Thursday, December 30, 2010

Century


Mulut saya berdarah lagi. Padahal saya hanya mengunyah makanan lembut. Tahukah bagaimana rasa darah? Untuk yang satu ini saya tidak bisa mendeskripsikannya bagaimana rasa darah itu. Yang pasti, tidak enak. Membuat perut saya mual.

Saya baru saja menyelesaikan membaca novel “Century”. Novel fantasi yang membuat saya bingung. Bukan, maksud saya sulit memahaminya. Butuh sampai tiga kali saya mengulang membaca novel ini hingga akhirnya saya paham seperti apa ceritanya. Isi ceritanya yang mustahil terjadi di alam manusia membuat saya sangat terpukau di bagian akhir cerita. Sangat terpukau. Apa sebab? Saya sudah mengatakan kalau saya butuh tiga kali mengulang membaca novel ini baru saya bisa paham. Ceritanya tidak bisa saya tebak mau dibawa ke mana. Makanya saya katakan bagian akhir ceritanya itu membuat saya terpukau karena tidak terpikirkan oleh saya akan seperti itu. Akhir ceritanya sangat sederhana. Mungkin sanking sederhananya membuat saya terpelongo saat membacanya.

Sarah Singleton
Saya suka sekali novel ini. Novel karya Sarah Singleton yang begitu terasa suasana gothic-nya. Saya penasaran dengan visualisasinya jika novel ini diangkat menjadi film. Apakah ada filmnya? Saya ingin sekali menonton jika memang sudah ada filmnya. Sepertinya ini cerita di abad victoria yang begitu klasik. Gara-gara membaca novel Century, saya langsung jatuh cinta dengan Sarah Singleton. Century adalah novel anak-anak pertama yang ditulis Sarah Singleton, seorang jurnalis dan penulis fiksi berdarah Inggris, yang sebelumnya dikenal sebagai penulis novel dewasa, The Crow Maiden (2001) dan novella, In The Mirror (2001). Selain Century, penulis kelahiran tahun 1966 ini telah menulis dua buku anak-anak lain, yaitu Heretic (2006) dan Sacrifice( 2007). Century yang diterjemahkan Poppy Damayanti Chusfani dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini telah memenangkan Booktrust Teenage Prize tahun 2005. Padahal Harry Pottrer-nya J. K. Rowling saja belum sedikit pun saya sentuh. Century juga menceritakan sihir, tapi tidak sedahsyat di Harry Potter. Dengan kesederhanaan penceritaannya itu lah saya menjadi takjub.

Novel Century dibuka dengan adegan penemuan sebuah buku bersampul kulit merah dalam sebuah peti di sebuah rumah yang telah ditinggalkan penghuninya selama beberapa dekade dan saat itu sedang direnovasi. Tidak jelas siapa narator yang menceritakan penemuan buku itu. Mungkin, Sarah Singleton sendiri, mengingat penemuan buku yang terdapat pada bagian prolog ini diceritakan menggunakan perspektif orang pertama. Setelah prolog, tidak ada lagi bagian novel yang menyinggung si "aku" ini.

Di cover novel tersebut ada gambar seperti sebuah rumah tua di zamannya. Itu lah rumah mereka yang dipenuhi oleh sihir. Tinggal lah seorang laki-laki sebagai ayah, dua orang anak perempuan dan satu orang pembantu yang mengasuh dua anak perempuan itu. Kebiasaan mereka sangat berbeda dengan manusia lainnya yang tinggal di sekitar. Di saat orang lain tidur di malam hari, mereka justru menganggap itu lah pagi hari mereka. Jika malam sudah mulai turun, pembantu mereka akan membuka gorden-gorden rumah pertanda pagi sudah datang. Mereka mengatakan sarapan di saat malam hari, bukan di pagi hari seperti manusia normal lainnya. Kemudian juga anak-anak perempuan itu belajar di tengah malam (seperti homeshooling), bermain-main di taman rumah mereka pada jam di mana orang sedang lelapnya tertidur, dan aktifitas lainnya. Pada saat pagi menjelang, pembantu mereka akan menurunkan kembali gorden-gorden rumah besar mereka itu dan menyuruh anak-anak untuk segera tidur. Itu lah malam hari mereka di saat manusia lainnya bangun dari tidur mereka.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu sehingga jadwal aktifitas mereka harus bertolak belakang dari manusia lainnya? Dan bagaimana akhir ceritanya yang saya katakan membuat saya terpukau? Baca saja!


Judul buku: Century
Penulis: Sarah Singleton
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Terbit: Cetakan Pertama, Juli 2007
Tebal: 248 hlm; 20 cm
Genre: Science Fiction & Fantasy
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Harga aslinya saya kurang tahu karena saya beli di bazar buku yang hanya Rp. 10.000,-
Asik...asik...asik...

filosofi coklat


Siapa bilang coklat itu manis dan lengketnya bisa memukau emosi? Siapa bilang coklat itu pahit? Siapa bilang coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis? Siapa bilang coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan? Siapa bilang coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun? Siapa bilang coklat itu sebagai obat penenang? Siapa bilang coklat itu misterius dan menghanyutkan? Siapa bilang coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan? Siapa bilang coklat itu bisa bikin sakit perut? Siapa bilang coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri? Siapa bilang coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu? Siapa bilang?

Tidak selamanya coklat itu manis dan lengketnya bisa memukau emosi. Tidak selamanya coklat itu pahit. Tidak selamanya coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis. Tidak selamanya coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan. Tidak selamanya coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun. Tidak selamanya coklat itu sebagai obat penenang. Tidak selamanya coklat itu misterius dan menghanyutkan. Tidak selamanya coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan. Tidak selamanya coklat itu bisa bikin sakit perut. Tidak selamanya coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri. Tidak selamanya coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu. Tidak selamanya.

Dibutuhkan waktu untuk merasakan kalau manis dan lengketnya coklat bisa memukau emosi. Dibutuhkan waktu untuk memahami kalau coklat itu ada juga yang pahit. Dibutuhkan waktu untuk membayangkan sepertinya coklat itu makanan yang enak dan terasa nikmat jika ada yang memberi dengan gratis. Dibutuhkan waktu untuk berfikir bagi beberapa orang yang menganggap coklat itu hanya sekedar cemilan apalagi kudapan. Dibutuhkan waktu untuk tertawa karena ada yang mengatakan coklat itu simbol kasih sayang bagi siapa pun. Dibutuhkan waktu untuk tenggelam sejenak bagi mereka yang mengigau kalau coklat itu sebagai obat penenang. Dibutuhkan waktu untuk mencari tahu apakah benar coklat itu misterius dan menghanyutkan. Dibutuhkan waktu untuk menangis berdua hanya untuk membisikkan kalau coklat itu adalah persahabatan dan juga penderitaan. Dibutuhkan waktu untuk bertanya kepada ahli kesehatan apakah mungkin coklat itu bisa bikin sakit perut. Dibutuhkan waktu untuk berkhayal bagi para perempuan kalau coklat itu pilihan yang tepat untuk memanjakan diri sendiri. Dibutuhkan waktu untuk mengatakan kalau coklat itu adalah ini dan coklat ini adalah itu. Butuh waktu.



--Romo, Yuni ingin makan coklat dan ice cream Conello, bukan Magnum.

benci janji

Saya sedang membenci janji.
Entah mengapa begitu manis didengar saat pertama kali.
Mungkin air mata bahagia pun akan mengalir karena mendengar janji.




..dan mengapa harus a
da janji??


#5 Dear Romo..

Dear Romo..

Tidak biasanya surat ini Yuni tulis di jam segini. Tidak ada alasan khusus. Hanya sedang ingin saja, Romo.

Malam ini malam tahun baru. Seperti malam-malam tahun baru sebelumnya, Yuni memang tidak pernah ke mana-mana. Hanya di rumah. Bukan sesuatu yang penting untuk menghabiskan malam di luaran sana. Bukan karena tidak ada teman atau apa, tapi karena itu tidak penting. Jadi, malam tahun baru kali ini akan Yuni habiskan di kamar dengan menonton film dan membaca literatur yang belum terselesaikan sambil mulai aktif kembali menulis buku harian per 1 Januari 2011. Ide yang sangat baik, bukan? Hehehehe...

