Thursday, September 10, 2009

MALA












Api menyala dalam diriku. Kamukah itu? Kulihat cahaya dan kurasakan hangat. Tetapi aku tidak takut terbakar lagi. Aku telah hangus. Kuserahkan diriku sepenuhnya untukmu. Tak ada keinginanku lagi kecuali mengikuti segalanya.
Aku daun tercecer dari ranting pohon ke aliran sungai yang menuju ke laut. Tetapi mungkin aku tak pernah mencapai tujuan. Karena perlahan-lahan di dalam proses ini kutemukan arti. Hanya untuk kamu.

Menemukan adalah sebuah peristiwa yang dahsyat. Karena kurasakan bukan kebetulan, tetapi aku dipercaya untuk melihat ini. Tak penting lagi memiliki, tak harus mempunyai, karena dengan memandang aku sudah dapatkan secara lengkap. Jarak yang senantiasa akan terus terjaga membuat keindahan mencapai puncak. Aku tak harus digerogoti oleh keinginan untuk mempunyai yang berarti membunuh orang yang kucintai.

Bahwa puncak dari segalanya adalah ketika aku melihat puncak sehingga aku tahu ke mana harus menggapai. Kenikmatan lahir dari cucur keringat dan darah ketika pertempuran membuatku merasa berarti. Aku hanya seorang prajurit bukan jenderal dalam pertempuran besar ini. Kuberikan segala-galanya tanpa harapan untuk menjadi seorang pahlawan, bahkan juga bukan untuk menang. Aku hanya memberi.

Dalam memberi kurasakan kosong. Dalam kosong kurasakan penuh dan berisi. Seperti di dalam tradisi, aku berserah dengan pasrah pada aturan jagat raya, tanpa kemauan lagi karena peristiwa ini adalah sebuah kemauan. Aku masuk ke dalam arus zaman yang luar biasa dahsyatnya, mengalir menuju ke akhir dan percaya, segalanya tidak akan berakhir, segalanya tak akan keluar dari seluruh tujuan yang sudah direncanakan begitu sempurna.

Bagaikan Bisma dalam kisah pewayangan, kuletakkan pengorbanan di atas segalanya. Diriku tak penting lagi, karena kamu menjadi segalanya. Aku tersedu melihat kematian masa laluku, tetapi ketika kukosongkan diri dari ambisi, aku lahir kembali menjadi lebih putih, ringan sehingga mengapung di jagat raya. Kurasakan diriku tenteram.

Terima kasih atas segalanya ini, meskipun aku tak mengerti. Terima kasih atas kehadiranmu yang mungkin kau sendiri pun tak mengerti. Mengapa kita dipertemukan. Mengapa dua buah sungai dari hulu yang berseberangan bertaut di pinggang bukit. Mengapa hidup kita saling menyapa meskipun begitu berbeda. Bahkan bertentangan.

Kau bagaikan pemberontak masuk ke dalam hidupku yang terkotak-kotak rapi. Kamu bawakan plot yang baru, struktur yang sama sekali lain dan pancaran rasa yang di luar jangkauan akalku. Kau menghancurkan seluruh rencanaku. Semua konsep hidup yang menjadi arsitek di dalam kehidupanku menjadi salah. Kau taklukkan diriku dan menjadi bukan saja lawan, kawan, guru dan sahabat, tetapi juga arsitekturku yang baru.

Kamu sudah berubah. Tubuhmu menjadi dewasa. Wajahmu juga menunjukkan kematangan. Dulu aku hanya heran, penasaran, dan kemudian sayang. Kamu bagaikan anak kuda, anak sapi yang melonjak-lonjak. Kuelus seperti anak kambing yang lembut dan tak berdosa. Semua kejahatanmu menjadi benar karena kau tak pernah merencanakannya. Kau hanya bergerak seperti orang yang tidak waras. Tetapi dalam keadaan yang tak sadar itu kau menjadi begitu manusiawi.

