Monday, January 31, 2011

10.00 WIB


Ya, aku sudah bangun dari tiga puluh menit yang lalu. Sudah aku katakan aku pasti akan bangun di menit ke tiga puluh. Tapi, kamu tidak percaya. Sekarang, baru kamu percaya. 

Masih di atas tempat tidur untuk mengingat apa yang aku mimpikan tadi. Arrgh..ternyata aku lupa. Aku kecewa karena tidak bisa melihat mimpiku kembali. Mungkin Tuhan tidak sengaja menekan tombol "hapus" atau dalam bahasa Inggrisnya "delete". Hihihihi..

Aku lapar. Aku mau makan. Setelah itu lanjut untuk membaca dan menulis. Jemuran di belakang sedang mengerang kepanasan. Untung aku bukan jemuran!

K


Inginnya setiap hari menulis surat untukmu karena hanya itu yang aku bisa. Tapi, ketakutan sudah muncul terlebih dahulu. Takut tidak kamu baca. Biasanya 'kan selalu begitu. Tapi, entahlah. Akhir-akhir ini sepertinya kamu diam-diam membacanya juga. Bukan suratku, tapi tulisan-tulisanku yang lain. Surat untukmu 'kan belum aku kirim. Dan aku dengar juga dari orang lain kalau kamu pun diam-diam memujiku di depan orang lain, bukan di depanku. Mungkin itu sisi romantismu untukku. Terima kasih.

: Siapa K?

Sunday, January 30, 2011

Dear my beloved Father...


Bagi seorang yang sudah dewasa, yang sedang jauh dari orang tua, akan sering merasa kangen dengan mamanya. Bagaimana dengan papa? Mungkin karena mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaan setiap hari. Tapi, tahukah kamu jika ternyata papalah yang mengingatkan mama untuk meneleponmu?

Saat kecil, mamalah yang lebih sering mendongeng. Tapi, tahukah kamu bahwa sepulang papa bekerja dengan wajah lelah beliau selalu menanyakan apa yang kamu lakukan seharian?

Saat kamu sakit batuk/pilek, papa kadang membentak "sudah dibilang! jangan minum es!".  Tapi, tahukah kamu bahwa papa khawatir?

Ketika kamu remaja, kamu menuntut untuk dapat izin keluar malam. Papa dengan tegas berkata "tidak boleh!" Sadarkah kamu bahwa papa hanya ingin menjagamu? Karena bagi papa, kamu adalah sesuatu yang sangat berharga.

Saat kamu bisa lebih dipercaya, papa pun melonggarkan peraturannya. Kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan papa adalah menunggu di ruang tamu dengan sangat khawatir.

Ketika kamu dewasa dan harus kuliah di kota lain, papa harus melepasmu. Tahukah kamu bahwa badan papa terasa kaku untuk memelukmu? Dan papa sangat ingin menangis.

Di saat kamu memerlukan ini itu, untuk keperluan kuliahmu, papa hanya mengernyitkan dahi. Tapi, tanpa
menolak beliau memenuhinya.

Saat kamu diwisuda, papa adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dan bangga.

Sampai ketika teman priamu datang untuk meminta izin mengambilmu dari papa, papa akan sangat berhati-hati dalam memberi izin. Karena papa tahu bahwa pria itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya, saat papa melihatmu duduk di pelaminan bersama pria yang dianggapnya pantas menggantikannya, papa pun tersenyum bahagia. Apa kamu tahu, bahwa papa sempat pergi ke belakang dan menangis? Papa menangis karena papa sangat bahagia. Dan ia pun berdoa "Ya Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakan putri kecilku yang manis bersama suaminya".

Setelah itu papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk. Dengan rambut yang memutih dan badan yang tak lagi kuat untuk menjagamu.





-- dari pesan seorang sahabat yang ingin mengingatkan kita tentang sosok seorang papa menjaga kita --









Beloved daughter
Anggina Hutabarat

09.00 WIB

Aku masih tidur. Sebaiknya jangan kamu ajak aku untuk menonton film di ruang tengah rumah ini karena aku juga sedang menonton film di dalam mimpi tidurku. Maafkan aku, bukan maksud tidak menganggap kamu, tapi bagaimana mungkin aku bisa menonton film sekali dua? Nanti aku jadi tidak paham.

Sebentar-sebentar aku terbangun oleh bunyi pintu ruang tamu yang entah siapa yang buka. Aku tidak peduli. Terlalu asik dengan cerita filmku sendiri. Kalau misal aku mati dalam kondisi sedang bermimpi dalam tidurku, tolong jangan dihapus segala rekaman mimpiku. Mana tahu saja saat aku sudah di bawah tanah nanti aku ingin memutar kembali semua rekaman itu, mungkin saja ada kamu di dalamnya. Tolong kamu ingat ya. Jangan lupa lho.

Sekarang, beri aku waktu tiga puluh menit lagi untuk melanjutkan tontonan filmku ini. Biasanya aku akan bangun di menit ke tiga puluh. Percayalah!

J


Tadi, senyumku hilang (lagi). Mendadak entah tercecer di mana. Mungkin aku lupa gara-gara apa hingga senyumku hilang begitu saja. Rasanya seperti minum air tawar dan makan roti tawar. Kenyang tapi hambar. Anehnya, aku tidak berusaha mencarinya lagi. Sepertinya aku lebih nyaman dia hilang, pikirku.

Karena aku sedang tak punya senyum, aku lebih memilih menyendiri. Aku membuat jarak semampu mungkin terhadap orang-orang di sekitar. Aku jadi benci suara-suara karena takut mempengaruhi kembalinya senyumku. Bisa jadi aku memang mengharapkan senyum itu tercecer seperti yang sudah terjadi.

Sedangkan dia yang lain, meminta tangan kananku untuk dipegangnya. Dia mungkin khawatir mengapa senyumku hilang. Aku tidak peduli. Aku pikir dengan hilangnya senyumku maka ada jarak di antara kami. Tapi, aku salah menilai. Dia tidak menginginkan ada jarak itu. Akhirnya aku meminang waktu agar dia bosan melihat aku yang tak tersenyum.

: Ya, aku pinang waktu dengan kecepatan agar aku bisa mendapatkan si J.

Saturday, January 29, 2011

08.00 WIB

Saatnya tidur kembali setelah semua orang pergi beraktivitas dan aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumahku. Biasanya aku akan selalu terbangun di jam 09.30 WIB. Baiklah, jika kalian mengatakan aku adalah perempuan malas karena memilih tidur kembali bukannya beraktivitas yang lain. Tapi, hei...aku sudah selesai mengerjakan semua kewajibanku. Tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan selain tidur. Kebetulan mataku pun mengantuk. 

Alasan yang lebih kuat mengapa aku ingin tidur di jam segini karena mimpi-mimpi yang datang lebih keren dari pada mimpi di saat tidur sebelum subuh. Pernah aku bermimpi tentang asrama pohon yang besar dan tinggi sekali. Daunnya hijau pekat. Semua kamar mahasiswa tidak perlu diberi pondasi. Dia melekat sangat erat di tubuh pohon raksasa itu sampai ke pucuk pohon, bahkan aku ragu pohon itu mempunyai pucuk. Setiap kamar dihuni oleh empat laki-laki dan dua perempuan. Tunggu dulu. Jangan langsung protes. Mereka tidak gabung dalam satu tempat. Mereka hanya satu dinding kamar saja. Satu kamar mempunyai dua pintu. Pintu yang di depan, tempat masuknya laki-laki. Pintu di sisi kanan kamar, tempat masuknya perempuan. Dari pintu menuju ruang kamar harus melewati lorong panjang serupa labirin. Bisakah kalian membayangkan sebesar apa kamar mereka? Aku ingin sekali tinggal di asrama seperti itu.

Di hari yang lain dan di saat yang sama, aku juga pernah bermimpi bertemu dengan Romo. Romo mengenakan kaos merah. Dia mengajakku jalan-jalan ke Gramedia. Katanya nanti dia menjemputku. Kulihat di mimpi itu kami masuk ke Gramedia yang ada di SUN Plaza. Setelah aku terbangun, siangnya aku dapat pesan dari Romo kalau dia akan menjemputku. Entah hendak kemana, aku tidak tahu. Saat dia menjemputku, aku lihat dia memakai kaos merah seperti di mimpiku. Aku menebak-nebak apakah kami akan ke Gramedia? Aku tak menanyakannya. Aku ingin kejutan. Ternyata benar kami ke Gramedia. Tapi, bukan yang di SUN Plaza, melainkan yang di Palladium. Hehehehe...
 
Mimpi yang lain lagi. Saat itu aku punya agenda bahwa siangnya aku ingin mengirim paket ke Solo. Aku tidur seperti sekarang ini pada jam yaaa...sekitar jam segini. Aku bermimpi ada yang berbicara kepadaku. Dia mengatakan kepadaku lebih baik paket itu dikirim lewat pos saja, jangan lewat TIKI. Hah, karena aku terlalu mencintai mimpiku, maka paket itu aku kirim lewat pos. 

Begitulah sebagian mimpi yang masih aku ingat. Mimpi itu menjadi tempat tersendiri untuk kehidupanku yang lain di saat tubuhku sedang beristirahat. Sangat menarik. Bagaimana dengan cerita mimpimu?

