Romo..
Seperti biasanya, akan selalu ada rasa penasaran yang tertinggal di pikiran Yuni tentang semua sikap Romo yang terindra oleh Yuni. Mungkin bisa Yuni mulai dengan mengawalinya merasakan dari hati terlebih dahulu. Merasakan bagaimana rasanya berada di posisi Romo saat mengambil keputusan untuk lebih memilih bersikap seperti 'ini' daripada seperti 'itu'. Yang membuat Yuni seringkali tidak paham adalah bagaimana bisa Romo memilih sikap yang hampir selalu lebih baik dari pilihan Yuni. Sangat belum bisa memahami! Bahkan Romo pernah memilih sikap untuk lebih baik tidak menjelaskan 'mengapa' hanya untuk alasan 'karena' kepada Yuni. Pertimbangannya adalah PENTING dan TIDAK PENTING.
Selama ini Yuni tidak paham tentang kuatnya peranan sebuah prioritas di dalam hidup ini. Menghadapi mana yang harus diprioritaskan berarti juga harus berhadapan dengan memilih pilihan. Bisa pilih satu saja, atau dua, atau tiga, atau lebih dari itu. Walau sebenarnya ujung-ujungnya juga harus memilih satu pilihan saja. Nah, Yuni entah bagaimana ceritanya, karena tidak paham memosisikan si prioritas ini, bisa dengan mudahnya memasukkan rasa egois dan emosi ketika memilih. Sehingga siapa pun bisa menebak akhir ceritanya bagaimana: sia-sia! Yang membuat Yuni heran, bagaimana bisa Romo menyingkirkan rasa egois dan emosi dalam memilih pilihan demi sebuah prioritas? Bagaimana bisa, Romo? Yuni bahkan tidak bisa memahami sikap Romo yang mampu bersabar dalam bosannya waktu untuk menjalani rutin yang ternyata penting?
"Ya jalani saja, nikmati saja."
Itu yang sering Romo katakan.
"Tidak perlu berpikir dengan sulit, susah, ribet, dan sejenisnya. Hadapi dengan santai dan terima saja jika hasilnya gagal."
Ini juga selalu Romo katakan kepada Yuni.
"Apa pun yang terjadi karena memang harus terjadi."
Entah sudah berapa kali kalimat yang ini Romo katakan bahkan saat di dalam perjalanan pun Romo selalu mengingatkan.
Mungkin kesimpulan tentang sikap Romo yang selama ini Yuni perhatikan adalah bahwa Romo tidak pernah menganggap masalah itu adalah masalah. Bagi Romo yang namanya 'masalah' hanya sebatas nama. Ya, nama sesuatu itu adalah 'masalah'. Tapi, substansinya tidak Romo anggap sebagai 'masalah'. Romo tidak mau memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul. Tapi, Romo hanya memikirkan 'bagaimana' masalah jangan muncul kembali. Sangat berbeda dengan Yuni yang selalu memikirkan 'bagaimana' masalah bisa muncul sampai-sampai sikap Yuni yang seperti itu cenderung menimbulkan masalah baru. Ujung-ujungnya Yuni akan jatuh ke dalam pembahasan yang TIDAK PENTING. Mengapa tidak penting? Karena Yuni lebih memilih mengutuki diri dengan rasa bersalah yang begitu tinggi terhadap sesuatu yang sudah terjadi, sudah lewat, sudah berlalu. Bukan memikirkan solusi untuk perbaikan menuju perubahan untuk menyelesaikan prioritas.
"Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan, Yank, daripada hanya sekedar merasakan sakit hati karena tidak dipedulikan."
Bahkan Yuni masih belum bisa membedakan mana yang PENTING, mana yang TIDAK PENTING. Bagi Yuni, selama itu bisa membuat Yuni senang, maka Yuni anggap itu PENTING. Padahal Romo memandang terbalik. Logika Romo selalu saja berada di atas logika Yuni. Bodoh memang Yuni selalu pakai perasaan di atas logika saat menghadapi masalah.
Romo, Yuni memang seperti melupakan dunia Yuni. Padahal Romo sendiri yang mengatakan kalau dunia Yuni itu menarik. Bagaimana bisa Yuni lupa tentang itu, Romo?