Thursday, September 10, 2009

NORA

Hari ini wajahmu muncul lagi ketika aku harus pergi, memandangku dari empat dinding, bagai binatang yang sudah kena perangkap. Aku mencari-cari celah untuk lari lalu melihat sebuah gigitan untuk lepas, maka tak kupedulikan lagi kesopanan, ku katakan saja pikiran-pikiranku yang tertunda, seandainya kau tak keberatan untuk membagi selembar dua lembar bulu kemaluanmu untuk ku simpan di dalam dompetku agar rinduku tak lagi menyiksa sewaktu-waktu. Marahkah engkau kalau kukatakan aku dihantui oleh pikiran liar tentang persetubuhan yang tidak ditahan-tahan oleh kesopanan karena atas nama luapan cintaku yang mengamuk dan mencabik seluruh diriku setiap kali teringat. Selalu kuhadirkan kau telanjang bulat di depanku yang juga tidak memakai selembar benang pun untuk menyembunyikan rasa malu dan kutabrakan seluruh ketelanjangan itu berlaga saling meresapi dirinya karena bagiku nafsu dan cinta menjadi satu nyala yang berkobar-kobar abadi dan hidup kekal, tak pernah kuandaikan kau menampik karena semua ini adalah kejujuran yang tulus jauh dari rasa menghina apalagi merendahkan martabatmu yang kuyakini lemah lembut dan santun bahkan justru merupakan rasa hormatku yang penuh karena aku tak malu ataupun takut mengatakan semua ini yang sering disebut kelemahan bagi orang lain, karena ku tahu betapa hatimu yang lembut itu mengerti segala keindahan suranya di balik segala kekasaran dan kebrutalan yang liar, bahkan seandainya pun kau merasa jijik tidak apa, aku tetap bangga bahwa aku telah menyampaikannya kepadamu hari ini, subuh ketika hujan turun sejak tengah malam menghantam Jakarta, jalanan banjir dan aku tiba-tiba terjaga basah kuyup oleh mimpi yang penuh dengan kehangatan rindu terhadapmu yang selalu menggoda mimpi-mimpi dan ruang-ruang sepiku, sejak pertemuan kita yang pertama itu, sejak kau sengat mataku dengan kerlingmu yang menimbulkan luka yang tak akan pernah sembuh karena aku menikmati rasa sakitnya, sejak ku dengar suaramu di dalam diriku, sejak ku kenal hatimu yang seakan-akan tak pernah kaget untuk mendengar pengakuan yang gila dari seorang pengembara yang hidup liar di dalam imajinasinya karena kau pun menghargai cinta yang hangat ini, kau pun mencintaiku yang mencintaimu tetapi maafkanlah kalau aku keliru anggap semua ini hanya angin setan dari sebuah hutan liar yang ada dalam kekelaman, maafkan kalau aku telah bertiup salah dan menghampirimu dengan nafasku yang megap-megap karena aku tak mampu lagi menghirup rasa rindu ini sendirian, kasihku.. (halaman 119)

No comments:

Post a Comment