Tuesday, August 10, 2010

Pameran Desain Jepang-Indonesia: Jepang Agresif, Indonesia Mengalah




Di tengah bulan Februari ini Jakarta mendapat tamu seni rupa cantik-cantik. Yang pertama datang dari Jerman. Dengan menggotong nama Jugendstil atau Art Nouveau atau Modern Style, sang tamu menyodorkan puluhan reproduksi monumen-monumen desain seni terapan, yang lahir di sekitar akhir abad ke-l9 dan abad ke-20. Sebuah pameran yang menunjukkan, betapa kuasa desain yang ditokohi Henry van de Velde, Olbrich, Victor Horta dan lain-lain itu merambah segala rupa benda di Eropa, Amerika bahkan dunia.

Yang kedua ialah kehadiran tamu dari Jepang. Dan masih berkisar pada seni terapan, Jepang kali ini menampilkan desain-desain poster pilihan, yang dijumput dari koleksi Jagda (Japan Graphic Designers Association). Bila jugendstil dipamerkan di Gedung Pameran P dan K, poster Jepang di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta. Dan apabila jugendstil menampakkan kekuasaan desain pada segala rupa benda di dunia, maka Jepang juga memperlihatkan betapa desain-desain poster, seniman negeri Matahari itu telah meruyak jagad. Sehingga lantas muncul, sebutan Jagda mungkin plesetan dari jagad, alam besar yang diam-diam digenggamnya. Pergelaran 196 poster Jepang itu dibarengi dengan puluhan desain grafis karya desainer Indonesia. Tak hanya dalam bentuk poster. Ada sejumlah leaflet, brosur, halaman majalah, logo dan sebagainva. Karena itu, pameran yang berlangsung tanggal 9 sampai 15 Februari ini harus dibilang penuh warna. Dan secara serta-merta memberikan kesadaran kepada banyak orang, bahwa karya-karya cetak yang selama ini hadir dalam kancah massal, merupakan suatu “seni tinggi” yang tak musti dilihat sepintas. Pameran itu memaksa kita untuk membuat penyimakan.

KICAU BURUNG BATU

Galeri Ancol yang dua susun disemaraki benda-benda cerlang itu. Dimulai dari lantai atas, pesona grafis poster Jagda yang umumnya berukuran besar-besar itu berbicara. Beragam tema muncul. Namun yang dominan nampaknya yang bercuap-cuap soal perdamaian. Dan mereka berhasil benar menutulkan sentuhan.

Poster karya Hiroshi Sato misalnya, Birds Sing Too “Peace”-”Peace”-”Peace”. Sebuah poster in door yang mengusik rasa puitis, dengan perwujudan potret patung-patung burung yang dibuat dari batu dan besi. Tiga burung simpel dan simbolik tersebut nampak murung di sela-sela kicaunya sendiri yang pendek dan terputus-putus. Peace peace peace… Sebuah poster imbauan, yang amat lembut dan karikatural.

Ini berbeda dengan yang ditampilkan Kazumasa Nagai dalam Hiroshima Appeals 1987. Sebuah kilatan cahaya membelah kegelapan. Dan dalam rupa, kilatan menyilaukan itu meledak mengguntur. Tapi coba perhatikan, kilatan cahaya itu ternyata ialah bayangan sayap merpati, yang luruh bulu-bulunya, dan patah tulangnya. Satu gambar yang mengidap provokasi amat estetik!

Ide, yang diimbuh oleh kekuatan sugesti lewat drama dan puisi, divisualisasikan seniman-seniman Jepang dengan tangkas. Hingga dari padanya lalu terlahir desain-desain poster yang tak cuma berpesan verbal, sloganistik dan dangkal. Seperti layaknya seni murni, poster-poster Jepang merayap menuju kedalaman dialog, melalui desain-desain gambar yang penuh metapor, simbol, atau idiom-idiom umum yang diolah kembali.

Pada poster-poster tentang produk, hal itu juga merebak. Desain poster Shiseido karya Mitsuhito Nishimura misalnya, ialah puisi rupa yang diupayakan oleh bangunan komposisi, antara closed up buku dan jajaran indah botol-botol kuteks. Dan sebagainya dan sebagainya.