Sekarang kamu hadir sebagai seorang perempuan. Tubuhmu menjadi api menyala tak hanya menerangi, tetapi membakar. Aku terkejut tak bisa bergerak melihat kamu menjadi tumbuh. Kemudian takjub sekali. Bagaimana mungkin kamu masih tetap bisa berjalan sendirian di dalam rimba yang buas. Aku percaya tanpa bertanya, kamu rimba yang masih perawan.

Tiba-tiba kuhadapi rasa bangga yang berkelebihan. Ternyata kamu menunggu. Tidak benar penantian hanya penantian. Kau memancarkan tenaga yang luar biasa, sehingga naluriku menuntunku untuk sabar, untuk memahami, untuk menanti proses menjadimu. Dan kini kau telah siap.

Kita berjalan berdekatan. Sengolan tubuhmu menyembuhkan rasa sepi dan kosong yang merobek-robekku dalam penjara. Seluruh penderitaan yang kukeluhkan jadi tidak berarti. Semuanya itu memang disiapkan supaya aku bisa menikmati hari yang besar ini.

Lalu kita makan bakmi. Aku lebih percaya lagi, tak ada yang berubah, kecuali kamu menjadi baru. Barangkali aku yang sudah berubah. Siapa tahu sekarang setelah semua ini terjadi, aku baru siap untuk menghayatimu. Kau memang memerlukan sebuah jiwa yang besar, baru akan muncul seluruh dirimu yang sebenarnya.
Kamudian matamu bertanya akan ke mana lagi kita?
Kenapa aku tidak bilang kita pulang saja ke rumahku? Sebuah hotel, motel, atau losmen setiap saat, hanya dengan mengulurkan selembar uang bisa menjadi rumah. Dompetku masih bisa mengubah nasib. Aku tidak kaya, tetapi aku tidak diperbudak oleh uang. Aku masih menguasai uang, justru karena jumlahnya tidak terlalu banyak. Aku bisa hidup tanpa pekerjaan bersama kamu untuk beberapa tahun.

Tetapi kelakuanmu tetap saja nol. Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain. Yang penting bagi kamu adalah perasaan kamu. Persetan dengan orang lain. Bahkan aku pun tidak berarti bagimu. Hanya beberapa saat kau biarkan semuanya indah dan mengagumkan. Selanjutnya sejarah berulang kembali.

Kita masih sempat jalan-jalan. Kamu memperlihatkan kepadaku banyak hal yang sudah berubah. Ibu Kota telah menjadi rimba beton. Tapi di sela-selanya masih terselip kampung dan cita rasa dusun. Aku jadi melamun tentang kehidupan yang sebenarnya. Sebuah rumah tangga dengan anak-anak yang pergi ke sekolah. Upacara keluarga, arisan, dan pergaulan dengan orang-orang satu RW. Merayakan Agustusan, menyambut tahun baru, dan bersilaturahmi pada hari raya.

Memasuki malam, ketika ayan-ayam sudah tidur, anjing membaringkan tubuhnya di undakan, dan burung-burung berhenti bernyanyi, kita naik kendaraan umum ke daerah utara. Kukira kita akan berhenti di by pass, tapi kamu diam saja. Malah ketika turun di terminal Tanjung Priok, kita naik angkot lagi menuju lebih ke dalam. Jalanan gelap dan mencekam, tapi karena kamu biasa-biasa saja aku ikut tenang.

Bau laut bercampur air kali mengoyak pikiranku. Apalagi ketika kita masuki daerah Kramattunggak. Kenapa mesti ke situ? Aku seperti disambar petir ketika kamu jawab, ke rumah suamiku.
Bangsat.
Kamukah itu? Yang telah tertanam dalam sanubariku. Kau rebut wilayahku, kau jadikan aku bisu. Bingung melihat kenyataan yang tak kukenal. Dan tak mengerti mengapa kuterima saja semuanya. Kamu bagaikan magnet menelan dan menentukan perasaanku.