Tadi malam Yuni juga belum menulis, Romo. Baiklah, Yuni akui Yuni masih malas menulis, tapi tidak untuk malas membaca. Yuni sedang memulai untuk rutin kembali membaca majalah Horison yang sudah Yuni beli untuk dikoleksi dari dua tahun yang lalu itu. Dan Yuni memulai dari majalah Horison yang Romo berikan kepada Yuni dulu. Bercerita tentang in memoriam Mochtar Lubis. Yuni tahu siapa beliau. Hanya sekedar tahu. Tapi, setelah membaca beberapa esai dari para sastrawan mengenai beliau, Yuni jadi semakin tahu seperti apa sosok beliau. Jadi berpikir, mengapa tidak dari dulu-dulu saja Yuni rutin untuk membaca majalah Horison yang sudah menumpuk ini. Oh ya, setelah Romo pulang nanti, jangan lupa kita pesan majalah Horison ya, Romo.

Beberapa menit yang lalu, Yuni baru saja selesai ngobrol dengan "mereka" tentang Romo. Banyak yang Yuni obrolkan. Salah satunya adalah mengapa Yuni tidak bisa selingkuh di belakang Romo. Hahahaha... Itu cerita basi. Cerita yang lainnya lagi adalah mengapa Yuni sudah sangat berubah dari sebelum "bertemu" Romo dibandingkan dengan yang sekarang. Yuni masih belum percaya saja, Romo. Entah apa yang bisa membuat Yuni menjadi "sembuh" sejak bersama Romo. Oh, Romo..Yuni punya cinta yang hebat buat Romo, bukan buat yang lain. Hehehe...

Romo, perut Yuni sakit. Ada bau kentut di mana-mana. Hahahaha...
Justify Full

Wednesday, December 29, 2010

#4 Dear Romo...

Dear Romo...

Yuni demam, Romo. Masih pukul 01.21 wib dini hari dan di luar hujan rintik-rintik membanting diri ke atas seng dapur. Badan Yuni hangat yang seharusnya dingin. Bibir Yuni kering yang seharusnya lembab. Barusan pipisnya banyak, menandakan Yuni masih sehat-sehat saja.

Well, tadi sore kita ngobrol banyak sampai-sampai Yuni kesal karena pulsa Telkomsel-nya habis. Ngobrol banyak dengan cerita yang tiada putus. Mungkin kalau bukan karena Romo ingin melanjutkan membuat prakaryanya, pembicaraan kita tadi masih berlanjut sampai sekarang. Ah, tidak mungkin...tidak mungkin...hahahaha...

Sebentar, Yuni mau coba lihat situs tentang Inception Ending yang tadi Romo katakan. Tunggu ya, Romo.

Beberapa menit kemudian....................

Yang ini bukan situsnya http://www.inceptionending.com ?
Nanti-nanti saja Yuni baca.

Romo, sampai detik ini Yuni juga belum menulis. Tapi, Yuni sudah membuat konsep tentang apa saja yang ingin ditulis. Mungkinkah kepulangan Romo nanti akan mendapatkan tulisan yang banyak dari Yuni? Belum tentu karena sampai sekarang Yuni belum juga menulis.

Tinggal dua minggu lagi pengumuman sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Yuni jadi resah gelisah. Saingannya hebat-hebat, tentu. Ini bukan tentang ambisi ingin menang, tapi belajar bagaimana bisa merasa ada di antara mereka-mereka yang hidupnya tidak bisa lepas dari sastra.

Romo, badan Yuni semakin panas saja ini. Sepertinya ini serius. Cepat pulang Romo. Kalau Romo ada di sini, Yuni hampir tidak pernah sakit. Coba Romo ingat-ingat, setiap Romo pergi pasti Yuni demam. Sakit yang begini sama seperti waktu Yuni kecil dulu saat Ayah pergi dinas luar kota, Yuni pun demam. Apakah Yuni dengan Romo seperti itu hubungan batinnya? Entahlah, Romo.

Yuni ingin istirahat saja. Cepat pulang ya Romo. Ya ya ya ya ya...

Mungkin saja itu mungkin


"Mungkin. Mungkin saja apa yang aku rasakan itu tidak mungkin. Tapi, aku yakin kalau rasa itu bisa saja menjadi mungkin. Rasa marahku yang selama ini mungkin karena mendengar bentakanmu, membuat aku menjadi bosan dan muak untuk terus-terusan berada di dekatmu. Mungkin saja aku yang ketus karena terbiasa oleh keseharianmu kepadaku yang juga ketus. Aku bosan. Sudah berulang kali aku katakan, mungkin dengan perginya aku dari hidupmu bisa membuat kamu senang. Mungkin aku pun akan lebih senang. Tapi, aku belum bisa pergi. Mungkin dua tahun lagi. Katakan kepadaku, apakah tidak mungkin suatu saat nanti kita tidak akan saling bicara. Aku percaya itu mungkin terjadi karena aku tidak suka berbicara denganmu lagi. Tidak mungkin kamu mencariku jika aku pergi. Tidak mungkin. Aku akan pergi untuk mendapatkan 'mungkin-mungkin'ku yang sudah kamu campakkan.."

sekelebat yang Hebat


Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu? Oh, bisa saja sayang. Bagaimana? Kamu tidak perlu berlari, hadapi saja.

Hari-hari dilewati dengan bisik sana bisik sini, baca ini baca itu, dengar ini dengar itu, dan..kamu. Oh, siapa yang peduli kalau aku selalu bersama kamu. Ternyata banyak yang peduli walau dengan ekspresi, "yeah..you always together!".

Dalam satu ruangan yang sama, kita mampu hanya diam-diam saja. Tanpa ada pertengkaran karena didiamkan. Kita mampu itu. Setelah beberapa lama baru kita tersadar kalau kamu dan aku masih bersama dalam satu ruangan. Hening.
Pada saat tidur, siapa yang bisa terlebih dahulu memejamkan mata dan langsung tak sadar karena sudah masuk ke alam mimpi, maka dialah pemenang. Tapi itu tidak terjadi di antara kita karena kita susah tidur bersama. Tidak ada yang mau memejamkan mata. Akhirnya, kita keluar dari kamar mencari perangsang tidur masing-masing.

Aku membuatmu minuman petang sebagai penghantar senja ke peraduan. Kuberi gelas minumanmu untukmu. Kuambil gelas minumanku untukku. Kita minum bersama. Menikmati minuman senja tanpa kata. Hanya desahan, "hmmm....nice!". Kemudian diam lagi seperti tidak terjadi apa-apa barusan.

Aku tidak suka menonton TV. Aku hanya duduk menghadapi TV yang sudah aku matikan. Tiba-tiba kamu datang memberiku kejutan. Kejutan sebuah senyuman yang hanya boleh untukku seorang. Kita duduk bersama menghadapi TV yang mati. Tapi pikiran dan perasaan kita tidak mati. Diam seribu bahasa padahal di dalam hati saling berkata.

"Jangan pernah pergi ya.."
"Iya."
"Aku sudah sembuh, beibh."
"Aku tau."
"Aku jadi hebat."
"Kamu memang hebat kok, tapi kamu baru taunya sekarang."


Diam lagi. Masih tetap bersama karena tidak akan ada lagi yang pergi.



---kebersamaan itu tidak akan pernah mati, katamu.

Suck it = Sakit ???

Apa judulnya? Tidak tau? Saya juga tidak tau. Tadi kenapa bilang tentang itu? Oh, cuma ingin tau saja. Saya belum menguasai yang bagian itu jadinya saya belum bisa cerita. Ah, yang benar? Masak iya sih? Bagus dong kalau memang faktanya begitu. Jarang-jarang lho ada yang seperti itu. Wah, kalau saya sih ambil yang hari Sabtu saja. Katanya ramai. 'Kan seru kalau ramai. Hahahaha.. Eh, tidak kok. Saya serius lho. Pasti aman-aman saja. Sudah diatur semuanya. Oh ya, bagaimana jadinya? Tentang besoklah. Oh bisa ya? Ok deh. Jangan lupa ya. Bye!

sendiri, itu maunya saya.


Saya ingin sendiri. Tidak bisa terus-terusan seperti ini hidup satu atap tapi saya selalu takut. Saya takut dengan kamu. Saya tidak nyaman dengan kamu. Makanya saya ingin lepas dari kamu.

Kalau sekarang ini saya sudah punya pegangan untuk bisa kabur, mungkin sekarang saya sudah kabur. Saya tidak peduli dosa dari kabur itu. Yang saya tau, saya harus lepas dari kamu karena kamu adalah penderitaan bagi saya.

