Thursday, September 10, 2009

GEGE MENGEJAR CINTA

“Sekarang eluh guah tanya balik ya Ti. Kalo ada orang yang mencintai eluh dengan sepenuh hati, bahwa tiap hari dia persembahkan untuk mencurahkan cintanya pada eluh, apakah elo bakal nerima?” 
“Iya.” 
“Itu cewek.” 
“Emangnya cowok gimana?” 
“Ntar dulu. Pertanyaan kedua. Nyadar nggak kalo lebih banyak cowok yang nyatain ke cewek daripada sebaliknya?” 
“Iya.” 
“Nyadar nggak kalo tuh cowok nggak nyatai ke si cewek, si cewek nggak akan sayang sama tuh cowok?” 
“Iya.” 
“So, basically, cewek mencintai orang yang mencintainya. Tapi kalo cowok, mereka memilih kepada siapa cinta mereka akan mereka berikan.” 
“……….."
Sesuatu yang dalam bagi Tia. 
“Ya udah kalo gitu, elo bisa memilih untuk nyayangin siapa ajah yang elo mau kan Ge? “Duh plis dong Ge. Nyadar dong Ge. Nyadar dong. Nyadar dong, panda ceriaku…”
 “Mungkin elo bisa milih seseorang yang…emang udah pasti ngehargain elo. Yang udah pasti nerima elo kalo elo nembak dia.” Lirik Tia. 
“Justru ituh bedanya cowok sama cewek. Dari tadi nggak nangkep-nangkep aja sih?” 
“Elo tuh ribet sih kalo mikir!!”Gege menghela napas, kesal. 
“Fine. Menurut gue nih, setelah gue ngeliat banyak orang…dasar cinta wanita itu adalah perasaan ingin disayangi. Dasarnya pria, adalah perasaan ingin memiliki.” (page 84-85)

“Gege juga tau sih bahwa wanitah pada dasarnyah memang suka dikejar. Tapi wanitah tidak suka dipaksa berjalan lebih cepat dari yang merekah inginkan dan bahwa wanitah menyukai kondisi di mana mereka memegang kontrol atas setiap pendekatan. Ini, by the way…” Gege mengacungkan tangan mengeklamasi . “….adalah kode etik yang melandasi terbangunnya peradaban manusiah.” (page 118)


Anehnya wanita. Selalu menuntut kejujuran dari pria tapi akan lari jika kejujuran itu datang terlalu cepat atau jika sang wanita belum cukup kuat atau nyaman menerimanya. (page 158)


Gege baru sadar. Tia selalu setia hadir dalam kehidupan Gege. Tia hadir dalam keseharian Gege. Seperti darah mengalir dalam nadi. Seperti segelas air dan sebongkah emas. Sebongkah emas sangat langka dan begitu dicari orang, membuatnya begitu terlihat dan terasa berharga. Orang tidak pernah merasakan pentingnya air. Bukan karena tidak penting tapi karena begitu terbiasanya manusia mengonsumsi air sehingga hanya baru terasa penting ketika air hilang. Air itu penting. Caca adalah emas. Tia adalah air.
Gege sekarang secara sadar telah menjauhi Tia. Bukan karena Tia salah, tapi karena selama ini ingin mengecilkan arti Tia dalam hidupnya. Gege ingin belajar bagaimana menjalani keseharian tanpa harus ada Tia. Tanpa harus memanggil nama Tia. Tanpa harus bercanda dengan Tia. Tanpa harus mendengar Tia tertawa. Menghilangkan kebiasaan mendengar “Gege mau makan apa hari ini?”. Semua itu lah yang selama ini Gege ingin hilangkan. Tia telah tumbuh menjadi sosok yang begitu penting dalam hidup.
Apakah Gege berhasil? Tidak. Di saat dia menyatakan cinta, dia menyebut nama Tia.
“Apa artinya semua ini? Apa yang alam bawah sadar guah coba untuk beritahu alam sadar guah? Apa definisi seseorang yang penting? Seseorang yang ingin kita dapat? Atau seseorang yang tidak pernah meninggalkan kita? Apa mungkin guah sebenarnya sayang pada Tia?” (page 194-195)


Cinta tidak hadir hari ini.
Pergi meninggalkan semua orang.
Mungkin di lain hari.
Mungkin bertemu lagi.
Tapi, tidak hari ini. (page 226)

 