Kenapa aku tak pernah bisa melawan semua itu. Kenapa aku hanya bisu. Seperti kerbau yang bodoh, aku diam saja ketika kamu menghentikan angkot di pertigaan, lalu naik becak. Tukang becak itu kelihatannya sudah kamu kenal baik. Kamu tidak perlu menawarnya lagi, karena itu pasti sudah kamu lakukan setiap hari. Dia pun tak bertanya, aku siapa. Dia tahu semuanya. Orang itu adalah bagian dari riwayatmu dan sekarang kau paksa juga menjadi riwayatku.

Mengapa aku hanya diam. Semuanya sudah jelas. Kamu sama saja dengan kamu ketika kutinggalkan dulu. Kau sikat semuanya. Seakan-akan kamu adalah sebuah pembalasan dari masa lalu. Dengan kemarahan yang tinggi kamu labrak segalanya, untuk mendapatkan kemenangan, agar seluruh kekalahan kamu tertebus.
Besar sekali kekalahan itu, sehingga kamu menjadi buas, liar, dan begitu dingin. Dengan sama sekali tanpa perasaan, kamu hajar aku.

Siapa kamu sebenarnya. Kenapa aku yang terpilih sebagai korban. Apakah ini sebuah penghormatan, karena aku dipercaya untuk mengalami. Atau ini hanya kekonyolan, karena orang lain pasti akan menolak. Ini di luar akal sehat. Seperti kamu, aku telah terseret keluar batas manusia yang normal. Apakah aku juga bagian dari sebuah pemberontakan. Pemberontakan siapa? Untuk apa?

Di dalam becak aku telah tersisih. Seluruh kebahagiaan yang baru saja kukunyah, kumuntahkan lagi. Kerlip lampu-lampu di pinggir jalan seperti sorak penonton bola yang menggiring saat akan terjadinya gol. Aku bukan pelakunya, tapi hanya menjadi bola yang sedang hendak dimasukkan ke dalam gawang. Dan kamu melakukannya dengan begitu dingin.

Nora, apa lagi yang mau kamu lakukan. Sudah kuberikan kamu semuanya. Karena kamulah itu terjadi. Mereka berjanji akan menjagamu. Tak akan menyentuhmu. Melindungi kamu. Mereka bersumpah akan merawatmu. Mereka menjamin, tidak seiris pun yang akan hilang dari tubuh kamu. Dan mereka benar. Kamu masih seperti dulu. Persis seperti dulu. Dan aku tertelan habis.

Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kau pun diam saja. Tangan kita bersentuhan. Dengan mudah aku bisa menggenggam tanganmu. Tidak seperti dulu, kamu tidak terkejut lagi kalau kita bersentuhan. Bahkan aku merasakan ada tenaga dalam tanganmu. Ujung ibu jarimu mengelus. Aku sempat menikmati sebentar. Tapi kemudian aku jadi berpeluh.

Keindahan apa ini.
Perlahan-lahan kubunuh kembali diriku. Harapan yang terlalu besar sudah membuatku tidak waspada. Tidak seperti yang aku duga, cerita belum berakhir. Bahkan aku masih berada di awal sebuah bab yang akan menginjak-injakku. Lalu kulepaskan genggaman dan menggenggam tanganku sendiri. Aku kembali kepada diriku. Hanya inilah yang kumiliki.
Apa yang sedang kulakukan? Apa yang ingin kamu buktikan Nora? Kenapa aku harus berkenalan dengan suami kamu. Untuk apa aku masuk ke dalam rumah kamu. Ngapain aku harus menjadi penonton. Dari dulu aku sudah menjadi penonton. Aku lihat semuanya dengan sabar. Bahkan aku ikut memikirkan, bagaimana kamu melanggar hak-hakku. Aku menjadi jagal kepada kehormatanku sendiri.

“Siapa suami kamu?”
“Lihat saja nanti.”
“Dia tahu aku datang?”
“Tidak.”
“Dia tahu siapa aku?”
“Tidak.”
“Kenapa aku harus ketemu dengan dia?”
“Ya kenalan aja.”
“Kenapa aku harus kenalan dengan dia?”
“Supaya tahu.”
“Untuk apa?”
“Nggak tahu.”
“Kamu ingin pamer?”