Saya sudah capek hidup dengan kamu tanpa ada bahagia yang saya rasa. Saya paling benci kalau tertawa bersama denganmu. Itu bukan tawa abadi. Itu tawa untuk permulaan dari bencana di rumah ini. Lebih tepatnya, itu adalah sebagai pertanda.

Pusing saya menghadapi marahmu saat saya minta uang untuk kebutuhan saya. Tidak banyak yang saya minta. Hanya Rp. 50.000,- saja sudah membuat kamu menampar saya. Kalau memang tidak mau memberi ya sudah. Tapi, bukan berarti dengan menampar saya juga.

Saya kecewa dengan kamu. Entah untuk apa kita hidup bersama. Saya jadi semakin benci dengan kamu. Sangat benci. Apalagi jika melihat sandiwaramu di depan para tamu, bagaimana kamu menunjukkan kalau kamu begitu perhatian kepada saya bahkan suaramu pun lembut. Sangat jijik saya melihatnya. Ingin saya ludahi saja wajahmu yang penuh kemunafikan itu.

Saya pasti akan lepas darimu. Saya pasti akan pergi darimu. Saya pasti akan bisa merasakan kebahagiaan yang saya mau dengan kesendirian saya, bukan denganmu. Saya yakin saat itu pasti akan datang.

Tuesday, December 28, 2010

#3 Dear Romo..

Dear Romo..

Sepuluh menit lagi akan ada yang namanya pergantian waktu menuju esok hari dan Yuni masih saja belum menulis, Romo. Apa pentingnya Yuni harus menulis saat-saat sekarang ini? Apa pentingnya, Romo? Yuni masih terlalu menikmati masa-masa tarik ulur antara emosi dan waktu dalam menyeimbangkan tindakan. Oh, terlalu banyak teori yang Yuni katakan. Sederhananya, Yuni sedang ingin berbicara secara personal dengan Romo.


Kapan Romo pulang? Lima hari lagi? Kurang dari itu? Atau lebih dari itu? Yuni akan tetap menunggu. Yuni penasaran seperti apa pertemuan yang akan terjadi di antara sudut-sudut yang punya ceritanya sendiri.


Hari ini Yuni mencoba untuk tidur dengan pulasnya. Tapi, tidak bisa. Begitu susah Yuni untuk tidur karena Yuni ingin datang ke dunia mimpi Yuni. Terakhir Yuni bermimpi tentang si Mura. Ada yang ingin dia katakan kepada Yuni tentang perasaan terdalamnya yang terpendam tentang Yuni. Kami berbicara di depan kamarnya. Tapi, entah mengapa keberadaan Romo yang terus saja mondar-mandir antara ruang tengah-studio-ruang depan membuat Mura menjadi tidak siap untuk mengatakan apa yang seharusnya Yuni dengar. Kalimat terakhirnya yang Yuni dengar adalah...

"Kak, sebenarnya yang membuat Mura bersikap begini kepada kakak adalah karena kakak..........."

Kalimat itu terputus, Romo!!! Padahal Yuni begitu ingin mendengarkan lanjutan kalimat dari mulutnya. Tidak sebentar kami berdiri di depan kamarnya. Dia sambil tetap memegang gagang pintu kamarnya dan Yuni bersender di salah satu sisi rangka pintu. Lebih tepatnya sisi menuju ruang tengah. Dan Romo terus saja mondar-mandir bahkan sesekali berhenti di depan kami untuk mendengar pembicaraan kami. Sebelumnya, butuh hampir setengah jam Yuni mencoba untuk mengajaknya berbicara. Semua diawali dengan ekspresi wajahnya yang tidak begitu senang terhadap Yuni tanpa sedikitpun mau melihat ke arah Yuni. Tapi, Yuni terus mengajaknya berbicara sambil meyakinkan kepadanya kalau semuanya baik-baik saja. Akhirnya, keluarlah kalimat itu dari mulutnya yang akhirnya terputus karena Yuni harus masuk ke mimpi yang lain.


Mimpi yang lain di mana Mama masuk ke dalam kamar Mak Cut yang di dalamnya hanya ada Yuni yang sedang terbaring sakit. Mama duduk di sisi kiri Yuni. Lebih tepatnya di sisi luar tempat tidur. Ada banyak kebahagiaan yang dia ceritakan kepada Yuni. Salah satunya tentang keluarga. Mama ingin Yuni sehat-sehat saja dan segera memberinya cucu. Kemudian Mama keluar dari kamar sambil memindahkan tangannya yang semula dia genggam kemudian berpindah untuk menyentuh perut Yuni. Tangannya dingin.


Itulah mimpi terakhir yang Yuni ingat. Yuni merindukan mimpi-mimpi Yuni yang lainnya.


Baiklah, sekarang Yuni (akan) menulis.

Monday, December 27, 2010

#2 Dear Romo..

Dear Romo..

..dan Yuni belum juga menulis. Entah mengapa sedang keranjingan maen facebook beserta aplikasinya, kalau gak mau dibilang m-a-r-o-k!! Bukan begitu, Romo. Ini bukan mencari pembenaran atau kambing hitam karena ini bukan tentang kebenaran apa pun dan tidak ada kambing hitam di sini. Tapi, ini tentang mood. Ya, kali ini baru pembenaran. Apa bedanya? Hahahaha...

Sampai detik ini, kamar Yuni masih tertata dengan rapi seperti saat baru dibereskan kemarin itu. Yuni masih merasa bahagia sampai saat ini karena kamar Yuni masih baik-baik saja. Oh, bahagianya Yuni, Romo. Tapi, tetap saja Yuni belum juga menulis.

Wauaww..tadi Romo kirim Short Message Service dan Yuni senang sekali. Romo juga menelpon dan Yuni "tidak bisa" berkata-kata lagi karena.."hei, tumben Romo nelpon Yuni!!" hahahaha.. Walaupun Yuni sedang bahagia tapi Yuni tetap saja belum menulis. Ouch..

Bagaimana kalau malam ini berikan satu kesempatan lagi untuk free menulis? Bagaimana Romo? Pundak Yuni sakit dan ya ampun!!!!!! Yuni melupakan cucian di belakang!!!!!!!

Sebentar ya Romo.....!!!!!

.................................................................................
...................................................................
.................................................
...................................
...........................
10 menit kemudian

Sepertinya besok pagi saja Yuni melanjutkan cuciannya. Sudah malam ini. Walaupun besok pagi melanjutkan cuciannya, Yuni tetap saja belum menulis.
Besok Yuni mulai. Well, sudah ada ide kok, Romo.

Saya merindukanmu, Ouch!!

Sunday, December 26, 2010

Reni, Rida, dan Yeli.


Mengapa saya tidak bisa menghapus keberadaan kalian dari sisi saya? Karena saya mencintai khayalan saya dan kalian adalah kyahalan saya.
Ouch!!

Apa Hebatnya "DIAM"?

Apa hebatnya "DIAM" itu?


Krn dg begitu qt jd lbh terjaga drpd mengucapkan sstu yg bs jd qt lebih2kan wlwpn hny 1 kt. Atw konflik bs muncul krn intonasi cr qt menyampaikan; kslhn dlm timing pnympaeanx; atw bhkn ketidaksukaan org thd intervensi qt kl qt ikut bcr. Bukankah lps dr it semua qt jd tdk 'berdosa', dan it keren?
(+6285622xxxxx)


Hebatnya mjdi diam membwat kt tdk bnyk mmbeberkan apa yg g pnting.sekaligus memenuhkan kepala dg apa yg dipendam
(+6285762xxxxxx)




"Diam" bukan berarti tidak bicara. "Diam" yang saya anggap mungkin sebagai tepukan pundak kanan saya agar jangan keliru dalam berbicara.

#1 Dear Romo..

Dear Romo..

Ini bukan surat untuk Romo. Yuni gak tau lagi mau kirim surat sama siapa. Jadinya Yuni tulis aja kalau ini surat untuk Romo walaupun Yuni tau surat ini pasti gak bakalan dibaca sama Romo karena surat ini bukan untuk Romo. Kalaupun ini untuk Romo, pasti tetap juga gak bakalan dibaca sama Romo karena Romo udah gak pernah lagi baca surat-surat dari Yuni. Kenapa Romo? Gak suka lagi ya? Udah bosan ya dengan surat-surat dari Yuni?

