Saturday, December 4, 2010

Senjakala kaum perokok


Ada seorang berkata begini kepadaku: “Setelah ku lihat Bang Liston, merokok ternyata nggak sejelek yang ku bayangkan.” Umat manusia sangat bersyukur kawanku akhirnya mendapat pemahaman yang penting ini. Mungkin di benaknya kadung tertancap imej tokoh antagonis dari film-film baheula yang entah mengapa memang jamak menjadikan rokok sebagai teman beraksi. Aku menjadi perokok bukan karena itu. Aku menghapus rokok dalam daftar terlarang dan skeptis dengan semua tabu karena ingin menjadi manusia yang bebas dan belajar menjadi manusia sophisticated.
Waktu masih ragu-ragu aku hanya berakting seolah merokok. Sambil jalan kaki sendirian sepulang dari kampus aku suka memonyongkan bibir seperti menghembuskan asap sambil mengapit rokok imajiner di sela jari. Perilaku bodoh ini tidak pernah ku maksudkan sebagai langkah awal. Namun, tanpa direncanakan, pada satu malam aku mencabut sebatang rokok milik kawan. Ku hisap di depan seorang teman yang berusaha untuk bersikap santai padahal aku tahu ia bakal bersaksi seumur hidup sebagai orang yang pertama melihat seorang Liston Damanik merokok.
Setelah itu ku lalui semua pengalaman yang ku rasa hampir semua perokok pernah lalui; mulai dari salah membakar filter rokok sampai heboh karena nikotin membuat kepala oyong.

Cowboy Is Death
Aku memang tidak berencana selamanya merokok. Sampai beberapa waktu yang lalu pun aku merasa bukan perokok berat. Konsumsiku memang tidak lebih sedikit dibandingkan Rocky Barus yang bangga karena tahan tidak merokok dalam sehari. Namun aku belum sampai menyaingi kebutuhan rokok Vinsensius Sitepu yang rokoknya paling sering aku embat itu. Aku bahkan membuat sedih Bono Emiry, temanku menghabiskan waktu di Rumah Buku, karena bisa meyakinkan dia bahwa sebentar lagi aku tidak akan menemaninya merokok.
Aku akan berhenti merokok bila tiba masanya. Masa muda akan sirna. Urgensi menjaga stamina untuk mendukung kinerja prima di lapangan dan ranjang sutra akan segera tiba. Aku harus menyudahi eksperimen dengan segala zat adiktif. Lagi pula candu, dalam bentuk apapun, tidak baik untuk calon ubermensch.
Apa boleh buat. Rupanya aku belum kenal diri sendiri. Sore kemarin aku mendapatkan diriku sangat bernafsu ingin merokok. Sambil memaki-maki karena honor belum turun, ku korek tas untuk mencari recehan. Mulai saat itu aku tahu merokok buatku bukan lagi sekadar urusan romansa muda-mudi atau perusahaan multinasional dan nasib petani tembakau versus fatwa haram MUI. Sepertinya ini akan jadi jalan yang penuh onak dan duri.
Sekarang, dengan angan-angan olah raga teratur dan pola hidup sehat yang belum juga bisa aku mulai, aku mencoba tidak menyesal masih jadi perokok. Baru-baru sebuah artikel di Business Week menyimpulkan kekalahan McCain dari Obama disebabkan ia tidak punya tim yang smoker. Obama, mantan perokok namun berhenti karena sepertinya memikirkan citra seorang presiden, punya sekumpulan orang kreatif nan supel yang punya sikap rock n rollkan? Mungkin ada dokter yang tidak menjadikan panjang umur sebagai tujuan utama. (Hahaha! Yang benar saja!). sementara McCain hanya punya sekumpulan manusia sok steril yang sangat hati-hati dan tidak punya penyambung sinapsis ketika pikiran mereka buntu. Aku yakin ini ada benarnya. Dokter juga ada yang merokok,
Tapi tak bisa ku bantah bahwa masa jaya rokok dan segala nilai-nilai yang mengitarinya sudah lewat. Dengan menyesal ku sampaikan kepada bocah-bocah di toilet sekolah atau warung kaki lima di luar sana yang sedang mencoba merokok karena ingin gagah-gagahan, kalian terlambat lahir. Sekarang perokok dianggap bagai pesakitan. Mulai dari masih disediakan ruang khusus untuk merokok, saat ini di Amerika para bos menyuruh karyawannya yang ingin merokok pada jam kerja untuk keluar dari bangunan. Karena punya hajatan rutin seperti itu, para pimpinan perusahaan juga menganggap karyawan yang perokok kalah produktif. Tidak peduli seberapa kreatifnya iklan rokok, ketika aku sedang merokok beberapa orang tetap melihatku seperti Geronimo dari pegunungan Amerika dan bukannya seperti koboi keren dari padang rumput di sebelah gunung itu.

Sialan! Sebenarnya aku mau bilang apa?


By: Liston Damanik

No comments:

Post a Comment

Blog Archive