Jagda memang mengumpulkan sejumlah besar karya desainer bergengsi Jepang. Dikumpulkan dalam sebuah paket terseleksi, karya-karya itu ditawarkan sebagai materi pameran di banyak negara. Dan tentu saja, dengan meyakini kreativitas serta kesungguhan plus kecanggihan teknologi grafis mereka, poster-poster itu merupakan kekaguman khusus. Merangsek karya-karya lain yang seharusnya juga dapat diacungi jempol bersama-sama. Dan hal itu, terjadi dalam pameran yang disponsori Japan Foundation, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB serta IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) itu.

Hiroshi Sato, Poster, “Birds sing too “Peace” “Peace” “Peace”

Kazumasa Nagai, Poster, “Hiroshima Appeals 1987 “

Mitsuhito Nishimura, Poster, “Nail Enamel”

SEPETAK KAPLING

Begitu kuatnya dominasi poster Jepang, tak hanya ruang atas saja yang diwajibkan memajang, tapi juga ruang bagian bawah galeri. Akibat dari semua itu ialah, terhimpitnya karya-karya desainer Indonesia, yang dari aspek ukuran dan jumlah sudah dari awal kalah. Maka, dengan jumlah kapling display yang cuma “sepotong”, kenikmatan menonton rancang grafis Indonesia jadi tinggal “sekadarnya”. Padahal yang tersaji adalah sejurnlah upaya maksimal anggota-anggota IPGI, yang tak harus terlesak di bawah bayang kekuasaan desain grafis Jepang.

Betapa pun Creatures of Paradise, Killed by Prestige, poster imbauan buah tangan Tjahjono Abdi bukanlah poster kelas dua dunia. Poster yang memanifestasikan kisah kepunahan itu (lewat kematian burung-burung), ialah suatu karya visual yang menawarkan renungan panjang. Desain iklan cat karya Vicky Gosal, poster sandiwara karya Harsono, logo Wagiono juga merupakan tawaran pemandangan desain grafis memikat.

Tjahjono Abdi, Poster, “Creatures of Paradise, Killed by Prestige”, 1988 (?)

Vicky Gosal, Print Ad, “Kami Kebal Terhadap Segala Cuaca”

FX Harsono, Poster, “Opera Kecoa”, 1985

Wagiono, Logo

Begitu pula sederet desain grafis majalah wanita yang ditangani oleh perancang-perancang perempuan, yang begitu memperlihatkan antusiasme merespon kemungkinan teknologi grafis di sini. Tapi sayang, karya-karya tersebut, dalam pameran ini tidak terhadir dalam posisi yang tegar meyakinkan. Sehingga dalam selintasan, pameran tersebut kelihatan milik poster Jepang, dengan karya-karya Indonesia muncul sebagai pendamping.

Padahal IPGI, sejak kelahirannya 1980 lalu sudah menapakkan langkah besar. Pameran besarnya di Jakarta 1983, bahkan sempat disinggahkan ke beberapa kota di Indonesia, merupakan proklamasi eksistensi kerja-seni yang relatif baru berkembang di sini itu. IPGI nampak terlampau mengalah.

Ada yang mengatakan bahwa, terlesaknya desain Indonesia dalam pameran ini hanyalah karena agresivitas Jepang yang tak bisa ditawar-tawar. Atau mungkin memang seperti yang dilukiskan dalam poster pameran itu? Begini. Di dalam sebuah kipas bertangkai pinsil, tergambar figur wayang (simbol desainer Indonesia) dengan wajah ketakutan. Di hadapannya, seorang pemuda Jepang yang tersenyum menang. Dan wayang Indonesia itu tangan kanannya dilukiskan memegang kuas. Sementara Jepang, memegang alat grafis, air brush, hanya dengan tangan kirinya. Ya, dilawan dengan tangan kiri saja, desainer kita sudah takut….

Desain poster Tjahjono Abdi itu, berita atau isyarat? Hayoooo.

Sumber: Harian “Kompas”, Minggu, 14 Februari 1988, halaman X.

No comments:

Post a Comment

Blog Archive