Dan kamu tertawa. Mulut kamu dekat sekali dengan mulutku. Aku masih mencium sisa aroma makanan kamu. Tapi aku juga diterpa oleh hangat yang keluar dari perutmu. Seluruh kehangatan itu membuatku lemas.
Harusnya aku merangkulmu supaya bibir yang dekat itu menempel ke bibirku. Sehingga kedua lidah kita bisa bergelut. Aku ingin menelan air ludahmu. Aku ingin menjilat sisa-sisa makanan yang masih menempel di gusi dan gigimu. Aku ingin mengisap mulutmu.
Tapi kamu istri orang, meskipun istriku.

“Orangnya baik, kok.”
“Baik?”
“Ya. Nggak suka maksa.”

Lalu kamu tunjukkan tanganmu. Di jarimu ada cincin. Cincin yang menjijikkan. Aku tak tahan melihatnya. Tiba-tiba saja aku memeluk, karena tak tahan lagi diinjak perasaan yang memuakkan itu. Aku menerkam bibirmu. Tapi kamu dengan gesit sekali mengelak.

“Jangan!”
“Kenapa?”
“Di muka umum.”

Tukang becak entah sengaja atau kebetulan membelokkan roda becaknya masuk ke dalam lubang. Kamu menjerit dan melompat keluar. Aku sendiri terjungkal. Orang-orang di pinggir jalan berteriak. Beberapa orang kemudian mendekat. Tetapi dalam gelap kulihat tukang becak itu nyengir.
Suamimu muncul.
Kita ke rumahmu bersama-sama. Aku tak punya kesempatan lagi untuk mengelak. Tiba-tiba saja makanan yang sudah kukunyah pelan-pelan, tinggal ditelan, ditarik dengan paksa keluar. Aku hanya bisa melongo. Apakah ini hukuman baru yang harus aku jalani.

Suamimu sama sekali tidak memberikanku ruang. Dia tidak menunjukkan kebencian atau kecurigaan. Hanya saja aku tak diberinya kesempatan untuk hadir. Itu sangat pedih. Aku ditiadakan dengan halus.
Tak mengatakan apa-apa lagi, aku hanya mengikuti. Kamu pun diam saja. Di mulut gang itu kita berhenti sebab kamu membeli beberapa bungkus mi, telor, kopi, dan sabun mandi. Suamimu tak menunjukkan tanda-tanda akan membayar, sehingga aku memberanikan diri membuka dompet. Aku benar-benar tidak ingin menyinggung perasaannya. Jangan sampai dia menduga aku seorang cukong.

Ia pura-pura sibuk ngobrol dengan tukang warung. Tapi aku percaya dia memperhatikan bagaimana aku mengeluarkan uang dari dalam dompet. Mungkin dia menyangka aku kaya dan sudah mencoba untuk menggoda kamu.
Rumahmu sebenarnya tak pantas disebut rumah. Itu hanya bilik. Ada satu kamar tempat kamu bersetubuh dengan suami kamu. Selebihnya terbuka. Dapur, kamar mandi, tempat makan, dan tempat duduk jadi satu. Begitu sampai aku sudah bertanya-tanya, bagaimana aku akan tidur. Kamu pasti akan berduaan dengan suamimu dalam kamar. Aku harus menerima nasibku sebagai orang lain.

Ya orang lain. Aku selalu menjadi tamu. Dari dulu aku adalah pihak ketiga, sejak aku menemukan kamu, daerahku tak pernah berubah. Kamu tak pernah melihatku dengan cara yang lain. Padahal aku sudah berusaha untuk dengan segala cara mengajak kamu melihat bahwa aku adalah dirimu juga. Barangkali lebih.
Apa itu harus diucapkan lagi. Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti soal kecil yang begitu mudah. Kalau kamu mengerti kamu memiliki kemauan, orang-orang lain di sekitarmu juga kamu hormati kemauannya, kenapa aku tidak. Apa karena mencintai, aku tak boleh punya kemauan?

