Monday, April 11, 2011

Kenangan

Saya baru saja selesai makan (tengah)malam. Saat makan tadi, saya diingatkan oleh banyak hal--semoga saja saya masih ingat saat menuliskannya--tentang yang sudah-sudah. Sudah terjadi. Sudah lewat. Ya sudahlah. Tapi, sudahkah saya melupakannya? Belum. Tidak bisa. Bukan. Memang tidak bisa. Jadi, harus bagaimana? Biarkan saja. Ya, begitulah akhirnya. Saya membiarkannya. Belum. Tulisan ini belum berakhir. Jangan pura-pura bodoh.

Sabtu, 9 April 2011, saya bertemu dengan Alga di lobi Perpustakaan USU. Saya lupa sudah berapa lama tidak bertemu dengannya dan saya pun memang tidak berniat untuk mencoba menghitung sudah berapa lama. Ada keperluan dengannya. Lebih tepatnya saya mau membeli buku dari rak bukunya. Satu saja kok. Ada yang membuat saya berpikir sejenak untuk mengesampingkan pikiran fokus saya kepadanya saat saya bicara dengannya. Dia bilang, "Kalau kita membeli buku dari orang, sebenarnya kita itu membeli kenangan yang ada pada orang tersebut dan saya yakin pasti harga buku dua puluh ribu begini ini mahal buat Zai." So, why? Saya masih belum mengerti pada saat itu. Yang ada di pikiran saya adalah mengapa jual beli buku yang sudah bekas ini jadi dibikin ribet dengan menghubungkan kenangan dan harga? Pada dasarnya tidak ribet, tapi baru kali ini ada orang yang menyinggung tentang itu kepada saya dalam jual beli. Beda halnya jika itu menghadiahkannya. Wajar jika kenangan itu dibahas. Tapi, dalam jual beli? Saya masih belum juga mengerti. Banyak spekulasi yang keluar masuk dalam kepala saya entah lewat mana. Saya jadi bertanya, apa maksud dia berkata begitu? Apakah saya harus maklum jika buku itu dihargai seharga dua puluh ribu karena punya kenangan padahal seharusnya saya bisa menawar? Atau, apakah saya harus mengerti jika harga dua puluh ribu itu masih dianggap murah dari harga aslinya karena buku itu punya kenangan dari si pemiliknya maka saya tidak boleh menawar? Saya masih belum mengerti. Tidak terpikir oleh saya untuk menganggap ada kenangan di buku itu. Seharusnya saya berpikir begitu. Tapi, pada saat itu sedang tidak. Seperti biasa, jika saya berbicara dengan Alga, pasti menyisakan sedikit tandatanya di pihak saya. Saya lupa apakah pada saat itu dia ada menjelaskan apa maksud dia berkata begitu atau tidak. Benar-benar tidak fokus. Saya anggap dia berkata begitu sebagai pemanis pertemuan dan uang selembar dua puluh ribu pun saya serahkan. Jual beli sah dan selesai. Kemudian, ngobrol beberapa saat lagi sampai akhirnya berpisah dengan keluar dari pintu yang berbeda. Saat keluar dari lobi, saya baru menyadari pada dasarnya saya sangat menyayangi Alga. Tidak ingin saya ucapkan. Kalau perlu dia tidak usah tahu. Di antara kenangan bersamanya, tidak pernah tidak menyisakan tandatanya.


: Saya tidak akan melepas print-out foto kamu di tulang buku pada buku yang saya beli dari kamu.

No comments:

Post a Comment