Ada kalanya menghentak-hentakkan kaki ke lantai sebagai tanda berontak.
Atau, memang begitu harusnya?
Tanpa disadar, air hujan pun terbit dari selangkangan moncong tak bertanduk.
Kupikir, mungkin ini pertanda jika aku pergi maka bunuh dirilah dia.
Duduklah aku di sampingnya.
Aku lihat kali ini air mata setelah air hujan.
Dia tarik sarungku yang sedikit bau kemenyan.
Tapi, bibirnya tidak menajam.
Heran, justru merapat dalam kuluman.
Aku bisikan cerita nenek moyang seorang kapitan.
Dia menggeleng-geleng dengan hampir empat ketukan.
Aku bingung walau masih ada senyum satu sulaman.
Sedangkan dia, aku tebak sedang menyusun raungan.
Oh, air hujan!
Mengapa kau harus terbit dari selangkangan?
Bukankah kau selalu ada di dalam, tenggelam, tergenang, melayang, tanpa pegangan?
Bukan aku meminta jawaban.
Tapi, hanya pengertian tanda bujuk tanpa perjanjian.
Nah, sekarang aku minta punya kamu tanda tangan.
Di sini! Di sini kamu bubuh, air hujan.
Jangan menangis lagi...