I


Kamu senang sekali berjalan-jalan, berlari-lari, melompat-lompat bahkan tiba-tiba berhenti diam. Sudah ribuan kali orang lain mengatakan kepadamu bahwa kamu mutlak divonis gila. Kamu paham itu? G-i-l-a, hahaha... Tapi, aku tidak membencimu. Sangat tidak sama sekali. Justru aku memeliharamu agar aku tetap terlihat cantik dan awet muda. Bahkan aku berpikir mungkin kamu bisa mencegahku dari alzheimer. Wah, aku hanya menebak!

Entah mengapa kamu suka hadir di saat aku sedang berada di posisi tidak fokus. Diam-diam kamu menyelinap hingga akhirnya aku bergumam sendiri sambil mengerjakan sesuatu. Aku jadi berbicara sendiri karena berada di bawah kendalimu. Oh, begitu hebatnya kekuatanmu hingga bisa mengontrolku sedemikian hingga. Tapi, aku menikmatinya. Aku bisa uring-uringan kehilanganmu saat kamu susah datang di kala posisiku sedang di titik fokus. 

Kamu ingat tidak ceritaku dulu yang judulnya "45 menit itu..." ? Mungkin kamu lupa, tapi aku menceritakan kamu di situ. Bahkan temanku si Boy terkejut saat mengetahui ada kamu di dalam diriku. Ini petikan dialog saat itu. Aku yakin kamu pasti masih mengingatnya.


A: "Coba satukan kepalan jari-jarimu yang tangan kanan dan tangan kiri." (Aku satukan aja walau gak ngerti apa maksud dia...)
A: "Jempol apa yang paling atas?"
B: "Jempol kiri. Kamu?"
A: "Aku jempol kanan."
B: "Trus maksudnya?"
A: "Coba diganti jempol kanan yang di atas. Apa rasanya?"
B: "Anehlah."
A: "Berarti....???? Kenapa gak di pake sih otak kananmu kalau memang kayak gitu posisi jempolmu?????"
B: "Maksudnya?"
A: "Atau jangan-jangan gak punya otak?????????"
B: "Iiiiiissshhhh...apaan sih? Gak ngerti aku, Boy?"
A: "Gini Yun. Kalau jempol kiri yang di atas berarti selama ini kamu lebih dominan pake otak kanan dalam beraktifitas. gitu juga sebaliknya."
B: "Berarti kamu pake otak kiri?"
A: "Ya."
B: "Trus otak kanan itu apa?"
A: "Aaaaarrrrgh....makanya jangan baca novel aja. Baca buku tentang otak juga."
B: "Hehehehehe...."
A: "Otak kanan itu kayak imajinasi, kreatifitas, dan sejenisnya. Kalau otak kiri itu kayak numerial, logical, dan sejenisnya."
B: "Ooooooooooooooohhh....."
A: "Trus, kenapa kamu gak nyadar-nyadar juga dari dulu kalau otak kanan kamu itu yang bekerja?"
B: "Ya mana aku tau!!"
A: "Sekarang udah tau kan?"
B: "Iya, udah."
A: "Kamu itu melihat dunia lebih dengan emosi. Tidak bisa langsung terima begitu saja 1+1 = 2. Sedangkan aku lebih pakai logika makanya...."
B: "Makanya kamu suka dengan imajinasiku kaaaaaaannnn... (senyam-senyum)"
A: "Ya."
B: "Hahahahahahaha....."

Kamu sudah ingat? Baguslah kalau kamu mengangguk. Nah, saat ini aku sedang membutuhkanmu untuk meracik delapan kata yang sudah ada di tanganku berkat Romo untuk menjadi ramuan yang akan aku kirimkan ke Bali. Jadi, jangan pergi!!
 
: Tahukah kamu I itu selalu menjadi awal dan akhir pada kata "imajinasi" ?

Friday, January 28, 2011

07.00 WIB


Aku membenci Spongebob Squarepants, dulu. Alasannya karena aku tidak paham apa maksud dari cerita yang ingin disampaikannya. Menurutku gambarnya juga jelek. Dan, Spongebob adalah tokoh yang sangat menyebalkan dan cerewet. Aku benci dia.

Sekarang, justru aku menontonnya setiap pagi. Kali ini aku menganggapnya dia adalah tokoh yang paling bodoh. Aku heran geleng-geleng kepala kenapa ada makhluk seperti itu. 

Andai saja pagi tidak menjelang, mungkin Spongebob pun tidak harus datang. Walau aku menontonnya, aku tetap tidak menyukainya. Aku benci dengan suaranya yang hampir mirip dengan...suaraku! Ya, kamu benar. Aku benci Spongebob juga karena menganggap itu lah aku. Huh! Aku begitu berlebihan.

Kalau kamu tanya kepadaku siapa tokoh yang paling aku suka di film itu, aku akan menjawab aku menyukai Squidward Tentacles. Kami sama-sama penyuka seni. Jangan protes!!!

H


Sepuluh tahun kemudian baru aku mulai membacanya setelah dicetak pertama kali pada September 2000. Aku tergelak membayangkan seorang J. K. Rowling menuliskan fantasinya setelah tiga belas penerbit menolak naskahnya begitu saja. Aku pun langsung teringat dengan Sarah Singleton yang sudah membuatku terhenyak dengan cerita fantasinya terutama di akhir cerita "Century" yang sampai sekarang masih membuatku berdecak kagum tiada tara. "Heretic"-nya Sarah Singleton akan menjadi makananku berikutnya. Walau aku telat membacanya sepuluh tahun, tapi aku sudah mempunyai niat untuk memburu J. K. Rowling di kemudian hari.
 
Entah sudah berapa kali aku menonton film Harry Potter dari edisi pertama sampai yang ke enam yang diadaptasi dari novelnya J. K. Rowling, tapi aku tetap tidak mengerti dengan ceritanya. Aku benar-benar mengecewakan! Karena aku tidak mengerti, makanya di film yang ke tujuh bagian pertama aku belum menontonnya sampai sekarang. Aku putuskan untuk membaca terlebih dahulu novelnya. Dan, sekarang aku sedang memulainya. Wow!! Aku diajak bertamasya oleh J. K. Rowling menyusuri khayalan tingkat tingginya yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Aku jadi berpikir, sepertinya dari dulu-dulu aku lebih menyukai literatur Inggris daripada Amerika. 

Aku masih terpukau dengan ceritanya dan tidak sabar ingin segera membaca edisi yang ke dua. Aku suka fantasi. Aku suka yang tidak nyata. Aku suka mimpi. Dan aku suka imajinasi. Aku tidak punya kata lagi, J. K. Rowling. Mungkin sudah dicuri olehmu untuk cerita fantasi berikutnya.


: Aku lihat di tengah-tengah lambang sekolah sihir itu ada huruf H. Kamu tahu 'kan nama sekolah itu?

Thursday, January 27, 2011

06.00 WIB


Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Jika bisa kubunuh matahari, akan aku tiup apinya sampai menjadi abu. Kemudian akan aku buang abu kesombongannya ke ujung tata surya agar membeku tanpa ada yang tahu.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Terkutuklah bulan yang selalu mengalah untuk bersembunyi menghadapi manusia. Akan aku kejar sampai kau mengatakan lelah itu bukan untuk mengalah apalagi kalah. Jika bisa kutangkap, akan aku suruh bulan berdiri kembali untuk menggantikan matahari di pagi hari.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Menjelmalah kalian wahai kunang-kunang menjadi bintang penerang siang. Kita sudah bunuh matahari, jangan kalian lari. Menarilah sesuka hati di atas langit untuk menerangi kami yang tidak pernah sudi pada matahari.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Aku ingin Tuhan mengulang kembali penciptaan. Padamkan matahari dan angkatlah bulan menjadi raja. Bulan tak butuh surya karena dia lah satu-satunya cahaya. Harusnya begitu dan jangan begini. 

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Tahukah kamu bahwa Tuhan sudah menandatangani kontrak dariku?



Selamat datang, Bulan!
Selamat datang, Malam!

G


Aku adalah setiaphari mu.
: yang menjadi mata atas kemunafikan

Aku adalah setiaphari mu 
: yang menjadi telinga atas kebohongan

Aku adalah setiaphari mu
: yang menjadi lidah atas pembenaran

Aku adalah setiaphari mu
: yang menjadi tangan atas kekerasan

Aku adalah setiaphari mu
: yang menjadi kaki atas kekuasaan

Aku adalah setiaphari mu.
: kumpulan para rusuk sebelah penerima titah yang tidak bisa dibantah
 
Aku adalah setiaphari mu
: penerima siksa lewat kata-kata dan sembunyi adalah dunia

 Aku adalah setiapharimu
: bersemayam atas nama tanpa bela dan tanpa raja

Aku adalah setiapharimu
: menunggu tinggalnya tujuan dengan harap bukan di depan

Aku adalah setiapharimu
: yang menjadi di antara di segala antara

 Aku adalah setiapharimu
: memandikanmu dengan jutaan sperma

Aku adalah setiapharimu
: yang membunuhmu dengan bungkam atas persetujuan para setan

Aku adalah setiapharimu
: jika anakmu lahir, berilah mahkota dan singgasana.