Kamukah itu, yang selalu sibuk dengan dirimu. Kau tontonkan kepadaku bahwa kamu memiliki seabrek-abrek persoalan yang harus kamu selesaikan. Seakan-akan aku adalah dewa penyelamat yang selalu datang untuk menolong. Kamu butuhkan karena kamu ingin pegangan. Kamu simpan aku sebagai tempat kamu lari.
Aku adalah rumahmu. Tapi rumah yang merawat dirinya sendiri. Rumah yang tak memerlukan perhatian. Padahal aku sudah menunggu bertahun-tahun kapan kamu mau berpaling. Kapan kamu melihatku dengan cara yang lain. Tidak lagi hanya menjadi anak kecil yang minta dilindungi, tapi tak peduli. Aku ingin kamu menjadi seorang teman.

Seorang sahabat dan bayang-bayangku. Karena seperti kamu, aku juga ingin memiliki tempat memandang. Seseorang yang membuatku menjadi kuat, tabah, tetapi juga sekaligus menerima seluruh kekuranganku. Seorang istri yang adalah juga guru, sahabat, dan musuh.
Mimpi itu masih sebuah mimpi dan barangkali memang hanya mimpi.
Begitu sampai ke rumah, kamu mandi. Bayangkan, setelah beberapa tahun tak ketemu, tiba-tiba hanya beberapa meter di sampingku, kamu mandi. Aku bayangkan bagaimana kamu melepas pakaian itu satu per satu. Lalu telanjang bulat. Tubuhmu yang sudah jadi, padat semampai bagaikan bukit yang menantang para pendaki. Aku ingin menjelajahinya.

Aku cium bau sabun camay yang tadi dipakai oleh suami kamu. Sekarang kamu yang memakainya. Aku cemburu. Rasanya seperti disuruh menonton persetubuhan. Aku tak tahan dan ingin pergi saja. Tapi kakiku tak mau bergerak. Aku menunggu di sana dengan harapan, masih bisa melihat kamu keluar telanjang bulat. Pura-pura mencari handuk, tapi akhirnya memelukku.

Kubunuh mimpi itu, karena kamu keluar dengan pakaian lengkap. Lalu kamu memandangku. Aku tak paham apa arti pandangan itu. Apakah kamu menawari aku mi, atau menawari tubuhmu yang tak pernah kusentuh. Keduanya mungkin ya, tapi bisa juga bukan. Aku tak berani kecewa lebih jauh. Jadi kumainkan diriku menjadi diam yang lebih dari emas.

Aku tahu, mestinya aku merasa lebih berhak. Akulah pemilikmu. Siapa tahu mungkin itu yang kau inginkan. Kamu ingin ditaklukkan, diperkosa, ingin agar aku tampil sebagai pemenang yang menjajahmu, sehingga kamu ketakutan, tak berdaya, tetapi menurut. Hanya saja, bukan itu yang kuinginkan dari dulu.

Aku mau kamu bangkit dan tahu hak serta kewajibanmu. Berkewajiban karena kamu menghargai hak-hakku. Dan berhak karena menerima kewajibanku. Seperti aku, kau pun berkewajiban untuk mengerti seluruh kesepian dan kekosonganku sendiri. Itu juga adalah milikmu. Baru dengan begitu kau boleh mengatakan kamu menerima.

Aku ingin kamu menerimaku, seperti aku menerimamu. Mungkin kulakukan itu di rumahmu di hadapan suami kamu? Mungkin saja, kalau kamu membantu. Apa yang tak bisa dilakukan, kalau kedua tangan kita menjadi sebuah irama yang satu nada. Kita tidak memerlukan seratus tahun untuk itu semua. Cukup lima menit.

Kalau kamu ngomong satu patah saja, mungkin peristiwanya akan lain. Tapi jangankan ngomong, duduk pun tidak. Kamu terus saja bergerak seperti gasing. Ada saja yang kamu kerjakan, sehingga aku bingung.

