Thursday, March 4, 2010

niatnya cuma ingin BERTEMAN, ujung-ujungnya terpaksa jadi SAUDARA.


Ada sebuah tempat tongkrongan yang bisa dibilang belum setahun berdiri dan cuma satu-satunya yang ada di Indonesia, yaitu cuma di kota Medan, tepatnya berada di depan SPBU USU di Jalan Dr. Mansyur No. 39. Nomor telpon yang bisa dihubungi: 061-8211335, mungkin saja ada niat untuk delivery.

Tempatnya klasik. Awalnya saya pikir itu tempat berkumpulnya orang-orang Cina karena kesan yang pertama kali saya tangkap dari nama dan karakteristik bangunannya ya itu dia, Cina. Saat itu saya belum mencoba berani singgah hanya untuk sekedar celingak-celinguk untuk tahu tempat apakah itu. Berkali-kali saya melewati tempat itu, tapi belum ada kepikiran untuk singgah karena masih “ragu-ragu”.

Setelah beberapa lama akhirnya tempat itu selesai juga. Sudah dipasang di depannya daftar menu yang tersedia. Masih belum percaya diri hanya sekedar berdiri untuk memastikan sebenarnya menu apa saja yang tersedia di tempat yang masih menjadi tanda tanya bagi saya dari segi karakteristiknya.

Stigma “Cina” masih melekat yang membuat saya masih tetap memilih jalan terus ke kedai buku Titik Koma daripada saya mampir dulu ke tempat itu.

“Romo, tempat apa sih itu?”
“Ntah. Rumah atau tempat makan sih?”
“Cina punya ya?”
“Mungkin.”

Beberapa kali kemudian setelah begitu seringnya melewati tempat itu, akhirnya mencoba memberanikan diri untuk mencicipi. Sebelumnya sudah yakin karena terlihat ada tulisan halalnya. Dan, yaa…tidak salah untuk berkenalan.

Pada saat masuk, langsung berasa seperti bisa kembali ke zaman saya belum ada. Benar-benar klasik. Di dinding-dindingnya dipajang foto-foto zaman dulu yang masih hitam putih. Kalau diperhatikan foto-foto itu bercerita tentang Jakarta tempoe doeloe. Di semua sudut ruangan juga dipajang barang-barang antik yang sekarang sudah sangat susah ditemukan. Ada pemutar piringan hitam, telfon yang kalau mau dipakai harus diputar dulu nomornya ke kanan, mesin jahit yang bunyinya cikit…cikit…cikit…cikit…, radio petak kecil seperti punyanya si Mahar dalam film Laskar Pelangi, ada termos air panas yang tutupnya masih pakai sumbatan, teko dan gelas-gelas yang terbuat dari tanah liat, dan masih banyak lagi. Kursi dan mejanya terbuat dari kayu jepara seperti yang sering dilihat di rumah-rumah orang betawi, ya seperti yang ada di rumah Si Doel Anak Sekolahan. Lampuya seperti lampion, tapi dimasukkan ke dalam sarang burung yang dituupi kain merah. Tidak ada kesan “Cina” nya, yang ada ini merupakan tempat tongkrongan dengan karakter Betawi sekali.

Menu andalan di tempat ini adalah menyeruput kopi Tiam, sesuai seperti nama tempatnya Kopi Tiam ONG. Untuk kedatangan perdana, saya memesan kopi tiam. Masih satu cangkir saja dulu. Hanya ingin mencoba-coba dan membandingkan nikmatnya dengan kopi Aceh saya yang ada di rumah. Kalau diminum dengan sendok, tidak berasa seperti minum kopi. Tapi, jika langsung dari bibir cangkirnya, baru berasa seperti apa seharusnya. Sedikit-sedikit saya sudah mulai mencoba untuk mengenal kopi tersebut. Akhirnya ludes satu cangkir. Saya ketagihan. Saya pesan satu cangkir lagi. Untuk masalah harga, memang mahal, ditambah lagi dikenakan pajak 10 %. Pokoknya kedatangan perdana kali itu untuk mengenal luar dalam Kopi Tiam ONG.

Ternyata saya benar-benar ketagihan. Tapi, efek dari minum kopi disitu sangat sadis bagi tubuh saya. Berbeda dengan efek kopi Aceh saya yang ada di rumah. Di Kopi Tiam ONG, saat ada yang memesan kopi, saat itulah kopi itu baru digiling oleh pelayannya. Sementara yang di rumah saya itu kan sudah digiling dari zaman kapan, tinggal diseduh saja. Masih terasa originalnya. Pulang-pulang dari situ, jantung saya tidak enak. Dada ini terasa seperti gemetar tak menentu. Mungkin karena minum sampai dua gelas. Kalau kopi yang di rumah, sampai bergelas-gelas pun masih biasa-biasa saja. Kalau orang bilang minum kopi bisa menghilangkan rasa kantuk, setelah minum kopi tiam itu, saya justru tetap mengantuk.

Lusanya saya datang lagi. Saya mau tes apakah jika saya minum hanya satu gelas saja, jantung saya akan biasa-biasa saja atau sama seperti pertama kali. Setelah di tes, ternyata sama saja. Jantung saya berdegup kencang. Dada saya bergemetar dan bergemuruh. Akhirnya saya bilang ke Romo kalau saya nyerah. Cukup ini yang terakhir saya minum kopi tersebut. Kalau pun masih mau tetap nongkrong di sini sambil baca-baca komik yang dipinjam dari Titik Koma, pesan minuman yang lain saja.

Setelah dua minggu dari hari itu, Romo cerita kepada temannya tentang kopi Tiam Ong. Si teman penasaran ingin mencoba. Sebagai laki-laki, mencicipi kopi adalah sebuah tantangan. Sepakat akhirnya kami mendatangi lagi tempat itu. Untuk bisa merasakan kebersamaan yang berarti, semua pesan kopi. Saya pasrah deh. Dalam hati memang begitu ngiler untuk terus mencicipi. Tapi, di pikiran, ini tidak baik untuk jantung saya. Tidak habis sampai satu gelas, saya sudah menyerah. Saya sudah merasakan efek yang tidak mengenakkan itu. Mereka mengobrol, saya diam saja. Menikmati efek yang luar biasa dari kopi. Saya ingin pulang.

Saat di kasir untuk membayar, mata saya tertuju pada sebuah tulisan yang berada di dinding bagian atas dekat dapur. Saya membacanya. Saya tersenyum. Ah, ada-ada saja. Saya geleng-geleng kepala. Jadi ingat cerita pendeknya Dewi ‘Dee’ Lestari yang berjudul Filosofi Kopi. Keren tempat ini! Begitu komunikatif! Saya akan balik lagi kemari, tapi bukan untuk bersantai dengan kopi Tiam ONG. Masih banyak menu yang lain yang belum saya cicipi.

“Mbak, kartu nama ini saya ambil ya.”
“Ya silakan, Mbak.”

Di balik kartu nama itu, tidak akan pernah saya lupa:


Filosofi Kopi Tiam ONG

• Minum cangkir Pertama sebagai orang asing
• Minum cangkir Kedua bagaikan teman
• Minum cangkir Ketiga menjadi saudara


Ide sejak tahun 1968
Ong Sun Ching

No comments:

Post a Comment