Tadi Yuni udah beres-beresin kamar. Rencananya sih biar adem aja ngeliat kamar karena untuk sebulan ke depan Yuni bakalan banyak menghabiskan waktu di kamar. Semua udah disusun dengan rapi. Sekarang udah adem ngeliatnya. Tapi, entah kenapa masih ada perasaan yang gak nyaman setelah beres-beresin kamar. Tadi udah Yuni cari-cari di manalah perasaan yang gak nyaman itu berada. Tapi, gak dapat juga. Eh, kayaknya surat ini untuk Romo aja deh. Yuni emang lagi pengen ngobrol sama Romo.

Kembali ke perasaan yang gak enak tadi ya, Romo. Kan udah Yuni cari-cari tuh, tapi gak nemu juga. Mondar-mandir masuk keluar kamar tetap juga gak nemu. Trus, Yuni rebahan sebentar di tempat tidur. Baru terasa di mana letak gak nyaman itu. Ternyata di kamar ini masih banyak kali pekerjaan yang Yuni tunda-tunda belum Yuni lanjutin dari jaman kapan gitu. Yuni malas ah bikin daftarnya lagi. Lagi malas, Romo.

Yuni tau kok malas itu gak baik jika dibiarin, tapi Yuni sedang menikmatinya, Romo. Paling gak, kamar Yuni sekarang udah adem diliatnya. Mungkin nanti siang deh Yuni bikin daftarnya. Sekarang masih terlalu dini hari. Yuni mau tidur. Yuni udah ngantuk.

Romo, cepat pulang ya. Yuni merindukan bau badanmu.

Thursday, December 23, 2010

Ikutan gak ya??

Gak tau mau tulis apa di sini. Kalau mau ikut lomba nulis-nulisan, tengok aja di:

1. CITIBANK - UBUD WRITERS & READERS FESTIVAL (UWRF)
2. NOVELKU DI LEUTIKAPRIO

cul-de-sac


Sudah saya perkirakan dari awal kalau dia hanya mencari kepuasan dari obsesinya itu. Selama ini saya selalu diam karena malas menghadapi dia yang sangat tidak penting bagi saya. Mengapa saya diam? Karena tidak penting untuk berbicara kepada orang yang tidak penting. Entah sudah berapa banyak usaha yang dia lakukan untuk terus membuntuti saya kemana pun saya pergi. Heran saja ada manusia yang seperti itu. Mungkin karena saya baru nemu saja makanya heran. 

Dia itu hanya terobsesi mencari saya. Yang saya tahu, orang yang terobsesi dengan sesuatu atau seseorang itu sangat suka dengan proses yang dia lakukan dalam mencapai obsesinya. Setelah obsesinya tercapai, sedikit saja apalagi secara keseluruhan, dia akan berhenti. Seakan-akan sebelumnya dia tidak sedang mengejar apa pun atau siapa pun. Dia akan berhenti begitu saja. Sangat cepat. Mungkin dalam perjalanan pengejarannya dia merasa penasaran mengapa obsesinya begitu susah dicapai. Setelah dapat, penasaran pun hilang, kepuasan pun hanya sekedar, dan ujung-ujungnya berhenti. Setelahnya dia hanya diam dan tidak seagresif saat dia sedang mengejar obsesinya. Aneh.

Saya hanya tertawa terbahak-bahak saja, mungkin sampai guling-guling di lantai saat tahu dia hanya bisa sebatas itu membuntuti saya. Mungkin saja dia sedang menyusun rencana yang lain agar bisa leluasa menemui saya dan kemudian membunuh saya. Tapi, saya tidak peduli. Sekali pun saya akan bertemu dengannya, tidak ada yang perlu saya takutkan. Saya tidak merasa apa-apa selain saya menganggap dia seperti batu. Oh, masih lumayan saya menganggapnya batu. Lebih baik saya menganggapnya tidak dengan anggapan apa-apa alias tidak pernah ada.

Ini sudah berakhir bagi saya. Baginya ini belum berakhir, mungkin. Saya punya kehidupan sendiri dan saya juga punya banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan dan dikerjakan daripada menghadapi hal-hal yang tidak penting seperti dia. 
Saya tutup buku sudah dari sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang pun saya sudah tutup buku untuk hal-hal yang tidak saya inginkan datang kembali dari masa lalu saya. Saya punya buku baru yang sedang saya tulisi dengan cerita baru pula. Untuk apa cerita lama apalagi tidak saya inginkan harus saya tulisi di buku baru? Membuat jelek saja.

Saya tidak peduli jika anjing harus terus menggonggong. Saya bukan tulangnya. Saya ini majikannya yang akan terus meludahi dan memakinya. Dia itulah anjing yang terus membuntuti saya. Anjing kan begitu, tukang buntut.

“Tidak ada maaf bagimu. Saya ini kejam. Lebih kejam dari Tuhan yang masih mau memaafkan hamba-Nya. Sekarang, pergi sana!!”

***

 
Pernah suatu ketika saya menertawai diri saya karena baru tau ternyata yang sebenarnya dia inginkan dari reaksi saya adalah saya diam sama sekali dan mati rasa terhadapnya, bukan marah-marah karena merasa terganggu. Awalnya saya begitu, tapi emosi lebih menang daripada logika. Kemudian kembali lagi seperti semula. Sejak saat itu, saya langsung mematikan lampu dunia saya dan menulis di depan pintu pagar saya:

“YUNI ZAI TIDAK KENAL KAMU. TERIMA KASIH.”

Wednesday, December 22, 2010

messi wallpaper 2010 cv



messi wallpaper 2010,

messi wallpaper 2010,

messi wallpaper 2010,

Diksi kita beda, Romo!! Jadi, berhentilah menertawakan perempuanmu ini, hiks..




Mana saya tau kalau dia ternyata bisa juga hmm...menulis (uweeekkk..) dengan diksi yang bukan seperti saya. Pertama bertemu kira-kira hampir dua tahun kurang dua puluh tujuh hari yang lalu, saya pikir dia hanya seseorang pecinta komik Doraemon dan Shinchan. Ternyata dia punya juga beberapa tulisannya yang akhirnya membuat saya berpaling ke hatinya. Sialan bukan? Bukan ah! Hahahaha...

Sudah saya bilang kalau kami ini beda. Tapi, dia tetap saja ngotot untuk meminta saya menulis lirik lagu untuk musiknya. Ok, saya tulis. Yang terjadi kemudian adalah semuanya di-REJECT!!!!!! Kesal saya. Dia bilang liriknya masih kurang...apaaaaa gitu, kok seperti boybaaaaand...gitu (padahal saya bukan pecinta boyband, saya pecinta KOOOOOORRRRNNNN), dan semua protes yang dia selancarkan dari otaknya DITAMBAH LAGI dia tak segan-segan menertawakan saya yang lucu sangat ini. Semakin kesal saya!!!

"Gak mau bikin lirik lagi!! Yuni coret dari daftar resolusi tentang bikin lirik lagu!!"
"Hahahahah...hehehehehe....hahahahaha..."
"Iiiiiihhhh...kok ketawa sih???? T_T"
"Hahahahahaha...lucu aja, Ayank!"





Muncung saya maju kurang dari lima sentimeter.

Dia hanya lagi malas mikir dan malas nulis. Padahal diksi dia lebih keren (Tuhan, ampuni saya karena sudah mengatakannya KEREN!!! \m/ hahahaha...) daripada saya. Diksi dia lebih dominan metafora, sedangkan saya lebih dominan ke kalimat jernih. Sementara dia ingin banyak metafora dalam lirik lagunya, tapi metafora yang jernih, katanya. Bagaimana sih???? Bingung saya. Dia itu cerewet. Kesal saya ah T_T

Pokoknya saya tidak sudi buat lirik lagu lagi. Saya mau nulis untuk saya sendiri. Sekarang saya lagi doyan jadi pengamat dan penikmat karyamu saja, Romo. Pikir dan tulis sendiri yak! lirik lagunya!! hahahahaha...

Monday, December 20, 2010

niskala

Hanya di ruangan ini dia bisa mendengarkan suara itu. Suara yang mampu membuat dia sadar kalau ternyata dia memiliki sisi keindahan dalam memikirkan sosok saya.

Saya pikir selama ini yang hanya dia pikirkan tentang saya adalah bagaimana caranya saya bisa mati seperti yang ada di khayalannya. Tapi, kali ini dia berusaha untuk memikirkan bagaimana tawanya saya di dalam khayalannya.