Aku bengong saja tak tahu apa yang harus dilakukan. Mau ikut makan, kamu tak mempersilakan. Akhirnya aku menunggu di kursi. Bagaimana mungkin aku tertidur dalam suasana yang menegangkan itu. Tapi itu lah yang terjadi. Badanku tak lebih kuat dari keinginanku. Kursi itu seperti pangkuanmu yang memeluk.

Waktu aku bangun kamu sudah tak ada lagi. Tapi kulihat baju kamu di atas meja. Aku tahu kamu sudah masuk ke dalam kamar, telanjang. Lalu aku remas bajumu. Aku hirup peluh kamu. Diriku berkobar. Aku dengar suara berderak dipan dalam kamar. Perasaan cemburu lantas menghanguskan diriku. Aku tak berdaya. Aku bisa gila. Akhirnya aku bunuh semuanya dengan caraku sendiri.

Kudahului semua itu dengan tangan, lalu menumpahkannya ke atas baju kamu.
Nora!
Selamat tinggal Nora.

Noraku sayang. Nora seluruh hidupku. Aku tinggalkan kamu sekarang. Tinggallah di situ di mana kamu telah tertambat menjadi manusia yang normal. Kamu punya suami dan sebentar lagi akan ada anak-anak yang menyebutmu ibu. Aku tak punya arti lagi. Apalagi peran dalam hidup kamu.

Masih kucium bau sperma itu di dalam gulungan baju kamu. Tanpa menoleh lagi, karena tak mungkin ada setan yang menggerakkan kamu bangun dari pelukan suamimu yang telanjang bulat melilit tubuhmu, untuk berdiri di depan kamar memandangku, aku pergi. Aku tak mau menengok lagi. Karena aku hanya akan melihat bangkaiku sendiri. Tak benar kekalahan adalah janji, itu hanya pelipur diri sendiri.

Aku menangis. Air mataku menetes melihat nasibku sendiri. Di tengah malam seperti itu, aku sendirian di antara dua ratus lima puluh juta manusia. Aku terbangun bukan oleh persoalan besar, tapi kecemburuan anak kecil yang kurang diperhatikan. Aku merasa terhina oleh pilihanku sendiri. Tapi aku tidak peduli.

Aku bahkan lupa mengambil apa yang tadi aku bawa. Kakiku sudah bergerak ingin cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Aku tak ingin menjadi penonton lebih lama lagi. Agar kamu juga merasa bebas. Jangan-jangan semua ini kamu lakukan karena merasa itu adalah kewajiban orang yang pernah aku tolong.

Kurang ajar. Jangan menempatkan aku di tempat itu lagi. Aku bukan seorang juru selamat. Aku bukan penebus dosa. Aku juga pendosa seperti kamu. Aku lakukan semuanya dengan pamrih, agar aku juga mendapatkan sama dengan yang sudah kuberikan. Bahkan lebih. Aku hanya seorang pedagang biasa. Seorang manusia biasa seperti kamu.

Kenapa kamu tempatkan aku di tempat yang membuatku tak berdaya. Aku ingin menjadi manusia biasa dengan segala kekurangan, dengan segala nafsu dan keinginan memuaskan diri. Aku juga ingin boleh untuk berambisi, bernafsu, berkurang ajar seperti orang lain. Kenapa aku kamu jadikan orang suci.
Atau aku yang telah menjadikan diriku sendiri nabi?
Aku yang telah mengisolasi diriku menjadi lebih berharga dari kamu. Aku yang dengan tidak sadar yang sudah membuat jarak. Aku yang sebenarnya sudah menceraikan kamu dengan segala keangkuhan intelektualku. Aku yang sudah mendalangi semuanya?

Aku tak tahu. Mungkin saja. Aku menyerah. Aku hanya ingin pergi secepatnya. Dulu aku masih kuat untuk menghadapi semua keedanan ini. Sekarang aku sudah bertambah lemah dan akan semakin lemah lagi.

