
Ada seorang berkata begini kepadaku: “Setelah ku lihat Bang Liston,  merokok ternyata nggak sejelek yang ku bayangkan.” Umat manusia sangat  bersyukur kawanku akhirnya mendapat pemahaman yang penting ini. Mungkin  di benaknya kadung tertancap imej tokoh antagonis dari film-film baheula  yang entah mengapa memang jamak menjadikan rokok sebagai teman beraksi.  Aku menjadi perokok bukan karena itu. Aku menghapus rokok dalam daftar  terlarang dan skeptis dengan semua tabu karena ingin menjadi manusia  yang bebas dan belajar menjadi manusia sophisticated.
Waktu  masih ragu-ragu aku hanya berakting seolah merokok. Sambil jalan kaki  sendirian sepulang dari kampus aku suka memonyongkan bibir seperti  menghembuskan asap sambil mengapit rokok imajiner di sela jari. Perilaku  bodoh ini tidak pernah ku maksudkan sebagai langkah awal. Namun, tanpa  direncanakan, pada satu malam aku mencabut sebatang rokok milik kawan.  Ku hisap di depan seorang teman yang berusaha untuk bersikap santai  padahal aku tahu ia bakal bersaksi seumur hidup sebagai orang yang  pertama melihat seorang Liston Damanik merokok.
Setelah  itu ku lalui semua pengalaman yang ku rasa hampir semua perokok pernah  lalui; mulai dari salah membakar filter rokok sampai heboh karena  nikotin membuat kepala oyong.
Cowboy Is Death
Aku  memang tidak berencana selamanya merokok. Sampai beberapa waktu yang  lalu pun aku merasa bukan perokok berat. Konsumsiku memang tidak lebih  sedikit dibandingkan Rocky Barus yang bangga karena tahan tidak merokok  dalam sehari. Namun aku belum sampai menyaingi kebutuhan rokok  Vinsensius Sitepu yang rokoknya paling sering aku embat itu. Aku bahkan  membuat sedih Bono Emiry, temanku menghabiskan waktu di Rumah Buku,   karena bisa meyakinkan dia bahwa sebentar lagi aku tidak akan  menemaninya merokok.
Aku akan berhenti merokok bila tiba  masanya. Masa muda akan sirna. Urgensi menjaga stamina untuk mendukung  kinerja prima di lapangan dan ranjang sutra akan segera tiba. Aku harus  menyudahi eksperimen dengan segala zat adiktif. Lagi pula candu, dalam  bentuk apapun, tidak baik untuk calon ubermensch. 
Apa  boleh buat. Rupanya aku belum kenal diri sendiri. Sore kemarin aku  mendapatkan diriku sangat bernafsu ingin merokok. Sambil memaki-maki  karena honor belum turun, ku korek tas untuk mencari recehan. Mulai saat  itu aku tahu merokok buatku bukan lagi sekadar urusan romansa muda-mudi  atau perusahaan multinasional dan nasib petani tembakau versus fatwa  haram MUI. Sepertinya ini akan jadi jalan yang penuh onak dan duri.
Sekarang,  dengan angan-angan olah raga teratur dan pola hidup sehat yang belum  juga bisa aku mulai, aku mencoba tidak menyesal masih jadi perokok.  Baru-baru sebuah artikel di Business Week menyimpulkan kekalahan McCain dari Obama disebabkan ia tidak punya tim yang smoker.  Obama, mantan perokok namun berhenti karena sepertinya memikirkan citra  seorang presiden, punya sekumpulan orang kreatif nan supel yang punya  sikap rock n rollkan? Mungkin ada dokter yang tidak menjadikan panjang umur sebagai tujuan utama. (Hahaha! Yang benar saja!). sementara McCain hanya punya  sekumpulan manusia sok steril yang sangat hati-hati dan tidak punya  penyambung sinapsis ketika pikiran mereka buntu. Aku yakin ini ada  benarnya. Dokter juga ada yang merokok, 
Tapi  tak bisa ku bantah bahwa masa jaya rokok dan segala nilai-nilai yang  mengitarinya sudah lewat. Dengan menyesal ku sampaikan kepada  bocah-bocah di toilet sekolah atau warung kaki lima di luar sana yang  sedang mencoba merokok karena ingin gagah-gagahan, kalian terlambat  lahir. Sekarang perokok dianggap bagai pesakitan. Mulai dari masih  disediakan ruang khusus untuk merokok, saat ini di Amerika para bos  menyuruh karyawannya yang ingin merokok pada jam kerja untuk keluar dari  bangunan. Karena punya hajatan rutin seperti itu, para pimpinan  perusahaan juga menganggap karyawan yang perokok kalah produktif. Tidak  peduli seberapa kreatifnya iklan rokok, ketika aku sedang merokok  beberapa orang tetap melihatku seperti Geronimo dari pegunungan Amerika  dan bukannya seperti koboi keren dari padang rumput di sebelah gunung  itu.
Sialan! Sebenarnya aku mau bilang apa?
By: Liston Damanik
 























No comments:
Post a Comment