“Every Joke is a tiny revolution.”
Ungkapan George Orwell ini mengilhami banyak hal, juga banyak orang, tapi bisa menyesatkan mereka yang berkuasa. Kata “revolusi” dalam ungkapan ini membuat mereka alergi terhadap humor. Padahal, revolusi yang dimaksud sang penulis Animal Farm itu tidak melulu berarti tumbangnya sebuah rezim. Hanya mereka yang paranoid yang mengartikannya sebagai ancaman.
Tapi begitulah nasib suatu rezim di dunia ini. Kehadirannya selalu memberi tempat bagi paranoia. Apalagi bila mereka terbiasa mendapat dukungan politik tanpa syarat dan membabi buta dari para panakawan di sekeliling mereka. Maka, sebuah senyum dari seberang pun dianggap sebagai sebuah ancaman.
Tak aneh bila premis Orwell, yang mengatakan bahwa dalam setiap humor terselip sebuah revolusi kecil, dimaknai dengan psikologi paranoid. Padahal, revolusi yang dimaksud adalah sebuah kesegaran dan mungkin juga kesadaran baru. Sebab humor pada dasarnya merupakan katarsis untuk melepaskan rasa frustrasi atau kepengapan hidup.
Peter L. Berger menyebut humor membebaskan jiwa manusia dari keterkungkungan yang membelenggu. Dia jadi katup yang mengalirkan kemampetan dan kepengapan jiwa. Humor tidak mengalirkan panji-panji yang mengibarkan ancaman bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan.
Sejarah dunia memang tak pernah lepas dari paranoia semacam itu. Dari Nero, Hitler, Stalin, hingga Mao. Sejarah republik kita ini pun pernah mengenyam kekelaman itu. Toh, pada sisi lain, humor politik terus tumbuh seiring dengan sejarah paranoia itu sendiri. Proses adaptif kedua unsur kohesivitas ini menyebabkan setiap budaya punya medium kulturalnya masing-masing untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah melalui humor.
Di era Romawi, panggung parodi telah dikenal sebagai sarana hiburan rakyat untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Banyak satiris yang menjadi idola, seperti Lucilius dan Persius. Dalam budaya kita pun, ludruk, dagelan Mataram, dan goro-goro dalam wayang kulit telah dikenal sebagai medium untuk menyampaikan kritik dengan cara yang menghibur.
Tak aneh bila kemudian masyarakat menggemari kesenian ini karena membebaskan mereka dari kepengapan dan frustrasi. Dari kanal pembebasan itu adalah kritik yang renyah serta menghibur mengalir. Beberapa pakar Barat, seperti James L. Peacock, pun mengagumi budaya kritik yang telah kita miliki ini. Melalui Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarium Drama, dia menyimpulkan bahwa bangsa kita sejatinya sejak dulu telah mengenal budaya kritik dan tak merasa alergi. Hanya masyarakat yang tak ingin berkembang yang ogah menerima budaya kritik.
Mengacu pada akar budaya itu, kita heran bila sejarah negara ini sering diwarnai oleh pengingkaran. Kritik yang menggelitik justru dituding sebagai penghinaan. Padahal, kedua semantic tersebut memiliki makna dan motivasi berbeda. Mungkin untuk meluruskannya, Suhikayatno, tokoh dalam monolog Matinya Toekang Kritik karya Agus Noor, yang selalu dibawakan oleh Butet Kertaredjasa, berteriak lantang: “Saya mengkritik bukan karena sirik. Tapi saya ingin semua menjadi lebih baik.”
Ironisnya, ketika tatanan kehidupan telah menjadi sempurna, si toekang kritik justru meninggal di atas kursi goyang karena tidak ada lagi yang bisa dikritik. Monolog ini jelas menyuguhkan postulat bahwa kritik bisa mati dengan sendirinya bila penguasa telah berperan secara ideal. Tentu ini hanya angan-angan. Sebab kesempurnaan itu sendiri sebuah utopia.
Era reformasi saat ini telah memberikan jawaban bagi kegelisahan ini. Setidaknya, pemerintah tak lagi bisa menganggap dirinya sebagai sebuah menara sacral yang tak tersentuh. Kita pun dapat kembali ke jati diri bangsa yang akrab dengan budaya kritik dan tak alergi terhadapnya. Bahkan pemerintah turut menggemari humor politik. Lihat saja berbagai humor yang dilakukan para menteri kabinet. Dari ancaman saling gugat hingga ada uang swasta yang numpang lewat di kas pemerintah.
Jadi, bukan performa pemerintah yang baik saja yang dapat mematikan tukang kritik, melainkan juga kondisi masyarakat yang dewasa dan baik. Sebab, jika kondisi dan kedewasaan masih amburadul, justru pemerintahlah yang gemar mengumbar humor politik dengan mengancam somasi kelompok parody yang gemar membuat orang sakit perut, si tukang kritik pun menjadi mati. Setidaknya berganti format.
Bentuk humor politik bisa beragam. Persyaratan presiden harus S-1 yang termuat dalam draf RUU Pilpres juga dapat dimaknai sebagai humor politik atau kritik dari pemerintah terhadap masyarakat yang kurang memberi tempat bagi pendidikan. Bangsa yang besar memang bangsa yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Kita tentu gembira bahwa pemerintah pun bisa menebar humor politik. Sebab, menurut Plato, para dewa pun menyukai humor.
Oleh: Budi Gunawan
Pemerhati Kebijakan Publik
Gatra, 4 April 2007
No comments:
Post a Comment