Andaikan aku orang lain, aku akan mengambil batu, lalu kembali masuk rumah, menimpakan itu di kepala suamimu. Bahkan kepala kamu juga. Penghinaan ini hanya bisa ditebus dengan nyawa. Aku sudah mengalami penjara. Mengalami sekali lagi tidak apa. Tapi malangnya aku tak pernah bangkit menjadi orang lain. Aku tetap dengan segala kebingunganku sendiri.
Dengan hati-hati kututupkan pintu.
Kamukah itu, yang kutinggalkan di tengah malam. Agar kamu tak lagi memikirkan yang lain. Biar kupikul beban ini sendiri, karena ini bukan persoalanmu. Kini kamu bebas. Jangan pernah memikirkan aku lagi. Karena aku telah membunuh suamimu ini. Jangan pernah merasa berdosa lagi. Karena aku sudah tak ada.

Malam, terimalah aku yang ingin pergi jauh dari Nora.
Tapi malang, ada tetangga yang masih terjaga di luar rumah. Ia melihatku dengan curiga, karena seorang tamu yang ngibrit tengah malam seperti itu patut dicurigai. Untunglah aku tidak membawa apa-apa, sehingga dia hanya bisa memandang, tak punya alasan menuduhku maling. Toh aku tak enak hati, lalu mengangguk dan tersenyum kepadanya. Bertanya dengan isyarat apa ia punya rokok.

Kelembutanku tak menghilangkan kecurigaanya. Dia hanya mengangguk. Karena takut ia akan berteriak tiba-tiba, lalu aku duduk di sebelahnya, ikut menikmati malam. Entah apa yang dilihatnya pada malam, sehingga ia terus saja menatap. Sementara ekor matanya mengawasiku. Dia seperti pengawal malam.

Tiba-tiba pintu rumahmu terbuka. Aku lihat kamu keluar dengan berselimut kain sarung. Aku percaya itu kain sarung suami kamu. Dan kamu telanjang di dalamnya. Ketika kamu lihat aku sedang ngobrol di rumah tetangga, kamu masuk kembali. Dan tetangga itu sendiri menjadi tenang, mungkin mulai yakin aku bukan pencuri.

Aku masih berharap, kamu akan keluar lagi dan memanggil. Barangkali membawakan secangkir kopi. Paling tidak menanyakan kenapa aku tidak tidur. Kamu…kamu yang telah mengisi seluruh hidupku. Tetapi kenapa setiap kali kugapai, kamu tak ada.

Malah tetangga yang kusebut penjaga malam itu mulai bertanya-tanya. Bapak ini siapa? Aku tak tahu harus menjawab apa. Dan dia terus saja bertanya. Bapak dari mana?
Itu juga tak bisa aku jawab. Karena aku tak ingin ia tahu. Tapi hal itu membuatnya penasaran. Ia meninggalkan sebentar malam yang dikawalnya, lalu memandangku. Bapak ini saudaranya itu?

Aku merasa tertikam. Pertanyaan itu menjelaskan bahwa kamu sudah memperkenalkan aku kepada mereka sebagai saudaramu. Aku berontak. Aku tidak mau menjadi saudara kamu. Aku tidak ingin menjadi juru selamat kamu. Aku ingin menjadi suami kamu.

Karena aku tetap tidak menjawab, orang itu kembali bertanya. Bapak bisu ya? Waktu itu aku mengangguk. Orang itu mulai mengerti. Ia mengalihkan pandangannya kembali kepada malam. Rupanya itu jauh lebih penting dari menghadapi orang yang bisu. Aku jadi merasa ditinggalkan. Aku ingin ia terus bertanya-tanya, karena ia seperti mewakili diriku.

Karena ia tetap saja memandangi malam, lalu aku mencoleknya sambil berbisik. Saya suaminya. Air mataku menetes. Orang itu ternganga. Itulah saatnya aku pergi.
Selamat tinggal Nora. (halaman 242-255)

No comments:

Post a Comment