Gelengan kepala dengan gerak lambat sambil mengkhayalkan tawanya saya itu tiba-tiba berhenti.
Dia menatap lurus ke depan sementara suara-suara itu masuk ke dalam telinganya dan menjadi teman hidup untuk beberapa saat dan dia pun bernapas kembali lewat tangannya.

pertanyaan saya adalah..

1. Apa yang masih kamu ingat tentang diri kamu?

2. Setiap bangun dari tidur, terserah di jam berapa pun, bagaimana cara kamu meyakinkan diri kamu kalau kamu baru saja bangun dari tidur?

3. Berbicara tentang strategi dalam menghadapi siapa pun saat pertemuan, pernahkan terpikirkan oleh kamu untuk melarikan diri dari pertemuan itu? Mengapa?

4. Pada saat membaca buku, kamu pasti melihat begitu banyak rangkaian huruf di setiap halamannya. Kamu membaca mereka. Jika mereka menjadi kamu, apa yang seharusnya mereka baca tentang kamu?

5. Coba anda jelaskan perbedaan "kamu melihat saya" dengan "saya dilihat oleh kamu".

6. Setiap kamu berbicara dengan siapa pun, apalagi dengan intensitas substansi yang lebih banyak, bagian tubuh mana yang sering kamu cover untuk melindungi diri kamu?

7. Ketika kamu diminta untuk menggenggam sesuatu, sampai kapan kamu akan menggenggamnya? Mengapa?

8. Seberapa penting sosok kamu itu bagi orang lain dan diri kamu sendiri? Mengapa begitu?

9. Berapa kira-kira kamu memberi jarak antara masa sekarang dengan yang barusan saja terjadi dan yang akan terjadi?

10. Kalau saya katakan kamu lebih baik mundur saja dari masa depan, apa yang akan kamu lakukan? Mengapa?



Ma-es-tro

Aku ingin luasnya duniaku seluas tubuhku yang meringkuk tanpa bentuk

(Yuni Zai)

Sunday, December 19, 2010

Reject

Jeruji berputar dengan kata membalikkan makna. Tuhan di atas hitam dan putih sekedar realita atau bukan sama sekali karena kita buta akan dunia. Nyawa terdiam karena dipertaruhkan demi pilihan. Beribu tanya tak sempat terpikir hilang karena aku baru tahu betapa besarnya mulut para binatang yang meneteskan darah tanpa tuan di kepala.

Bagaimana bisa kita bertahan sementara tak ada beda antara kita dengan mereka. Tidak ada kesakitan yang ingin singgah dengan sukarela. Karena sebenarnya kita tidak pernah ada di depan matanya. Siapa dia? Siapa kita? Siapa mereka? Tidak ada siapa-siapa karena tidak seharusnya ada.

Iblis menangis meminta pengampunan dan entah mengapa hanya manusia yang sudi mengampuni. Mungkin karena manusia begitu cinta kepada iblis dan iblis lebih mencintai manusia. Mereka akan selalu bersama dalam satu persetubuhan suci dimana iblis menjadi penguasa atas segala rahim yang menelurkan kepala.

Kita berjalan dalam seretan-seretan tepi jurang. Ketakutan menyapa dan manusia pun menjerit. Mereka tidak kenal apa yang mereka katakan. Doktrin-doktrin pun menyebar cepat tanpa tahu apa itu malu.

Masih ada satu peradaban di ujung barat sana yang selalu kita agungkan untuk keruntuhannya. Kita mencari perangsang agar takdir berpihak bukan kepada Tuhan karena kita menginginkan kebebasan sementara Tuhan menginginkan penderitaan.

Inilah cerita massa dalam hitungan satu dua tiga. Diperalat untuk menjadi alat kemudian diajari bagaimana cara membangkang. Setelah itu kangkangi mereka yang merasa orang besar.

Kita tidak pernah ada dan mereka pun begitu. Yang ada hanya sebuah anatomi yang tersusun dari sedikit niskala tak berpihak. Kita kata ini adalah kekerasan. Mereka kata ini adalah cinta dan kasih sayang.

Pelajari mental sampai ke akarnya karena kejahatan berasal dari kelemahannya. Kamu bodoh telah tunduk dengan kepatuhan seorang manusia. Jangan manusia, tapi dirimu saja.

Aku lihat mulutmu sakit karena diciptakan. Kamu jenuh mencari apa yang ada pada sesuatu yang menghubungkan manusia dengan binatang-binatang yang bungkam. Demikian kata Tuhan contoh satu kekejian. Bukan dia yang menjadi korban karena manusia menderita tak punya banyak kata.

Pada mulanya selalu adalah tubuh. Kemudian nama, asal-usul, dan bunuh. Tidak butuh invasi dengan sumbu dusta karena sudah kukatakan ini semua tak pernah ada.

Jangan bicara tentang tubuh, mesin dan kuasa. Seperti raibnya seduksi pada mesin seks ala Sade. Rezim Orde Baru pun kehilangan wataknya. Mereka terintegrasi ke dalam prosedur mekanis. Dengan kata lain itu adalah kekuasaan.

Adalah satu-satunya jalan yang membawa individu lemah kepada kekuatan kehendak. Yang ditakutkan bukanlah perubahan pertobatan tetapi perubahan dimana sesuatu tidak bisa berubah lagi. Ketakutan ini yang memblokir komunikasi dalam kelainan menyadarkan diri dalam ketegasan tanpa sadar. Paradoks tidak akan mati. Akhir tidak akan kembali. Luka bukan sekedar fiksi karena tak terbatas adalah tempat kematian.

Teror menghasilkan massa, karena teror menyamakan manusia. Perbedaan di antara kita menguap di bawah cengkraman takut yang sama. Diri terbenam dalam lautan kerumunan adalah jalan pintas untuk melupakan sejenak tentang siapa kita. Sendirian, manusia merasa cemas. Akan dijemput kematian dengan pesona konfrontasi.

Wednesday, December 15, 2010

...ada yang mengakar sekali!


Celotehan Insomnia

Saya minta waktu. Mana? Bawa sini!




Di kamar saya sudah banyak yang menumpuk untuk diselesaikan. Jadi, jangan cerewet. Kulit kepala saya dari tadi gatal-gatal. Jangan dikira tidak keramas. Kemarin saya baru keramas.
Kapan saya harus menggunting-gunting lagi? Merekat-rekat lagi? Menjilid-jilid lagi? (yang ini bukan kerjaan saya).
Satu, dua, tiga, empat, ih...banyak juga. Bagaimana?
Bukunya juga banyak. Malah tadi baru ada yang dipinjam lagi.
Saya mau rehat mungkin. Sampai? Akhir tahun, mungkin. Becanda ah! Iya, memang becanda. Maunya bagaimana? Terserah saja lah.
Eh, untuk beberapa minggu ini jangan ada berhubungan dulu dengan orang di luar rumah. Yee...saya bukan alien! Memang bukan. Trus? Kamu butuh waktu ah. Untuk? Membuat daftar lagi. Bosan ah. Ya gak apa-apa.


Kontemplasi dalam masa inkubasi transisi yang berhibernasi..
Ya sudah. Jam berapa sekarang? Lupa. Coba di lihat dulu! Malas ah.
Saya pergi dulu, daaaaaaaaaaaaaa......

Monday, December 13, 2010

Re: objurgation, dan bunga liarnya Adieu

Di bawah ini adalah postingan dari teman saya "Adieu", baca di sini



Waauuuwwwww... Keren!!!
Saya suka sekali tulisan "sinis" Adieu yang kedua ini (saya belum baca tulisan "sinis" Adieu yang pertama. Yang mana itu?). Setidaknya dari sini saya baru tau bagaimana cara Adieu mencoba jujur akan sesuatu yang "menjijikkan" itu. Saat pertama kali membacanya, saya semaput dibuatnya. Cukup panjang tulisan ini untuk dibaca hanya dengan beberapa kali menarik napas. Mau bagaimana? Saya semaput dibuatnya.

Sempat agak sedikit ingin "marah" karena beliau menyebut "fakultas sastra" secara gitu ya saya ini "anak" fakultas sastra, jadi agak gimanaaa...gitu. Emosi sedikit. (Canda Adieu).
Tapi, setelah dipikir-pikir Waaauwww... bagus juga beliau punya pendapat sendiri tentang "hal" itu karena saya juga punya pendapat sendiri. Siapa pun punya pendapat sendiri tentang "hal" itu bahkan mendeskripsikan dan memosisikan "hal" itu saja bagi setiap orang juga berbeda-beda. Maka, saya pun biasa saja.