Aku adalah setiapharimu
: jika kau kata dia noda, itu lah dosa kita.



Apa kamu pikir aku sedang membicarakan G kepunyaan para Masonik?

Wednesday, January 26, 2011

05.00 WIB


Setiap malam selalu disuguhi untuk memimpikan kamu. Entah apa sebab, aku tidak tahu. Katamu mungkin aku terlalu obsesi kepadamu. Ah, tidak tuh! Bukan menyangkal, tapi itu memang kenyataannya, kalau aku tidak obsesi kepadamu. Aku sudah mempelajari bagaimana seharusnya memperlakukan kamu. Yaitu bukan dengan posesif kepadamu. Iya, bukan? Iya kan saja lah.

Sebelum aku diizinkan untuk harus sadar dari tidurku oleh Tuhan, telingaku akan tetap terus tertutup. Ah, mungkin aku sedang mencari-cari pembenaran perihal telatnya aku bangun, hahaha..
Jendela kamarku ada gordennya. Akan selalu melambai-lambai jika angin menerobos lembut menggoda aku. Ujung-ujungnya aku semakin meringkuk tanpa bentuk di balik selimut merah. Aku bermusuhan dengan dingin. Masih ingat 'kan dengan puisiku yang judulnya "aku, dingin, dan selimut merah" ? Huh, aku benci dingin! Maaf..

Lain kali jangan menggodaku di waktu subuh, dingin. Kesal gitu!  

F


Oh, aku sedang semangat-semangatnya membaca. Sebuah kemajuan yang naik setingkat untuk ukuran pemalas sepertiku. Biasanya kalau aku sedang malas membaca, hanya dengan memandang-mandang saja tumpukan otentikku di rak buku, aku anggap aku sudah membaca mereka. Padahal itu 'kan hanya aku pandang, bukan aku baca. Jauh beda. Sangat!

Kalau tidak tergoda dengan tidur-tiduran, aku pasti bisa cepat menyelesaikan tumpukan bacaanku. Kali ini ada: Biru (Fira Basuki), Blakanis (Arswendo Atmowiloto), Ocean Sea (Alessandro Baricco), Tabula Rasa (Ratih Kumala), Heretic (Sarah singleton), Cala Ibi (Nukila Amal), dan Harry Potter (J.K. Rowling). Selain Harry Potter, semuanya dari rak buku pribadi. Begitu banyaknya otentik di rak buku pribadi yang belum dibaca sementara mereka sudah menginap di situ entah sudah berapa lama tanpa aku sentuh. Belum lagi yang lainnya. Huh!

Ada kepikiran untuk membuat semacam kritik sastra asal-asalan dari semua otentik yang ada di rak buku pribadi. Aku ini pelupa. Bahkan cerita di novel yang aku tulis sendiri saja, aku bisa lupa. Parah memang!

Sebentar lagi novelku selesai aku edit. Selanjutnya, entah akan diapakan novel itu, aku tidak tahu. Yang penting: tulis saja apa yang ingin ditulis.

: F itu tetaplah fiksi. Kamu?

Tuesday, January 25, 2011

04.00 WIB


Terang-terangan aku katakan kalau aku benci suara jago berkumandang. Jika disuruh memilih, lebih baik serigala betina saja yang menjadi idolaku. Maka, jangan pernah datang pagi.

Muncul teori sendiri yang diracik dari sana dan sini, entahlah jadi apa.

Sastra adalah medium untuk memberikan instruksi secara langsung maupun tidak langsung untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan pikiran, rasa atau cara berpikir dalam kehidupan dengan bentuk apa pun, bisa dengan tulisan, suara, gerak, garis, simbol, dan sebagainya, baik secara fakta (berdasarkan pengalaman hidup) maupun secara imajinasi atau perpaduan di antara keduanya.

Ini lah teori konyol saya yang sila untuk ditertawakan, saya pun tertawa!
Hahahahaha...

Tertanda: Prof. Yuni Zai. M. Hum., Ph. D (hah, ngarep aku!) Insya Allah!!
Pulpen saya tutup. Buku harian aku simpan. Tidur adalah memuakkan.

E


Tiba-tiba, aku jadi ingin diam. Aku jadi tidak ingin bertemu dengan kamu dulu. Aku ingin menyepi di dalam kuil untuk bersenandung lagunya para Dewa dan Dewi. Aku butuh maya.

Aku punya sebuah labirin dalam bungkusan tengkorak. Karena itu kita pasti harus berpikir jika sudah terjebak di dalam pagar labirin karena berpikir harus dengan otak dan otak itu adalah labirin. Labirin kembali ke labirin. Di dalam labirin aku punya massa. Bukan massa labirinku. Tapi, massa dari yang maya. Bagaimana menghitung yang maya itu? Menyentuhnya saja begitu nihil.

Sedangkan di dalam tubuh ini mengalir darah yang mengandung pengetahuan. Jangan sampai tercecer darahmu karena akan gampangnya pengetahuanmu menguap. Maka, jagalah kesehatanmu.
Sementara waktu (ah, itu lagi!) dia punya catatan sendiri. Dia tahu kalau dirinya selalu dihujat. Tapi, apa boleh buat, kata waktu.
: Kecepatan selalu membutuhkan waktu. Jarak pun akan bersanding dengan waktu.
Aku bukan tidak mau mempelajari kitab agama baruku. Aku hanya masih penasaran dengan teori laki-laki yang gambarnya ada di dinding kamarku. Jadi, aku ingin mempelajarinya sejenak.

 E = mc2   --->  energi dari reaksi nuklir maya 


Nuklir itu sedang dirakit di labirin sebelah kanan. Mungkin akan meledak di antara jantung dan hati.

Monday, January 24, 2011

03.00 WIB


Ada Fira Basuki di atas mejaku. Biru dan Jendela-Jendela. Sedangkan yang Atap masih ada di kamar kekasih. Pintu? Aku belum punya. Kali ini aku ingin membaca Fira Basuki. Aku belum mengenal dia. Hanya sekedar tahu.

Berbicara dengan dia yang aku panggil "Mbak" sering disangka gila. Jika insomnia menari-nari di kelopak mata, aku cukup katakan, "Mbak, Yuni pengen tidur!"
Sekejap akan ada hembusan angin di wajahku dan sim..salabim..aku ngantuk!

Bisa jadi entah di malam kapan, "Mbak" sedang ingin bertukar rasa kepadaku. Dibuatnya aku tidak tidur tanpa aku tahu. Entah apa yang dia ceritakannya, semuanya hanya bisa diterjemahkan di dalam pikiranku. Aku pun tidak tahu di mana dia akan merebahkan tubuhnya. Dia mungkin tidur bersamaku sambil memelukku, tapi aku tidak tahu. Kalau aku tidak peduli kepadanya karena sedang menonton film, biasanya jari-jari tanganku di elus-elusnya. Dingin. Aku hanya bisa kaget dan langsung mengerti kalau dia sedang ingin bercerita. Lebih tepatnya, dia ingin mendengarkan aku bercerita. 

: malam ini aku tidak tahu dia akan tidur di kakiku atau di belakang kepalaku atau di samping tubuhku.

D


Pernah menjadi taruhan di saat aku menjadi pujaan.
Oh, kali ini tidak akan lagi. Aku sudah tidak punya nafsu kembali menjadi pujaan, apalagi yang dipertaruhkan.
Aku bukan dadu untuk diadu-adu.
Aku hanya perempuan lugu yang masih belajar baca dan tulis untuk mencintaimu.

Ya, aku lupa kali ini dadu siapa yang aku genggam. Sepertinya setelah terbangun dari mimpi nanti, dadu itu akan memberi petunjuk akan berhenti di angka berapakah dia setelah diguncang-guncangkan dalam genggamanku.
: angka empat
Bagaimana bisa?
Karena empat menjadi angka penerimaan kamu atas cintaku, katamu.
Tanggal empat belas, bulan empat, tahun dua ribu sembilan. Pukul nol nol lewat empat belas menit.

Satu per empat sampai empat per empat, cinta itu bertumbuh.
Bahkan nomor rumahku ada angka empatnya juga, katamu lagi.
Dan, hey..hari ini tanggal dua empat! Ada angka empatnya juga, bukan? Katamu dengan penuh euforia.

: baru tahu ternyata D ada di urutan ke empat!

Sunday, January 23, 2011

02.00 WIB


Aku lihat dinding
: dia bernafas. dadanya kembang kempis.

Aku lihat kabel lampu
: badannya meliuk-liuk

Insomnia itu gampang dibagi. Tapi, lebih banyak diam jika ditanya sedang apa
Guling kanan, guling kiri.
Tapi, mata tetap meronda.

Tuhan, kalau aku panggil kamu malam-malam begini, kamu mau datang tidak?
Saya kesepian untuk berapa lama.
Aku ada cerita, mungkin sedikit jorok.
Tapi, tak apa jika aku bagi kepadamu.

Tuhan, setiap malam aku katakan aku ingin tidur.
Tiba-tiba, ada yang menyapu wajahku dengan sehelai selendang tipis
Entah berwarna apa.
Tak tampak olehku, Tuhan.
Sekejap, pandanganku gelap.
Aku tidur tanpa mendengkur, kata malaikat.

