setelah itu. Dia itu tipe orang yang malas menjelaskan mengapa dia berkata atau melakukan begitu.







--Romo, saya mau menyelesaikan hal-hal yang membuat otak saya ribet.