Dari pemaparan beliau yang agak panjang itu, ada satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya. Pertanyaan yang biasanya muncul kalau saya sedang tidak bisa membedakan antara yang digeneralisasikan dengan yang lebih dispesifikasikan. Sebenarnya beliau ini sedang membicarakan sastra yang mana? Itu yang tidak saya pahami. Karena pada dasarnya yang saya ketahui selama saya belajar dengan dosen saya, tulisan Adieu itu juga merupakan bagian dari sastra. Kalau secara personal, akan saya anggap Adieu adalah penulis sastra yang hebat nan "berbahaya". Bagaimana tidak? Kata-katanya begitu tajam yang selama ini saya baca. Mampu menggugah bahkan membuat saya semaput, hehehe...
Sastra itu memang bebas. Sangking bebasnya ada yang menuhankan sastra tanpa merasa berdosa. Mungkin saya pun pernah begitu saat sedang tergila-gilanya. Tapi, untuk saat ini cukuplah sastra itu sebagai "bawahan"-nya saya.
Jika yang dianggap beliau "hal" yang menjijikkan itu adalah sastra kekinian, saya bisa saja setuju. Memang untuk hari ini, saya masih memandang sebelah mata terhadap sastra kekinian. Bolehlah kita katakan paham romantisme yang cengeng itu sedang menguasai pasar. Tapi, bagaimana dengan sastra yang bisa menimbulkan provokasi? Saya pikir untuk "mereka" yang senang dengan onani kata-kata, imajinasi, dan pemikiran akan menyukainya.
Saya paham jika beliau beranggapan sastra hanya sekedar wacana. Bahkan mungkin akan terus menjadi sekedar wacana yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan. Apa salahnya wacana? Memang sih dulu saya pernah menilai wacana hanya sesuatu yang dihasilkan dari orang-orang yang tidak punya pekerjaan "action". Tapi, lama-lama saya pikir terkadang untuk tidur pun butuh wacana. "Mereka" ya memang seperti itu. Setiap "mereka" punya sisi "liar" nya yang masih butuh untuk dikendalikan. Mungkin untuk saat ini jalan mereka adalah dengan sedikit menganggap sastra itu adalah Tuhan mereka.
Dari yang wacana (saja), apa sih yang tidak bisa dibuat? Opini juga merupakan salah satu dari bentuk sastra. Mungkin sifat dan bentuknya saja yang terkesan lebih serius dan elegan.
Untuk sastra yang sedang hangat-hangatnya digandrungi oleh para "perempuan hebat" seperti kaum feminis memang dengan "bertelanjang"-lah yang mereka mau. Pada dasarnya mereka sedang ingin mencoba jujur dan disorot. Tapi, di pikiran mereka hanya itu satu-satunya jalan. Biarkan saja. Mereka juga butuh proses sekali pun jika kita ingin sekali "membanting" imajinasi mereka.
Sastra yang mana lagi, Adieu? Semua yang kita baca itu adalah sastra. Katakan kepada saya, sastra yang mana yang begitu dibenci itu? Saya juga ingin belajar dari Adieu.
Dari sastra juga banyak yang kita pelajari. Mungkin salah satunya adalah belajar memahami diri sendiri. Mungkin Adieu bisa menulis "hal" itu karena sudah membaca. Maka membacalah lagi yang lainnya agar semakin banyak yang akan bisa dipahami. Saya yakin Adieu tidak bisa lepas dari sastra.

Menyukai sastra, apa salahnya? Mengapa harus dengan mengutuknya? Pada dasarnya semua kembali ke diri masing-masing. Kita yang mengendalikan atau kita yang dikendalikan. Tinggal memilih.
Semua ada porsinya masing-masing. Memang ini berbicara tentang kebebasan yang sangat bebas. Sastra itu bebas, berbahaya, racun, menghidupkan, luka, tawa, senyum, gila, dan sebagianya. Adieu mau menyebutnya apa? Silakan. Hadapi saja semua itu dengan biasa saja. Jangan berlebihan. Jika memang menjadi racun, jauhkan jauh-jauh. Tapi, jangan memakinya karena jalan kita masih merupakan jalan yang sedang kita hasut sama-sama.
Ya pada intinya, saya tidak menyalahkan Adieu. Waaahhhh...sangat tidak. Saya hanya kaget saja!!!! Kaget Adieu menulis begitu. Apakah Adieu baru saja melewati masa-masa itu???? Kalau begitu selamat menikmati karena saya juga sudah pernah atau nanti akan kembali melewatinya.




----Mencoba jujur adalah bagian dari kehidupan, tapi tak selamanya kejujuran itu harus ditutup dengan makian dan
kutukan.




Adieu, saya pikir bunga liar kamu itu adalah bunga imajinasi. Ternyata ada di belakang rumah saya. Benarkan seperti ini rupanya? Kalua benar, saya ingin menertawakan diri saya. Hahahahahaha...



..............................

 








Sendiri maning toh, Nduk?
Kemana-mana sendiri ya, Nduk?
Banyak kerjaan, sebenarnya. Wis dinikmati wae.
Yang ndak penting ndak usah ditanya. Diem wae. Sabar ndisit.
Ndak perlu ribet. Jangan lupa siram ya, Nduk.
Sendiri wis bonten nopo-nopo toh?

Saturday, December 11, 2010

..is waiting


tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt...

nomor yang ada tuju saat ini tidak dapat dihubungi. cobalah beberapa saat lagi..

Thursday, December 9, 2010

Gak tau AKU!!!













KAMU MEMANG EGOIS!!!!!

selain MENGERTI tentangmu, masih adakah yang LAIN yang bisa saya berikan? (bagian 2)


Untuk beberapa hari ini saya masih terus saja "gelisah". Berusaha untuk mencocokkan aura yang ada pada saya dengan aura yang ada pada dirimu. Saya tau bahwa kamu pun akan selalu mengatakan kepada saya agar saya "santai saja" dengan segala rasa itu. Ya, kamu mungkin saja benar kalau itu hanya perasaan saya saja.

Perempuan selalu mengeluh kalau pasangannya tidak perhatian. Mereka memang makhluk yang rata-rata ingin dimanja, disayang, dipuja oleh para kaum sepertimu termasuk saya di antara salah satu perempuan itu. Tapi, keinginan yang seperti itu terkadang bisa berdampak tidak baik bagi kaum seperti saya. Mereka pasti akan merasa menjadi segala-galanya atas kaummu dan sesekali akan bisa bertindak di luar batas kesabaran dan harga diri para lelaki jika apa yang mereka inginkan tidak terpenuhi. Memang tidak semua perempuan seperti itu. Hanya saja, hampir rata-rata begitu.

Kaum sepertimu pun begitu. Ada juga yang ingin dimanja seperti perempuan bahkan cenderung kalau berpikir selalu menggunakan perasaan. Ada juga yang tidak peduli--tidak suka ambil pusing--untuk hal-hal yang tidak penting. Dan, perempuan selalu susah ditebak apa yang sebenarnya mereka cari dari laki-laki.

Tentang kita, kamu adalah laki-laki yang sangat peduli di balik wajah ketidakpedulianmu itu terhadap saya. Tapi, saya selalu menganggap kalau kamu tidak pernah peduli. Peduli untuk hal-hal yang luput dari pandangan saya dan itu membuat saya selalu tersenyum di dalam hati dan tidak lupa mengucapkan syukur kalau kamu memang "baik". Padahal selama ini saya sering marah-marah bahkan menangis hanya karena kamu saya anggap tidak peduli kepada saya perihal tidak membalas sms dan mereject telpon. Alasannya: kamu tidak dengar dan lupa. Gara-gara kamu, uang untuk mengalokasikan dana pulsa handphone sebulannya hanya Rp.10.000,- dari yang dulu-dulunya bisa mencapai ratusan ribu rupiah (saya pun terbahak-bahak!!!)