: Sekarang, aku sedang di...di mana ini?? Alam mimpi tidak punya garis lintang dan garis bujur ya, Tuhan?

C

Siang, dua minggu yang lalu, aku tidak bertemu denganmu. Rasanya telingaku mendengar ada petir yang sedang kawin dengan marahnya Tuhan saat aku membaca pesan darimu bahwa siang itu kita tidak perlu bertemu. Hei, "tidak jadi" dengan "tidak perlu" itu beda. Kalau kamu katakan "tidak perlu" berarti siang itu aku tidak penting bagimu.

Dosis marah yang kutenggak ternyata begitu terlalu hingga membuat aku tertidur dengan peluh. Aku dibawa jalan-jalan dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Tidak sempat singgah berlama-lama apalagi menginap di setiap mimpi. Sepertinya kali ini durasinya begitu cepat. Kamu masih ingat bukan teori perbandingan waktu dalam mimpi dengan kehidupan nyata di film Inception?
 
Antara pejam dan melek aku masih sedikit-sedikit mendengar suara orang berbicara dan berlalu-lalang di luar kamarku. Suara mama, ayah, bahkan suara TV sekali pun masih bisa aku bedakan antara pejam dan melek bahkan di saat rohku sedang bertamasya di banyak tempat.

Dan, saat itu terjadilah. Pintu kamarku seperti ada yang membuka dan dibanting dengan buru-buru. Posisi tubuhku di atas tempat tidur adalah kepalaku berada di bagian yang seharusnya itu untuk posisi kaki  dan kepalaku membelakangi pintu kamar. Karena ada yang membanting, aku terbangun dengan setengah sadar kemudian mendongak ke belakang kepala untuk melihat siapa yang barusan membanting pintu kamarku. Anehnya tidak ada siapa-siapa. Tapi, aku merasa seperti ada yang barusan saja masuk ke kamarku dan sedang berdiri di ujung kiri tempat tidurku tanpa terlihat olehku. Aku hanya bisa merasakannya saja. Karena tidak ada siapa-siapa, kepalaku yang tadinya aku dongakkan, aku turunkan kembali seperti semula. Pegal juga leherku mendongak ke belakang.

Tiba-tiba, tubuhku ditindih oleh sesuatu yang tak tampak oleh mataku. Aku sadar mataku sedang tidak terpejam. Aku masih bisa melihat kepala tempat tidurku. Tapi, tubuhku memang tidak bisa bergerak. Seperti diikat oleh akar pohon. Bahkan aku juga masih bisa mendengar suara-suara di luar kamarku. Aku masih bisa mendengar barusan itu mamaku sedang berteriak memanggil ayahku. Suara TV juga masih menyala di ruang tengah tanpa ada yang menonton, sepertinya. Aku paksakan tangan dan kakiku untuk bisa terangkat, tapi sia-sia.

Terlihat olehku di atas langit-langit kamarku seperti ada kain yang sangat tipis, transparan, sedang melayang jatuh menuju ke atas tubuhku. Aku yakin aku sedang tidak bermimpi. Aku bisa merasakan sedikit kejatuhannya menyentuh kulitku. Dan aku masih tetap tidak bisa bergerak. Kemudian dari arah kanan kepalaku seperti ada yang barusan saja naik ke atas tempat tidurku dan duduk di belakang kepalaku. Mungkin sekitar ada tiga orang (aku bingung harus menyebut orangkah, atau apa?). Tempat tidurku berderit dan aku merasa ada sedikit guncangan layaknya tempat tidur yang sedang dinaiki oleh banyak orang sekaligus. Aku bisa merasakannya padahal tidak ada siapa-siapa di belakang kepalaku. Sedangkan dari arah kiri kepalaku, seperti ada yang barusan naik dengan tergesa-gesa. Dia menarik sedikit lengan kiriku dari atas dadaku untuk diluruskan dan diletakkan di sebelah tubuhku. Kemudian ujung bajuku yang tersingkap hingga terlihat perutku saat tidur tadi, ditariknya ke bawah agar sebagian tubuhku yang terbuka menjadi tertutup. Aku tidak tahu siapa itu dan siapa mereka yang ada di belakang kepalaku. Tiba-tiba, dia yang menarik tanganku tadi menampakkan lengannya yang seakan-akan ingin memelukku. Hanya lengannya saja yang terlihat olehku. Dia seperti sedang bersembunyi berbaring di sisi kiriku dan ingin memelukku dengan lengan kirinya.

Aku seperti mengenal lengan itu kepunyaan siapa. Seperti punya anak laki-laki berbadan kecil dan berkepala botak yang juga pernah datang ke kamarku dan duduk di atas tubuhku. hampir dua bulan yang lalu. Itu terjadi pada saat malam Jum'at. Aku lupa tanggal berapa. Entah untuk apa dia datang ke kamarku. Pada saat itu, anak laki-laki berbadan kecil dan berkepala botak itu duduk di atas tubuhku, dan aku pun tidak bisa bergerak seperti siang itu. Setelah lama aku memaksakan diri untuk bisa bergerak, akhirnya tubuhku pun terlepas juga dari ikatan yang entah apa itu. Kemudian aku kembali tidur. Tiba-tiba, aku terbangun lagi. Aku merasa seperti ada yang duduk di ujung kakiku. Tubuhku masih diam tidak bergerak. Terasa olehku sepertinya di ujung tempat  tidurku, tempat di mana posisi kakiku kuselonjorkan, seperti ada yang barusan bangkit dari duduknya. Terlihat ada bekas seperti kain seprai yang bergeser sedikit. Aku tidak tahu siapa yang duduk di ujung kakiku itu. Tapi, perasaanku mengatakan seperti seorang perempuan. Mungkin siang itu mereka datang lagi. Entah untuk apa.

Aku masih tetap tidak bisa melihat mereka. Setelah kain transparan yang sangat tipis itu terasa menutupi satu tubuhku, aku seperti ingin dibedah saja. Tangan kananku seperti ada yang menahan agar telapak tangannya mau terbuka. Dan akhirnya terjadilah. Aku melihat bagaimana telapak tanganku itu dicungkil oleh sesuatu. Aku melihat ada lubang berwarna coklat kehitaman di telapak tanganku. Tidak ada sedikit pun darah tapi sakitnya bukan main. Dalam seketika kesadaranku mereka alihkan. Aku seperti barusan saja diberi bius agar tidak merasakan sakitnya dicungkil seperti itu. Aku kembali ke alam mimpi. Aku tidak merasakan sakit itu lagi. Di mimpi itu aku melihat padang rumput yang begitu hijau. Ada beberapa anak kecil yang memakai gaun putih sedang berlarian entah menangkap apa. Ternyata mereka sedang menangkap peri-peri kecil dengan berbagai warna. Aku pun ikut mengejar mereka. Tertangkap olehku satu peri kecil berwarna merah. Sangat cantik sekali. 

"Hey, jangan tangkap aku, Yuni. Aku ini perimu. Peri Aulthum. Tangkap saja yang lain." 

Karena dia sedikit marah, ditusuknya telapak tangan kananku dengan tongkat kecilnya yang runcing itu. Aku merasakan sakit dan seketika membuka genggaman tanganku dan peri merah itu terbang bebas lagi. Sakitnya bukan main ditusuk oleh peri kecil itu. Ternyata rasa sakit ditusuk itu adalah rasa sakit yang sedang aku rasakan karena telapak tanganku sedang dicungkil oleh mereka. Tiba-tiba, aku kembali lagi ke alam sadarku. Telapak tanganku masih dicungkil dan mereka memberiku bius lagi. Aku kembali ke alam mimpi tadi. Kali ini aku melihat peri hijau yang sedang terbang. Aku ingin menangkapnya, tapi dia juga sedikit marah.

"Yuni, jangan aku yang kamu tangkap. Tangkap saja Peri Anuselia."

Aku tidak tahu siapa nama peri hijau itu. Sedangkan Peri Anuselia adalah peri berwarna putih keemasan.

Karena sepertinya mereka tidak ingin ditangkap olehku, aku akhirnya diam saja mematung. Samar-samar aku seperti mendengar ada yang sedang berdiskusi. Aku tidak tahu siapa. Aku hanya mendengar suara-suara. Tidak jelas apa yang mereka katakan. Aku juga tidak mengenal bahasa mereka. Tiba-tiba, aku ditarik menjauh dari padang hijau itu. Ternyata biusku sudah habis lagi. Baru kutahu, mereka yang sedang membedahku itu yang sedang berdiskusi entah tentang apa.

Aku kesakitan karena begitu dalam mereka mencungkilnya. Karena tidak tahan, akhirnya aku berontak. Aku ingin melepaskan tangan dan kakiku dari jeratan mereka. Aku tidak sanggup lagi menahan sakitnya. Aku terus berontak dan terus berontak. Sampai akhirnya aku bisa terlepas juga. Aku terengah-engah mendapati tubuhku yang sudah tidak terjerat lagi. Aku terduduk di tempat tidur dengan rambut yang masih acak-acakan. 

Tidak ada siapa-siapa, pikirku sambil masih terengah-engah.