Pernah merasa pernah membaca kutipan-kutipan di atas? Aku mengambil kutipan-kutipan itu semua dari salah satu novel Adhitya Mulya yang berjudul GEGE MENGEJAR CINTA. Awalnya aku selalu memandang sebelah mata dengan setiap novel yang renyah seperti novel-novel Adhitya Mulya, Ninit Yunita, dan sebangsanya. Sangat tidak menyukai, kalau bisa dikatakan seperti itu. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Sebuah novel renyah memang tidak semuanya memiliki makna yang dalam. Tapi, setidaknya ada beberapa yang di dalamnya itu bisa jadi bahan perenungan bagiku sampai berhari-hari mungkin. Seperti yang satu ini contohnya. Sepele mungkin, tapi siapa yang sangka kalau pertanyaan besar atau pertanyaan inti dari novel ini sangat sulit sepertinya untuk dijawab. Dibutuhkan kejujuran yang tak berarti mungkin untuk menjawabnya. Belum lagi jika itu harus dihadapkan dengan harga diri kita masing-masing terhadap lawan jenis jika sudah berbicara tentang cinta.

Siapa yang akan kamu pilih: orang yang kamu cintai atau yang mencintai kamu?

Sudah paham dengan pertanyaan di atas? Aku pikir kita pasti sama-sama sangat jelas dengan pertanyaan di atas ini. Tapi, sulit untuk menjawab sejujurnya. Aku sudah bertanya kepada teman-temanku tentang pilihan mereka. Ada yang menjawab lebih memilih orang yang mencintai mereka; ada juga karena ingin sekali memiliki orang yang dicintainya maka dia lebih memilih orang yang mereka cintai; sebagian lagi ada yang mengatakan lebih memilih yang keduanya saling mencintai—tapi sayang ini tidak ada dalam pilihan, hehehehe…
Kemudian mereka pada berbalik bertanya kepadaku. “Bagaimana dengan kamu sendiri, mana yang kamu pilih: orang yang kamu cintai atau yang mencintai kamu?” Sulit aku menjawabnya. Masing-masing pilihan punya alasan tersendiri untuk dijawab. Kebetulan juga kalau aku juga sudah merasakan kedua pilihan ini. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya memilih orang yang aku cintai, juga merasakan bagailmana memilih orang yang mencintaiku. Beda rasa, resiko dan ceritanya. Pada saat aku memilih orang yang aku cintai, aku dihadapkan oleh dua kenyataan sebelum aku tahu bagaimana dia terhadapku: sama sekali tidak ada perasaan lebih ke aku atau diam-diam juga mencintaiku. Jika dia tidak punya perasaan lebih, aku harus bisa belajar bagaimana caranya dia juga bisa mencintaiku. Disinilah letak konfliknya mungkin. Tapi, jika dia diam-diam juga mencintaiku, ya silakan saja untuk melanjutkan sendiri ceritanya, hehehehe… Kemudian, pada saat aku memilih orang yang mencintaiku dengan kondisi aku tahu seperti apa dia atau belum tahu sama sekali seperti apa dia, aku dihadapkan oleh kenyataan: apakah aku bisa mencintainya juga atau tidak. Bisa saja aku mencoba untuk belajar mencintainya dan akhirnya aku benar-benar bisa mencintainya bahkan sangat mencintainya. Kemungkinan yang lain adalah aku tidak bisa mencintainya sama sekali, hanya bisa menganggapnya sekedar teman walau dia mungkin sudah melakukan atau berkorban banyak hal demi aku. Seperti itu lah kalau cinta memang tidak bisa dipaksakan dan dibohongi. Sakit sekali jika mencintai atau dicintai dengan kepuraan-puraan dengan alasan supaya dia tidak merasa cintanya ditolak. Lebih baik jujur saja walau memang menyakitkan.

Novel ini dikemas oleh adhitya dengan nuansa humor yang cukup, emosi ketika konflik juga cukup bermain. Akhir dari ceritanya juga tidak bisa tertebak. Setelah membaca novel ini, aku jadi lebih berpikir lagi untuk tidak segampang itu memilih seseorang yang akan aku pilih untuk menjadi pendamping hidupku nanti. Karena aku hidup bersamanya bukan satu atau dua bulan; satu, dua atau beberapa tahun; tapi untuk selamanya. Aku berharap yang bisa memisahkan aku dengan dia adalah cuma maut dan iman. Hanya itu. Sekarang, siapa yang aku pilih??? Aku lebih memilih orang yang mencintaiku dan aku juga mencintainya dengan nyaman pastinya, hahahahaha…….

No comments:

Post a Comment