Beberapa hari terakhir ini, saya tidak bisa bersikap dengan "santai". Saya memikirkan sepertinya saya tidak perhatian terhadapmu. Seperti yang kamu katakan kalau saya "masih" memikirkan diri saya sendiri. Tapi, setiap saya bertanya tentang kamu, kamu selalu malas menjawabnya. Kamu bilang, daripada nanti dijawab dan ternyata tidak pas, lebih baik diam saja. Akhirnya, saya pun diam karena berpikir kalau bertanya pun kepada kamu pasti tidak dijawab dan kamu pun diam karena berpikir daripada salah menjawab lebih baik diam saja. Dan, kita benar-benar diam padahal kita ada bersama.
Seperti katamu kemarin: Kok sunyi-sunyi aja ya? Biasanya ayank ribut berceloteh?
Jawabku: Gak tau. Kenapa, Bang? Ngerasa gak ada beda gitu yah antara ada Yuni dan gak ada Yuni?
Kamu: Ya, justru itu. Ngerasa seperti gak ada ayank. hehehe...

Dulu, di saat saya begitu over untuk marah-marah kepada kamu tentang hal yang sepele seperti tidak perhatian kepada saya, ada satu pertanyaan yang kamu tanyakan di sela-sela kemarahan saya sedang di puncak-puncaknya.
"Pernah gak hitung berapa kali ayank merasa ada untuk abang?" dengan santainya kamu bertanya sambil terus tetap membuat musik dan saya yang dari tadi marah-marah sambil menangis tiba-tiba terdiam tercekat mendengar pertanyaan itu.
Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tau harus menjawab apa dan karena memang saya tidak punya jawaban yang pas selain "tidak pernah menghitung" dan "tidak pernah terpikirkan untuk merasa ada". Setelah itu kamu yang menghapus air mata saya dan menenangkan saya sambil berkata kalau semuanya pasti baik-baik saja.

Saya memang masih hanya memikirkan diri saya sendiri. Kamu benar. Yang saya tau saya tidak boleh menjadi orang yang terus mengeluh kepada kamu. Yang saya tau saya harus percaya kepada kamu kalau kamu pasti akan selalu baik-baik saja karena kamu tidak ingin membuat saya semakin banyak pikiran. Dan yang saya tau saya harus bisa mengerti kamu.

Sekarang, alangkah baiknya jika kamu membiarkan saya untuk bisa minum sendiri dari gelas saya sendiri.

Tuesday, December 7, 2010

irfan bachdim wallpaper





irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,
irfan bachdim wallpaper,

Mengejar Tuhan



Bila terdengar beribu mantera saling berkejaran di celah-celah angin
Bila terdengar beribu mantera saling berkejaran di ujung telinga
Semua mata akan berbicara jika angin sedang dalam perjalanan
Dia yang berkata bisa merasa ada
Kalau manusia tidak butuh hidup tanpa senyuman

Ini darahku
Ini dagingku
Tapi, katanya aku ini bukan darah daging
Melainkan daging yang berdarah

Jeruji berputar dengan kata membalikkan Tuhan
Hitam di atas putih hanya sekedar realita
Atau bukan sama sekali perjanjian yang buta
Nyawa dipertaruhkan demi yang mati dan terdiam
Setumpukan tanya yang tak sempat terpikir hilang dimakan dunia
Yang lenyap dalam seketika oleh amukan darah
Yang menetes tanpa tuan

Bagaimana mereka bisa bertahan
Sementara mereka yang lain akan tertawa dengan air mata
Tiada yang sakit jika kamu terus mengatakan inilah "hidup"

Cosmic realita

"Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali."

"Aku juga. Selagi aku bisa, mengapa kamu tidak berlari kepadaku saja terlebih dahulu? Aku tidak kejam. Aku menyayangimu."

"Izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis atau mimpi buruk. Tunggu aku!"

Kebenaran bukan pembenaran


Inilah saat di mana para pemodal menawarkan produk-produk mereka atas nama kesempurnaan ibadah dan kesempurnaan kemenangan Anda. Pada saat ini pula mereka dengan cara yang sangat meyakinkan mengukur persaudaraan dan ikatan silaturahmi Anda dengan sebotol sirup, sekaleng roti atau pun sepasang sandal. Mari kita rayakan kemenangan yang termediasi ini dengan onani rohani tanpa basa-basi...!!!

Begitu tulismu di dalam konsep orasi yang akan kamu bacakan besok pagi. Aku hanya geleng-geleng kepala saja dengan semua yang kamu lakukan. Yang aku tahu aku tidak perlu ikut campur untuk urusanmu yang tidak aku pahami.

"Jangan bengong saja. Perbanyak ini kemudian kamu tempelkan di tempat-tempat umum."

Aku manut saja. Aku hanya pembantu di rumah ini yang mengagumi kamu sebagai majikanku. Kamu tidak pernah memukuli aku dengan tangan hebatmu. Justru aku selalu ditampar oleh kata-katamu yang penghias neraka itu. Aku senang.

Aku bergegas melaksanakan perintahmu. Sementara kamu sudah siap dengan cerutu klasikmu. Maafkan aku yang tidak bisa menghitung berapa banyak asap yang sudah kamu hembuskan. Lain kali aku pasti bisa menghitungnya.

"Cepat kembali!! Jangan berlama-lama. Aku ingin kopi."

Kamu membutuhkanku, Lordas. Kataku di dalam hati.

***


"Ada apa, Lordas?"

"Besok kamu harus ikut aku."

"Kemana?"

"Ke jalan. Kita orasi."

Aku hanya tersenyum sementara kamu sudah memalingkan wajahmu ke tempat lain tanpa melihat senyumku terlebih dahulu.

***


"Sudahlah. Tidak perlu capek-capek orasi di jalanan sana. Toh pada akhirnya kebenaran sejati hanya ada di ujung pedang, pentungan atau pun pistol. Kita hanya perlu belajar berpedang, memukul dan menembak untuk membuktikan kebenaran!!! Sepertinya kita sudah hidup di zaman Yo Ko dan Kwee Cheng, di mana benar-salah dipastikan dengan kejujuran mata pedang."

"Lordas?? Kamu berubah pikiran?? Terserah kamu saja. Sudah aku katakan kalau aku tidak mau ikut campur untuk hal-hal yang tidak aku pahami."

Aku keluar dari ruanganmu. Kamu masih diam menghadap jalanan. Ingin ke sana kah kamu, Lordas? Di sini saja. Tidak perlu ke mana-mana (lagi).

Tetap begini


"Yang lalu biarlah berlalu, dengan atau tanpamu tetap saja langit membiru dan awan memutih dan bunga pun tak layu..." katamu.

"...dan aku akan tetap begini. Tidak ada yang berubah." lanjutku.


Kamu menoleh ke arahku dan kemudian tersenyum tanpa gigi.

Gelap di tempat yang gelap


"Daripada cemburu menguras hati, lebih baik berjibaku menguras bak di siang hari. Pas sekali dilakukan puasa-puasa begini."

Ekspresi kamu lucu. Tapi, kamu tidak memperhatikan itu. Ya, aku tau kamu memang sedang ingin sendiri tapi bukan berarti sampai melotot begitu mata kamu.

"Jangan lihat-lihat!" katamu.

Aku pun tertawa dan akhirnya memejamkan mata.

"Aku hanya bisa diam di sudut kamar yang sengaja aku cat hitam. Menangis tersedu seperti anak kecil. Makan cokelat sampai mulutku berlepotan. Aku rasa, aku butuh psikiater."

"Tidak. Kamu tidak butuh psikiater. Kamu hanya butuh aku. Coba kamu hitung ada berapa semut hitam yang merayap di dinding yang kamu cat hitam itu? Kamu bisa melihatnya?"

Kamu pun mulai mencari semut-semut itu. Bagitu semangat sampai akhirnya kamu mengatakan...

"Aku tidak menemukannya..."

Memang tidak bisa menemukan sesuatu yang gelap di tempat yang gelap.

Televisi


"Daripada bangun gedung DPR super mewah, mendingan...????"

Ah, kamu berbicara sendiri lagi dengan TV. Kamu larut dengan pemberitaan sana-sini tentang wakil-wakil rakyat yang berkhianat kepada rakyat. AKu tidak akan mengganggu kesenanganmu dengan tontonan itu.

"Kamu tidak berminat jadi seperti mereka, Bang?"

Kamu kaget aku bertanya begitu. Kamu tidak menjawab. Akhirnya aku pun pergi ke dapur untuk mengubur pengkhianatan dari lubang anus wakil rakyat ke dalam minyak jelanta.

"Aku juga mau katakan hapus saja tontonan KCB yang kekinian telah mendidik agar manusia negeri kita kembali ke liga kuno Mahapatih Majapahit."