Kulihat telapak tanganku tidak ada luka. Tapi, ada membiru seperti warna memar yang masih terasa sangat sakit. Kamarku masih terasa dingin. Padahal di luar sana begitu terik dan kipas angin tidak kunyalakan. Sepertinya mereka masih di dekatku. Di luar kamarku juga tidak ada suara siapa-siapa lagi, hanya suara TV yang masih menyala di ruang tengah tanpa ada yang menonton, sepertinya.

: ada sosok C dibalik semua ini hingga mereka membedahku untuk mengeluarkan prajuritnya!

Saturday, January 22, 2011

01.00 WIB


Mari kita ke dapur. Orang-orang sudah pada tidur.
: menanti sepi, perutku jadi lembur.
Dia sudah menungguku di meja makan. Mungkin wajahnya sedang tersenyum. Mungkin saja tidak. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya jika dia pun merasakan akan hadirnya aku di dekatnya. Tidak ada kesepakatan. Ini hanya inisiatif duga-dugaan yang menyenangkan.

Serigala betina sedang bernyanyi di ujung jalan sana. Aku masih saja diam menghadapi dia yang duduk di hadapanku. Sungguh, aku malu jika saat makan ada yang memperhatikan. Bisa-bisa sendok aku sangka ikan. 

"Mengapa kamu tidak tidur?"
"Untuk apa?"
"Untuk matamu yang sudah memerah, untuk tubuhmu yang sudah melemah, untuk otakmu yang sering mengalah, untuk pikiranmu yang selalu salah, untuk perasaanmu yang sulit untuk dicegah."
"Hahhh... Cuma karena itu?"
"Setidaknya jika kamu tidur, kamu akan kuajak bermain ke duniaku. Mau?"
"Lima suap lagi."

Aku anggap itu bukan pernyataan bahwa aku meng-iya-kan ajakannya. Lima suap lagi butuh waktu. Lima suap lagi butuh kemauan yang besar. Bahkan dengan lima suap lagi aku bisa memutuskan untuk berhenti makan atau terpaksa melanjutkan. Aku anggap ini hanya prediksi.
Jari-jarinya diketuk bergantian di atas meja seperti orang sedang mengetik. Aku tidak terganggu. Tapi, aku seperti membaca ketidaksabarannya di jari-jari itu. Dua sendok lagi dan akhirnya aku hentikan.

"Sudah selesai?"
"Kenyang."
"Sekarang sudah bisa aku ajak ke sana 'kan?"
"Belum."
"Lho?"
"Kamu saja duluan. Nanti aku menyusul."

Gontainya dia berjalan membuat aku biasa-biasa saja. Aku mau cuci muka dulu. Aku ke kamar mandi dan dia ke kamar. Sepertinya dia membanting pintu kamar. Aku mendengarnya di dalam hatiku. Sudahlah, dia mungkin sedang emosi saja.
Aku masuk ke dalam kamar dan dia tidak ada. Hanya ada bisikan-bisikan tak senyawa terbang-terbang dalam keremangan. Aku pun tidur setelah melewati lima menit masturbasi. 

"Selamat datang di dunia mata terpejam. Ini rumahmu. Dan ini teman-temanmu. Ayo maiiiiiiiiiiinnnn!!!!"

B



Siang ini akan menjadi siang yang menyebalkan.
: aku sakit perut karena tadi makan coklat, lagi.

Kemudian aku pun berbaring sambil menatap kamu di pojokan sana. Lama sudah aku mendiamkanmu. Menegur pun aku tak mau. Tapi, Tuhan selalu memasukkan kamu ke dalam pikiranku. Salah jika sekarang aku mengatakan hanya kamu yang selalu aku pikirkan? Kalau salah, kamu memang terlalu.

Sering aku bolak-balik lembar buku harianku. Aku ingin selalu memastikan apa saja hal-hal yang harus aku peduli dan kamu ada di salah satunya. Entah aku lupa di urutan ke berapa kamu kutulis. Sekarang, mari ikut aku untuk memastikannya!

Apakah mataku yang salah melihat atau tanganku yang salah menulis tempo itu. Ternyata kamu adalah satu-satunya hal yang menjadi kepedulianku. Kamu menguasai semua urutan dari satu sampai entah aku lupa ke berapa sekian. Begitu hebatnya kamu. Kalau kamu menganggapnya biasa saja, kamu memang sungguh terlalu.

Maafkan aku jika untuk saat ini kamu belum bisa terlalu sering di kamarku. Sebagian hidupmu aku pindahkan ke tempat yang lain. Di sana kamu juga disayangi. Bahkan setiap ada orang yang ingin mengambilmu, pasti aku selalu dapat laporan. Aku langsung menuju ke tempatmu di sana untuk memastikan kamu baik-baik saja. Jika sudah begitu, yang ada hanya rindu yang merayap.

Menungku akhir-akhir ini adalah tentang kamu. Aku harus punya waktu untuk kamu. Makanya aku menung-menung terus. Malam ini mungkin giliran Ocean Sea yang akan aku setubuhi. Kamu berikutnya. Sabar ya.

: listrik imajinasinya sedang membuat sketsa tubuh si B

Thursday, January 20, 2011

00.00 WIB

Ini adalah pagi, yang sudah malam.
Bukan bagianku jika ingin berbagi cerita disamakan dengan berbagi suami. Kuhitung-hitung sudah hampir dua tahun kamu tidak mengatakan cinta lagi kepadaku. Mungkin ini salahku karena aku yang lari darimu.

3 x 3 sudah cukup untuk ukuran duniaku. Cukup dalam artian aku tidak akan meminta lebih dari tahu diriku.
Tidak gampang untuk bisa menerima kalau ternyata malam itu nyata. Dan, mengapa harus tidur?


Sudah kukatakan
: aku tidak ingin berbagi cerita itu disamakan dengan berbagi suami.
Aku akan bercerita. Pasti. Tapi, jangan sekarang.
Ada daging yang lain yang sedang menantiku di tempat tidur. Besok saja ya?

A


Dia itu perempuan.
Tak pernah aku tahu rupa wajahnya. Dia menulis seperti hantaman palu ke atas batu. Tapi, rasanya seperti air yang disiramkan ke ubun-ubun. Suatu hari aku mendengar suaranya. Begitu cepat cara bicaranya.
: Menggelitik sambil menerka apakah kira wajahnya mirip seperti suaranya?
Aku tampar saja khayalanku. Mengganggu pembicaraan, pikirku.

Pada tanggal sekian, dia menghujat agama baruku. Agama yang Tuhannya kerap berganti sesuai mauku. Aku heran dengan labirin yang ada di batok kepalanya.
: Ini agamaku. Mengapa dia menghujatnya?
Ada sedikit api yang menyala di sela-sela telingaku. Awalnya aku biarkan saja. Ternyata pengikutnya banyak. Dan, aku digiring sampai ke tepi hari. 

Dia itu perempuan.
Bersikap dewasa dengan intelektual yang sudah terakreditasi. Berdiri dengan menundukkan mata dengan kompas sudah ada di tangan kanan.

Dia itu perempuan.
Tapi, aku tidak suka cara dia memandang. Dia menjatuhkan seakan-akan ada cap "anti banting" di punggungnya. 

"Kamu angkuh dan kamu tidak tahu itu." bisikku kepada Tuhan.
: Kali ini Tuhan hadir dalam bentuk huruf A. 

Wednesday, January 19, 2011

Jeduar..

Seberapa banyak manusia yang harus saya pelajari rahasianya yang tersembunyi di setiap garis wajah dan lubang pori-porinya? Seberapa sanggupkah saya membaca mereka dengan isi cerita yang naik turun bagaikan jalanan di puncak menuju Berastagi? Atau saya harus berpaling bagai pecundang? Atau mungkin tetap menerima bahwa itu adalah kenyataan dan bukan bisikan?

Saturday, January 15, 2011

Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

Pertanggungjawaban Dewan Juri
Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jakarta 2010


Seperti akan sepi peminat hingga sebulan menjelang batas akhir penerimaan naskah, sayembara penulisan novel DKJ 2010 ini akhirnya menerima 277 naskah dari para peserta yang berdomisili di berbagai kota di Indonesia, bahkan di luar negeri. Sebagian besar naskah masuk pada hari terakhir. Itu lumrah. Setiap pekerjaan, apa pun jenisnya termasuk menulis novel, memang selalu akan menghabiskan seluruh waktu yang disediakan.

Karena itu lomba penulisan novel menjadi penting artinya untuk mendorong orang menyelesaikan karyanya—sebab ada deadline di sana. Dan deadline selalu merupakan anasir penting yang bisa memaksa penulis merampungkan pekerjaannya. Kita tahu, tidak banyak orang yang bisa menentukan deadline bagi dirinya sendiri kapan harus merampungkan penulisan novel, kecuali ia sangat disiplin. Maka, inilah salah satu pencapaian terpenting lomba penulisan novel: ia mendorong banyak orang merampungkan penulisan novel mereka, mendorong lahirnya banyak karya.

Menghadapi tumpukan 254 naskah yang harus dinilai, kami dewan juri sempat berharap akan ada satu atau dua, syukur-syukur tiga, di antaranya yang menawarkan kejutan. Namun kejutan itu tak ada. Sebagian besar karya yang masuk adalah novel-novel yang akan tumbang pada halaman-halaman awal karena gagal mengikat pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan. Beberapa cerita mampu menyajikan pembukaan yang menarik, tetapi kemudian berkembang menjadi lanturan yang bertele-tele dan kehilangan arah.

