Romo, apakah ini yang namanya firasat? Sudah sedari pagi saya menerima tanda-tandanya hingga siang menjelang pun saya langsung buru-buru untuk menemuimu. Sampai-sampai sopir angkot pun menyetir dengan buru-burunya karena mungkin terkena pengaruh firasat yang sedang saya bawa-bawa di mana saya duduk tepat di belakang sopir angkot itu. Saya merasa dia membantu mempercepat pertemuan kita, Romo. Walau saya yakin betul kalau dia tidak tahu menahu tentang saya yang sedang membawa firasat. Dan, empat puluh lima menit pun terlewati. Selang beberapa menit, Romo pun menjemput saya di perempatan lampu merah. Memerah wajah saya melihat Romo. Campur-campur antara malu-malu dengan tersengat sinar matari.
"Ada apa ini?"
Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tapi, ada yang begitu kuat yang saya rasakan. Kita tetap bicara kok sependek-sependek selama di perjalanan. Membicarakan di mana bisa membeli kacang panjang segar sesiang ini untuk makanan hamster. Akhirnya, dapat juga. Perjalanan pulang pun berlalu dengan bisu.
Sesampai di rumah, saya ke ruang TV. Romo ke studio untuk melanjutkan design kaos. Kemudian saya pun ke studio. Hanya untuk mengambil hape karena saya mau online. Komputer sedang Romo pakai. Saya ke teras depan. Kali ini sinar matari sedang tidak mengunjungi teras depan. Saya merasa adem.
Saya membuka Opera Mini. Sudah lama tidak berkunjung ke blog Ecocalipse. Membacanya membuat kita terus-terusan membisu.
Pukul 14.00 WIB membaca Ecocalipse selesai. Saya ke studio untuk meletak hape. Tapi, kamu masih tetap membisu, Romo. Saya pun masuk ke kamar yang sangat berantakan. Seprai dan selimut apalagi bantal dan guling sudah berpindah tempat. Majalah Horison, Go Girl dan Sister berantakan. Buku Immanuel Kant dan Anti-Kapitalisme tercampak di sudut rak. Tumpukan kaos dari jemuran belum dilipat. Tumpukan baju dan celana kotor belum dipisahkan. Pintu lemari baju terbuka semua. Benar-benar artistik kamar musisi dan penulis. "Ke dapur saja dulu." Begitu pikir saya.
Ke dapur, segera membereskan segala sesuatu. Piring dan gelas kotor berantakan. Untung saja air hidup. Kalau tidak, mau berapa kali saya harus jengkel setiap hari karena air mati. Ya, saya mencuci piring. Firasat itu datang lagi. Entah mengapa saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya mencuci piring ini. Saya merasa sepertinya hari ini adalah hari terakhir saya hidup di rumah ini. Romo, apakah ini yang namanya firasat?
Setelah selesai mencuci piring, saya pun kembali ke kamar. Membereskan semua yang berantakan. Mengumpulkan uang-uang kertas dan receh yang berserakan di mana-mana. Empat puluh ribu, setelah saya kumpulkan. Saya bawa uang itu ke studio dan memberikannya kepadamu, Romo. Kamu hanya bertanya dengan kaget yang melucu tentang dari mana uang itu semua. Dari semua sudut kamar, jawab saya. Kemudian saya pun kembali ke kamar membawa seprai dan sarung bantal baru yang sekalian saya ambil dari lemari di studio.
Saat kembali membereskan kamar, entah mengapa saya merasa hari ini adalah hari terakhir saya membereskan kamar ini. Saya merasa kalau hari ini adalah hari terakhir saya tidur di kamar ini. Ah, Romo, apakah ini yang namanya firasat?
Akhirnya selesai juga acara membereskan tempat sakral kita. Saya pun kembali ke studio masih dengan penuh peluh. Sedangkan kamu masih dengan membisu. Bicaralah, Romo.
Ternyata saya tertidur di studio sekitar dua jam. Kamu masih di depan monitor. Refleks wajahmu menoleh ke arah saya.
"Udah bangun, Ayank."
Saya pun hanya bisa tersenyum. Kemudian Romo mematikan komputer. Setelah itu berjalan ke arah saya.
"Mau makan apa, Ayank? Malam ini gak perlu masak."
Saya diam saja.
"Yuk, Yank, makan di luar. Ganti baju dulu."
Saya pun segera bangkit menuju kamar untuk berganti baju. Sedangkan kamu sudah menunggu di garasi. Setelah mengunci pintu rumah dan membuka pagar, saya naik ke boncengan motor di belakang. Sebelum berangkat, kamu membisikkan sesuatu kepada saya.
"Ayank, makasi atas semuanya ya."
Motor dinyalakan. Jalanan pun disetubuhi. Sedangkan saya masih tetap terdiam di boncengan belakang motor sejak bangun dari tidur tadi dan sedang asyik mencium bau badanmu yang sudah berhari-hari belum mandi. Diam-diam saya merasakan kalau firasat mencoba keluar dari tubuh saya dan memberi kecupan selamat tinggal kepada saya, Romo.
Ah, Romo, yang tadi itu memang firasat. Tapi, dia tidak jadi mengambil saya darimu karena Tuhan melarangnya. Terima kasih, Tuhan.