"Aku benci TV, Bang!" Teriakku dari dapur dan kamu pun segera mematikan TV.

Aku "baik-baik" saja

"I'm OK..."

Kamu selalu berkata begitu. Aku tau apa yang kamu katakan adalah kebalikan dari yang sebenarnya kamu rasakan.

"Jika aku bilang aku tidak menangis, berarti aku sebenarnya menangis. Kamu paham, Karla?"

Aku hanya mengangguk pada saat itu. Kamu mengatakan itu kepadaku sambil menangis. Apakah aku harus menganggap bahwa pada saat itu kamu sedang tidak menangis?

"Karla, I'm Ok!"

Aku diam saja. Sementara kamu masih terus menangis. Aku tidak mengerti dengan kamu, Norha.

Tidak mau kalah


"Manusia, selalu ingin bermain tapi tidak mau kalah. Dan aku di dalamnya."

"Yah, dari dulu kamu sudah sering mengatakannya."

Mereka kemudian terdiam. Tenggelam dengan pikiran masing-masing yang tidak pernah diketahui satu sama lain. Malam memang semakin pekat. Diamnya mereka pun semakin melekat. Tiba-tiba...

"Aku mau tidur. Bosan."

"Tidur saja!"

Kalimat itu masih terngiang di telinganya Kana.

"Kok bisa ya Moja bilang begitu?"

Kana pun masuk dan akhirnya tidur.

Aku pun menangis

(Kamu pulang)

"Kamu sudah pulang? Aku dari tadi menunggumu."

Kamu menatapku heran dengan segudang penasaran. Tidak biasanya dia menungguku, mungkin begitu pikirmu. Tapi, aku memang sedang menunggumu. Bukan untuk melanjutkan "perang" di antara kita, hanya saja ini sesuatu yang sangat sensitif. Kamu masih mematung di depan pintu.

"Aku buatkan kopi ya?"

Aku berusaha mencairkan suasana. Kamu hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam kamar. Dari luar aku dengar pintu kamar kamu kunci dan aku pun menangis.

Sudah saya katakan

Akhirnya sudah saya katakan jika saya ingin dibaca olehmu..

Ya, memang harus seperti itu. Saya ingin "dibaca" olehmu dan saya akan selalu "mendengarmu". Itu kan karya-karya kita?

Saya dengan semua tulisan saya...




...dan kamu dengan semua musikmu.


Kita hampir selalu "diam" bahkan sampai berjam-jam di setiap pertemuan padahal kita sedang saling berhadapan satu sama lain. "Diam" yang punya ceritanya sendiri di zona yang tak terbatas tapi tetap tidak bisa saling tau.

Saya punya kata...

...dan kamu punya nada.

Hanya dengan itu kita bisa saling bicara tanpa perlu lidah ikut campur di antara keduanya.


--Nah, kapan kamu mulai untuk "membaca" saya?

Monday, December 6, 2010

Resolusi, katanya.


Kali ini Tahun Baru Islam dan apa yang sedang saya pikirkan sekarang? Banyak. Sangat banyak. Tapi, ya begitulah manusia tidak pernah pernah berhenti berpikir walau akalnya sering tidak dipakai untuk "berpikir".

Tidak tau mengapa sudah entah hitungan hampir berapa minggu saya sudah sulit tidur. Insomnia merajai tubuh saya di kala malam. Sebenarnya saya tidak memaksakan diri, tapi mau bagaimana lagi jika mata ini tidak bisa diajak untuk terpejam.

...dan saya sedang ingin menulis sesuatu. Mungkin hampir tentang saya.

Tahun baru selalu menjadi ajang untuk introspeksi diri. Saya juga begitu walau sering resolusi hanya sebatas teks saja. Sekedar formalitas kalau saya sedang tidak ingin ketinggalan momen untuk mengikuti tahun baru.

Apa resolusi saya kali ini? Saya sedang tidak berniat menuliskan per poin apa-apa saja resolusi saya untuk setahun ke depan. Sangat banyak jika saya peduli menuliskannya. Itu tidak penting karena setiap hari saya selalu menulis di notebook saya tentang apa saja.

Agenda setiap hari selalu saya jadwalkan karena saya berpikir kalau waktu tidak bisa diajak main-main karena yang saya lakukan tidak selalu hal yang main-main. Cukup saya bermain-main dengan aktifitas saya tapi tidak dengan waktu. Saya paling merasa bersalah jika melakukan aktifitas yang tidak terjadwal di hari yang sudah saya jadwalkan kecuali jika itu memang sangat penting sekali. Tapi, jika itu tidak begitu penting...sebaiknya jangan. Merasa bersalah itu paling tidak saya inginkan. Ya, saya merasa bersalah dengan diri saya sendiri karena sejak malam saya sudah berjanji dengan tubuh saya kalau besok "seginilah" jadwal yang harus dikerjakan oleh tubuh saya ini.

Di luar agenda harian yang saya jadwalkan, saya juga menulis tentang hal-hal lain yang belum saya kerjakan. "Belum saya kerjakan" bisa jadi karena saya lupa, saya tunda, atau saya baru nemu ada hal yang belum saya kerjakan. Misalnya: menyampul buku-buku yang ada di rak; melanjutkan klipingan KOMPAS yang belum kelar; membaca blog teman-teman; menulis novel, cerpen, lirik lagu, blog, dan sebagainya; membaca buku-buku yang masih numpuk di rak; membaca komik yang ada di Titik Koma; menonton film yang udah di download tapi malas terus; dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya gampang menuliskan itu semua tapi mengerjakannya butuh perlawanan yang hebat jika malas itu lebih kebal dari imun rajin saya, hahahaha...

Saya sekarang-sekarang ini sering pelupa. Dulu saya selalu ingat. Tapi, saya senang karena jadi pelupa berarti saya masih normal, hahaha... Pernah saya tidak sengaja lupa meletakkan CD pas foto saya padahal sangat penting sekali. Saya bongkar satu kamar tetap juga tidak ketemu. Saya bukannya marah-marah tapi malah ketawa-ketawa. Saya bilang ke diri saya sendiri, "Jadi pelupa itu memang menyenangkan. Keren malah!" Makanya itu saya selalu menulis. Bahkan apa yang ingin saya bilang ke orang lain pun saya tulis terlebih dahulu. Nanti saat bertemu dengannya, entah kapan lah itu, baru akan saya katakan. Apakah itu berupa pertanyaan, pemberitahuan, atau apa saja lah itu. Kalau saya lagi rajin dengan handphone saya, saya akan langsung menghubungi mereka yang pastinya sambil memegang daftar nama orang-orang yang akan saya hubungi beserta perihalnya. Hahahaha...

Semua buku saya di rak sudah saya catat judul-judulnya. Jika ada yang mau pinjam buku-buku saya selalu saya catat nama mereka. Bukan tidak percaya, tapi untuk memudahkan saya mendeteksi keberadaan buku-buku saya sedang berada di tangan siapa. Apalagi saya tidak memberi batas waktu kepada mereka yang ingin meminjam. Asal tidak hilang saja, teman-teman.

Apalagi ya yang ingin saya tulis???

Banyak yang bisa saya tulis. Atau lebih tepatnya, banyak yang harusnya saya tulis. Dengan saya seperti itu, membuat saya merasa nyaman dengan diri saya. Kemana pun saya pergi, pikiran saya tetap terkotak-kotak untuk hal-hal yang sudah saya klasifikasikan.
Untuk urusan emosi, saya juga menulis. Lebih nyaman saya bercerita dengan menulis walaupun mungkin akan ada yang dibaca oleh orang. Yang saya pikirkan adalah setiap orang punya penafsirannya masing-masing. Jadi, tidak masalah jika nantinya mereka pun tau apa masalah saya. Bagi saya yang terpenting adalah saya bisa mengeluarkan semua yang menjadi beban berupa kegelisahan dalam hati dan pikiran saya lewat tulisan tanpa saya harus membebani orang lain (lagi).

Apa resolusi saya kali ini?
Saya ingin lebih peduli dengan diri saya sendiri, kemudian orang lain (siapa pun itu, kenal tak kenal), dengan cara saya sendiri.
Tentang Tuhan??? Tuhan selalu ada bersama saya berapa pun jarak yang terbentang di antara "KAMI".



--malam ini indah walau tak jadi menangis

Blog Archive