Mekanisme Penjurian dan Dasar Pertimbangan

Dalam penjurian yang berlangsung tiga bulan, dewan juri mengadakan tiga kali rapat. Rapat pertama untuk menyepakati poin-poin penilaian dan mekanisme penentuan pemenang. Rapat kedua masing-masing juri datang dengan menyodorkan 10 unggulan. Rapat ketiga untuk memutuskan pemenang.

Mengenai kriteria penjurian, Komite Sastra DKJ selaku panitia menyerahkan sepenuhnya kepada tiga orang juri yang mereka pilih. Dalam pembicaraan bertiga di antara dewan juri, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa masing-masing dari kami—Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono—memiliki pertimbangan sepenuhnya untuk memilh unggulan dan memberikan alasan untuk mempertanggungjawabkan pilihan tersebut.

Pada rapat kedua di mana setiap juri memilih 10 karya unggulan, urusannya masih mudah dan lancar. Jika pilihan masing-masing juri berbeda, maka ke-30 novel hasil seleksi awal ini akan dipertarungkan dalam penilaian akhir untuk menentukan satu pemenang utama dan empat unggulan. Secara kebetulan, seleksi tahap pertama ini menghasilkan 20 judul novel dengan rincian sebagai berikut: 2 novel ada dalam daftar unggulan semua juri, 6 novel dipilih oleh 2 juri, dan sisanya 12 novel dipilih oleh satu juri.

Perdebatan yang cukup alot terjadi pada rapat terakhir ketika tiap-tiap juri memberi argumen untuk mempertahankan pilihan masing-masing. Dalam rapat yang berlangsung selama tiga setengah jam itu dewan juri akhirnya bersepakat untuk memilih hanya empat unggulan dan tanpa pemenang utama. Keempat unggulan tersebut adalah naskah nomor 6 (Persiden), nomor 26 (Lampuki), nomor 39 (Jatisaba), dan nomor 130 (Memoar Alang-Alang). Ada hal-hal menarik pada masing-masing novel tersebut, namun ada kekurangan-kekurangan yang tidak memungkinkan kami menetapkan salah satunya menjadi pemenang utama. Berikut adalah catatan singkat tentang keempat novel unggulan dalam sayembara kali ini:

'Persiden' karya Wisran Hadi
Novel berlatar budaya Minangkabau yang mencoba mengangkat lokalitas dan persoalan-persoalan adat dengan cara pandang dan bentuk baru yang kritis. Tradisi dipertanyakan dan dibenturkan dengan kenyataan dan modernitas, bukan dimamah dan ditelan mentah-mentah. Alur bercabang di bagian akhir membuat novel ini lebih menarik dan tak konvensional.

Mengadopsi gaya kelisanan masyarakat Minang, yang suka meledek apa saja, dalam beberapa hal novel ini terasa menyegarkan. Namun seringkali terasa bahwa teknik kelisanan yang digunakan oleh penulis membawa risiko tersendiri: cerita menjadi melantur dan bertele-tele.

'Lampuki' karya Arafat Nur
Berlatar Aceh pada masa DOM, novel ini adalah satir cerdas tentang gebalau konflik TNI-GAM yang pada ujungnya menyengsarakan rakyat kecil. Dengan bahan cerita yang sangat emosional bagi rakyat Aceh, Lampuki mampu menjaga penokohan tidak menjadi hitam-putih, kendati karakterisasi tokoh utama/narator terasa kurang pendalaman. Upaya menyiasati bentuk tampak pada alur dan penokohan yang tak linear.

Ditulis dengan rasa humor yang cukup baik, dengan kalimat-kalimat yang beres, kadang terasa bahwa penulisnya agak kurang gigih mempertahankan kekuatan diksi. Pembaca bisa menemukan di sana-sini istilah yang tidak memiliki kekuatan literer, misalnya “pemerintah terkait”, “hidup makmur serba berkecukupan, dan sebagainya. Hal lain yang menjadi ganjalan utama, cerita berjalan sangat lambat.

'Jatisaba' karya Ramayda Akmal
Beragam karakter dimunculkan dalam cerita ini dan tertangani cukup baik. Hanya tokoh Sitas, perempuan kasar dan tukang bergunjing, kadang-kadang bersuara terlalu cerdas untuk karakter yang mendekati dungu. Menggarap masalah trafficking, yang dilakukan dengan kedok pengiriman TKI, novel ini dituturkan melalui sudut pandang si pelaku kejahatan, seorang perempuan yang sebelumnya juga menjadi korban kejahatan tersebut. Perempuan itu kembali ke desanya yang melarat dan kacau oleh situasi politik pilkades, mengkhianati kenangannya sendiri, mengkhianati kawan-kawan lama, dengan siapa ia sesungguhnya selalu ingin bersama-sama.

Ada kompleksitas masalah dalam masyarakat yang sederhana dan semua itu dituturkan secara enteng, seperti nyaris tanpa pemihakan atau emosi yang berlebihan. Bab I, yang merupakan kopian saja dari bagian tengah bab XX, harus ditulis ulang, atau dihilangkan saja. Masalah lain adalah kecenderungan yang tak tertahankan untuk menyelipkan bahasa lokal (terlalu sering dan terlalu banyak) dan itu sungguh mengganggu pembacaan.

'Memoar Alang-alang' karya Hendri Teja
Novel berlatar historis ini diilhami oleh kisah hidup tokoh faktual Tan Malaka (1896-1949). Penulis tampak berupaya melakukan riset untuk menghidupkan latar awal abad kedua puluh di Sumatra, Jawa, dan Belanda, serta atmosfer pergerakan nasional di tengah kungkungan kolonialisme. Sejumlah kejadian penting yang membangun watak, melandasi pilihan politik dan sikap hidup karakter utama berhasil dihidupkan dalam adegan-adegan yang menarik. Bangun cerita yang disusun lumayan memikat. Kisah cinta segi tiga yang disusupkan di antara jalinan utama cerita menghindarkan novel ini dari keterjerumusan menjadi sebuah risalah propaganda yang kering.

Kelemahan novel ini terletak pada penyusunan kalimat-kalimat yang sering rancu. Upaya terus-menerus untuk menggambarkan latar tempat dalam deskripsi yang statis membuat cerita berjalan lambat, sesuatu yang agak bertentangan dengan gejolak zaman dan pergolakan batin tokoh utama yang kelak menjadi tokoh pergerakan.

Catatan Umum atas Naskah-Naskah Peserta Sayembara

Hasil akhir di atas menyampaikan pesan yang cukup jelas, yakni bahwa harapan kami untuk mendapatkan satu saja karya yang istimewa tidak terpenuhi. Setidaknya, dalam pandangan kami dewan juri, tidak ada satu naskah yang benar-benar kuat untuk ditetapkan sebagai pemenang utama. Alih-alih menemukan satu atau dua yang istimewa, kami justru mendapati bahwa sebagian besar naskah yang disertakan dalam lomba kali ini mengecewakan dalam beberapa hal. Pertama, dalam hal keperajinan. Ini persoalan yang menjadi catatan utama dewan juri sayembara menulis novel DKJ dua tahun lalu. Dan tampaknya catatan itu masih harus diperpanjang sampai hari ini. Beberapa masalah pada keempat cerita di atas, yang terpilih sebagai unggulan, setidaknya bisa agak mewakili gambaran tentang lemahnya keperajiinan itu. Tentu saja ini adalah masalah mendasar yang harus segera dibereskan oleh para penulis itu sendiri. Tanpa kecakapan yang memadai, anda tahu, gagasan sebagus apa pun tidak akan menjadi karya yang menarik dibaca orang.

Kedua, sejumlah besar naskah menunjukkan kepada kita bahwa para penulisnya kurang membaca, atau kurang meluaskan minat terhadap bacaan. Ini berakibat pada miskinnya strategi literer yang mereka gunakan untuk membangun cerita. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka menulis dengan rujukan yang amat terbatas dalam hal teknik penceritaan, gaya bertutur, dan dalam mengupayakan berbagai kemungkinan bentuk. Sebagaimana dalam urusan-urusan lain, dalam penulisan pun kita perlu belajar banyak dari orang-orang yang lebih dulu dari kita. Mereka bisa dari mana saja dan kecakapan yang kita butuhkan bisa kita pelajari dari banyak sumber, dari banyak tempat.

Ketiga, ada kecenderungan luas untuk menjadikan sebuah karya sebagai kendaraan pengangkut dakwah, baik dakwah agama maupun dakwah sekuler, sehingga terasa bahwa para penulis hanya menunggangi cerita dan setiap karakter di dalamnya untuk kepentingan mereka sendiri, yakni menyampaikan petuah dan ajaran. Novel mereka dimaksudkan sebagai tanggapan langsung, yang nyaris tanpa pengendapan, dan sekaligus koreksi atas situasi hari ini. Ia memuat ide-ide besar, pernyataan-pernyataan besar, tetapi lupa membangun ceritanya menjadi dunia rekaan yang kokoh. Tampaknya, sebagian pengarang berhasrat menjadi reformer atau penggerak masyarakat.

Tentu saja niat apa pun dibolehkan dalam penulisan. Setiap penulis berhak menulis apa saja sekehendak hatinya. Namun setiap cerita yang baik selalu memperlihatkan kepada kita bahwa penulisnya memiliki kematangan teknis dan kepiawaian mengolah bahan dengan seluruh kecakapan dan pengetahuan yang ia miliki. Setiap cerita yang baik dengan demikian selalu menjadi dunia rekaan yang layak dipercaya: ia valid dan realistis menurut logika cerita itu sendiri, bahkan sekalipun yang diceritakan adalah dunia yang absurd atau kejadian-kejadian yang serba fantantis.

Itu tantangan umum bagi setiap penulis.

Tantangan lebih khusus yang menurut hemat kami perlu dijawab oleh penulis adalah bagaimana sebuah novel bisa memikat pembaca kita hari ini. Kita tahu, sekarang ini sebuah novel tidak hanya bertarung dengan novel-novel lain yang ditulis oleh penulis-penulis lain. Pertarungan lebih keras adalah melawan dongeng-dongeng lain yang lebih sanggup melayani zaman yang serba sibuk dan orang-orang yang tak memiliki banyak waktu. Anda bisa mendapatkan cerita menarik hanya dalam dua jam melalui sebuah film. Anda bisa mendapatkan cerita secara “gratis” melalui sinetron-sinetron.

Jadi apa yang membuat orang bertahan membaca novel? Apa yang bisa membuat orang mau bertekun dengan satu novel selama berjam-jam atau berhari-hari untuk menyelesaikan cerita dari halaman pertama hingga halaman akhir? Bagaimana sebuah novel bisa menarik perhatian pembaca yang sempit waktunya dan begitu beragam perhatiannya? Bagaimana bentuk penceritaan yang tepat utuk khalayak yang dirasuki oleh ide-ide tentang segala yang instan sementara novel sama sekali bukan sesuatu yang bisa diselesaikan secara instan?

Tampaknya hal-hal semacam itu belum menjadi perhatian para penulis peserta sayembara. Di luar naskah-naskah remaja yang terasa memindahkan kecerewetan sinetron ke dalam bentuk tertulis, banyak sekali novel yang pengisahannya begitu lambat dan berlarut-larut, seolah-olah tidak peduli apakah pembacanya punya waktu atau tidak. Seorang pembaca dengan minat yang baik terhadap bacaan mungkin tidak akan berkeberatan membaca naskah setebal 500 halaman—jika 500 halaman itu adalah ketebalan yang paling pas bagi novel tersebut. Artinya, novel itu tak mungkin ia diringkas-ringkas lagi.

Namun, jika novel 500 halaman bisa diringkus menjadi 150 halaman, misalnya, itu berarti ada kemubaziran sepanjang 350 halaman. Hal-hal mubazir inilah yang pada umumnya membuat cerita menjadi sangat lambat dan berlarut-larut, selain lemahnya kecakapan si penulis untuk menggerakkan cerita. Secara simpel kita bisa menganalogikan sebuah novel sebagai “riwayat hidup” yang sudah diringkas sedemikian rupa, yang sudah dibuang bagian-bagian buruknya, sehingga yang tersisa hanyalah hal-hal terbaik dari riwayat “tokoh(-tokoh) utama cerita itu”.  Karena itu mestinya ia tidak mengizinkan di dalamnya bagian-bagian yang kedodoran. Salah satu yang paling bisa kita persalahkan dalam urusan kelambanan penuturan dan kemubaziran adalah kecakapan yang tidak memadai untuk menggerakkan cerita.

Dari segi tema cerita, naskah-naskah yang masuk dalam sayembara kali ini sebenarnya menawarkan keragaman yang menggambarkan luasnya lingkup perhatian para penulis terhadap persoalan di masyarakat kita hari ini. Kita bisa mendapati tema-tema politik, kebobrokan moral, eksploitasi di tiap jenjang terhadap TKI, trafficking, kegagalan reformasi, perbenturan tradisi dan modernitas, gugatan terhadap institusi keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, cukup banyak juga penulis yang mengolah materi lokal, baik sejarah maupun dongeng, dan membaurkannya dengan situasi hari ini.

Dari sisi itu, kita bisa bersyukur bahwa ada upaya melakukan eksplorasi lebih luas untuk menggarap tema dan mengolah sumber-sumber unik dengan penguasaan yang baik dan rinci terhadap bahan yang dijadikan sumber.

Masalahnya, materi yang menarik tidak dengan sendirinya akan menghasilkan cerita yang baik. Ia membutuhkan prasyarat lain yang sangat mendasar, yakni keperajinan, dan kekayaan strategi literer. Ini adalah batu sandungan pertama yang akan menggelincirkan setiap upaya untuk menghasilkan karya yang baik. Lemahnya keperajinan telah membuat sejumlah novel yang dimaksudkan sebagai respons atas situasi aktual, misalnya kondisi politik pasca-reformasi atau kebobrokan moral di masyarakat, gagal mencapai bentuk terbaiknya. Dalam kedua jenis novel itu, sebagian menjadi alat penyampai petuah dan sebagian lagi menjadi semacam laporan jurnalistik yang tidak meyakinkan.

Bagaimanapun, dalam pekerjaan tulis-menulis, ada unsur pertukangan yang mestinya harus betul-betul dikuasai oleh penulis. Ini menyangkut penguasaan teknis atas pelbagai perangkat kebahasaan. Juga ketepatan penggunaannya.

Kita ambil satu contoh, dalam kecakapan deskripsi misalnya. Pada suatu masa di abad kesembilan belas, kehebatan seorang pengarang diukur dari kemampuannya melukiskan secara amat rinci segala hal. Sekarang, apa yang pada saat itu dianggap sebagai kepiawaian, mungkin akan menjadi hal yang menjemukan jika kita terapkan dalam penulisan hari ini. Kemampuan untuk melukiskan secara rinci tentu saja masih diperlukan, tetapi penulis hari ini harus melakukannya dengan strategi yang berbeda agar cerita tidak terasa mandek.

Penutup

Begitulah pandangan umum dewan juri dan pertimbangan kami dalam memilih empat naskah unggulan. Terlepas dari catatan yang berisi sejumlah “keberatan” terhadap naskah-naskah yang menjadi peserta sayembara menulis novel kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada setiap peserta yang telah mengirimkan naskahnya. Ucapan terima kasih juga sudah sepatutnya kita berikan kepada Dewan Kesenian Jakarta yang terus mempertahankan tradisi penyelenggaraan sayembara menulis novel ini. Tidak dalam setiap lomba kita akan mendapatkan karya pemenang yang istimewa. Namun lomba semacam ini terbukti telah merangsang lahirnya banyak karya.

Jika nasib kita mujur, dari sebuah lomba kita bisa mendapatkan karya pemenang yang benar-benar kuat, bahkan dari penulis yang sebelumnya tak pernah kita kenal. Dalam kasus seperti ini, kita bisa mengatakan bahwa lomba seringkali menjadi jalan pintas bagi penulis untuk dibicarakan orang. Pertarungan di media-media besar, kita tahu, membutuhkan waktu panjang dan ketekunan dan daya tahan sampai akhirnya seseorang membuktikan diri layak dapat tempat. Dan ada satu hal yang sering membuat frustrasi para pemula, yakni munculnya anggapan bahwa media sering lebih mengutamakan nama-nama yang sudah mapan. Gugatan semacam ini masih sering terdengar dalam pelbagai forum, terutama oleh para penulis yang merasa dipinggirkan.

Tanpa mempersoalkan benar tidaknya gugatan itu, kami berpendapat bahwa sayembara penulisan sebagaimana yang rutin diselenggarakan oleh DKJ ini akan merupakan kesempatan baik bagi para penulis untuk bertarung dalam situasi yang lebih fair. Para juri hanya memeriksa naskah tanpa nama, tanpa identitas penulisnya, sebab semuanya diganti dengan angka. Maka, dalam riwayat sayembara DKJ, kita sering mendapati bahwa para pemenang dan unggulan adalah nama-nama yang sama sekali baru. Beberapa bertahan dan semakin matang, beberapa hilang. Dan kita akan mendapatkan gantinya melalui lomba yang akan datang.

Jakarta, 14 Januari 2011



Dewan Juri
Anton Kurnia
A.S. Laksana
Sapardi Djoko Damono

Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

MALAM ANUGERAH SAYEMBARA MENULIS NOVEL DEWAN KESENIAN JAKARTA 2010
Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jumat, 14 Januari 2011.

Dimeriahkan pentas musik Twin Demon, pembacaan petikan novel unggulan oleh Arswendy Nasution dan Rukmi Wisnu Wardani, pameran Lintasan Sejarah Sayembara Novel DKJ, serta temu pengarang bersama Putu Wijaya, Ayu Utami, dan Yonathan Rahardjo.

Sebuah acara penting, Malam Anugerah Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, akan digelar di Teater Kecil (Teater Studio), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, 14 Januari 2011, pukul 19.00 WIB. Pergelaran dua tahunan ini akan dimeriahkan pentas musik Twin Demon, dan pembacaan petikan novel unggulan oleh Arswendy Nasution dan Rukmi Wisnu Wardani.

Selain itu, pada hari yang sama, mulai pukul 10.00 WIB, lobi Teater Kecil akan dimeriahkan Pameran Lintasan Sejarah Sayembara Novel DKJ, dan pada pukul 15.00 WIB akan diisi temu pengarang bersama Putu Wijaya, Ayu Utami, dan Yonathan Rahardjo. Ketiga novelis yang pernah memenangkan Sayembara Novel DKJ ini akan membeberkan proses kreatif dalam menulis novel dan dampak kemenangan tersebut  terhadap perkembangan kepengarangan mereka.

Sayembara Novel DKJ merupakan salah satu program unggulan Dewan Kesenian Jakarta yang diadakan sejak tahun 1974. Sempat terhenti sejak tahun 1981, kemudian diadakan lagi pada tahun 1998, dan “melahirkan” novel Saman karya Ayu Utami yang kontroversial sekaligus laris dan fenomenal. Novel ini banyak dikritik sekaligus dipuji, namun berhasil melambungkan nama Ayu Utami dan memberikan sejumlah penghargaan penting untuknya, seperti  Prince Claus Award 2000.

Selain Saman, cukup banyak novel penting lain yang lahir dari Sayembara Novel DKJ, seperti Aspar (1974) karya Astiti Rahayu, Dari Hari ke Hari (1974) karya Mahbub Junaedi, Raumanen (1975) karya Marianne Katoppo, Upacara (1976) karya Korrie Layun Rampan, Aku Bukan Komunis (1977) karya Yudhistira Ardhi Nugraha, Tiga Lagu Dolanan (1977) karya Ismail Marahimin, Dadaisme (2003) karya Dewi Sartika, Geni Jora (2003) karya Abidah el Khalieqy, Tabula Rasa (2003) karya Ratih Kumala, dan Ular Keempat (2003) karya Gus tf Sakai.

Tujuan utama sayembara ini adalah untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel. Keberadaannya menjadi makin penting setelah berhasil melahirkan banyak novel penting dan pengarang ternama dalam sastra Indonesia. Meski hanya “hadiah harapan”, pengarang ternama Putu Wijaya juga pernah memenangi sayembara ini, melalui novel Merdeka pada tahun 1981. Cerpenis ternama, Hamsad Rangkuti, juga pernah memenangi sayembara ini, meski juga hanya pada posisi “hadiah harapan” pada tahun 1981 dengan novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Pada tahun yang sama, hadiah pertama diraih novel Bako karya Darman Munir, dan hadiah kedua ditempati novel Harapan karya Nasjah Djamin.

Pada awalnya, Sayembara Novel DKJ diadakan setahun sekali. Setelah sempat vakum, lalu diadakan lagi pada tahun 1998, dan 2003. Kemudian, mulai 2006, sayembara ini ditradisikan dua tahun sekali, tiap tahun genap. Tahun 2006, antara lain, menghasilkan novel Hubbu karya Mashuri, dan Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Sedangkan tahun 2008, antara lain menghasilkan novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf.

Hal yang menggembirakan, antusiasme penulis selalu besar untuk mengikuti Sayembara Novel DKJ. Bukan hanya para pengarang muda, tapi juga para novelis senior dan ternama. Untuk tahun ini, misalnya, saat penutupan penerimaan naskah, telah ada 277 naskah novel yang masuk ke sekretariat DKJ. Selain itu, sejumlah penerbit besar, seperti Gramedia, juga selalu antusias untuk menerbitkan novel-novel yang memenangi sayembara ini.

Ke-277 naskah novel itulah dinilai oleh Dewan Juri yang terdiri dari Sapardi Djoko Damono, A.S. Laksana, dan Anton Kurnia. Tentu, kami sangat berharap sayembara novel ini dapat terus menghasilkan novel-novel baru yang lebih bagus, segar, dan fenomenal. Bukan sekadar novel yang bagus, tapi novel yang membawa semangat pembaharuan dalam kesastraan Indonesia. Kita saksikan saja, siapa kampiun-kampiun penulis novel yang menjadi juara kali ini!



Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta   

Thursday, January 13, 2011

entahlah..

Ini saya yang harus terus berkarya

Bagaimana ini? Sudah beberapa hari yang lalu, hari ini juga, saya labil emosi. Bukan berarti marah-marah. Tapi, entahlah. Rasanya mata ini sedang tidak nyaman saja memandang. Telinga juga begitu, sedang tidak suka saja mendengar selain suara saya sendiri dan suara hati kecil saya. Sepertinya cuma dua alat itu saja yang lebih menonjol dalam mengindra. Mata dan telinga. Apakah saya harus tutup mata dan tutup telinga? Atau dengan yang tanda kutip sekali pun? Ah, sepertinya sama saja. Masih tetap bisa terlihat dan terdengar.

Entahlah. Saya tidak mengerti mengapa bisa begitu. Kata teman saya, jangan dibiarkan rasa itu semakin dirasa-rasa nanti bisulmu pecah. Hahaha..maaf teman! Saya sedang tidak punya bisul! Tapi, saya bingung menghadapi diri saya ini. Kalau bingung begini, buat apa saya menulis tentang ini? Percuma saja! Hmm..sepertinya tidak juga. Lebih baik saya teruskan saja bercerita tentang entahlah ini.

Ada seperti ikatan yang mengekang begitu kuat di tubuh saya saat ada seseorang yang bertanya tentang aktifitas saya. Mengapa? Karena saya sedang tidak ingin diketahui oleh siapa-siapa tentang apa-apa yang ada di saya walau hanya sekedar bertanya dengan pertanyaan yang sangat sederhana, "Lagi ngapain, kamu?" Entahlah mengapa bisa seperti itu. Rasa-rasanya hmm...tidak penting dan saya malas dengan yang begitu. Sedang tidak bersahabat dengan yang namanya basa-basi.

Bisa jadi atau bisa saja saya ini adalah teman yang tidak menyenangkan, teman yang tidak baik, atau teman yang tidak pantas menjadi teman. Ya, bisa jadi atau bisa saja. Bagaimana jika berteman tidak perlu bertanya tentang identitas? Tentang siapa nama asli, kuliah atau kerja, hobinya apa, karakternya bagaimana, dan sebagainya itu. Kenali saja mereka dari yaaaaa...kata-kata mereka, mungkin. Terserah kata-kata yang dilihat atau didengar dari mana. Dari tulisannya kah atau dari cerita uneg-unegnya kah, banyak! Nilai dan pahami  saja. Saya sedang tertarik seperti itu. Rasanya seperti ada rasa terikat yang tak terikat jika berhubungan dengan model begitu. Lama-lama juga akan terbaca identitasnya tanpa harus bertanya. Entahlah bagi orang lain. Paling malas jika harus menjawab, "Kamu ini orangnya gimana sih?" Huft..

Introvert, mungkin. Itu lah saya. Tapi, jika saya sudah menulis begini, masih pantas dianggap introvert? Entahlah. Mungkin ini masih permukaan kulitnya saja. Belum lapisan yang di bawah kulitnya. Apalagi isinya. Hanya bercerita. Tentang...entahlah.

Bicara tentang dunia, mungkin saya sedang tidak tertarik melihat dunia orang lain walaupun mereka sangat berwarna. Saya pun punya dunia. Bahkan lebih berwarna. Jika mereka punya dua puluh empat warna, maka saya punya tak-terhingga warna. Entahlah yang tak-terhingga itu berapa banyak dan bagaimana rupa. Ya, sekali lagi saya katakan kalau saya juga punya dunia. Itu yang membuat saya bertahan jika saya kecewa. Saya masih manusia normal, mungkin, untuk merasakan kekecewaan. Untuk yang satu ini, dunia, saya tidak ingin diganggu gugat. Bukan apa-apa, tapi...entahlah. Memang sudah begitu saya. Tidak suka diganggu gugat tentang dunia. Apa sebenarnya dunia yang saya maksud ini? Bisa saja atau bisa jadi alam pikiran saya. Ya sudah pasti itu! Apalagi? Oh, ada satu lagi. Mungkin diamnya saya. Jangan bertanya, "Kenapa diam saja dari tadi?" atau "Kok tiba-tiba diam?" di saat saya memang sedang diam. Jika ditanya begitu di saat saya sedang menikmati diamnya saya, rasanya seperti disuruh mengutip butir beras dalam kondisi angin sedang bertiup kencang dan saya harus berjalan dengan tubuh tetap tegak. Bah! 

Entahlah. Saya bukan tidak berpikir tentang masa depan. Saya hanya memastikan kalau masa sekarang yang saya anggap nyata masih dalam kondisi baik-baik saja saat saya menjalankannya. Masa depan nanti bisa jadi atau bisa saja refleksi dari masa sekarang. Saya jalani saja yang sekarang. Yang di depan siap-siap menunggu. Ah, entahlah.

Saya akan kuliah lagi dan apakah benar yang dikatakannya kalau nanti saya akan berbicara di depan banyak orang dalam sebuah ruangan besar layaknya seorang intelektual? Entahlah! 

Monday, January 10, 2011

kosong

Hanya ada dia, tak ada seorang pun yang lain, di sebelah kanan saya.