
Pertanggungjawaban Dewan Juri
Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jakarta 2010
Seperti akan sepi peminat hingga sebulan menjelang batas akhir  penerimaan naskah, sayembara penulisan novel DKJ 2010 ini akhirnya  menerima 277 naskah dari para peserta yang berdomisili di berbagai kota  di Indonesia, bahkan di luar negeri. Sebagian besar naskah masuk pada  hari terakhir. Itu lumrah. Setiap pekerjaan, apa pun jenisnya termasuk  menulis novel, memang selalu akan menghabiskan seluruh waktu yang  disediakan.
Karena itu lomba penulisan novel menjadi penting artinya untuk mendorong orang menyelesaikan karyanya—sebab ada deadline di sana. Dan deadline  selalu merupakan anasir penting yang bisa memaksa penulis merampungkan  pekerjaannya. Kita tahu, tidak banyak orang yang bisa menentukan deadline  bagi dirinya sendiri kapan harus merampungkan penulisan novel, kecuali  ia sangat disiplin. Maka, inilah salah satu pencapaian terpenting lomba  penulisan novel: ia mendorong banyak orang merampungkan penulisan novel  mereka, mendorong lahirnya banyak karya.
Menghadapi tumpukan 254 naskah yang harus dinilai, kami dewan juri  sempat berharap akan ada satu atau dua, syukur-syukur tiga, di antaranya  yang menawarkan kejutan. Namun kejutan itu tak ada. Sebagian besar  karya yang masuk adalah novel-novel yang akan tumbang pada  halaman-halaman awal karena gagal mengikat pembaca untuk terus  melanjutkan pembacaan. Beberapa cerita mampu menyajikan pembukaan yang  menarik, tetapi kemudian berkembang menjadi lanturan yang bertele-tele  dan kehilangan arah.
Mekanisme Penjurian dan Dasar Pertimbangan
Dalam penjurian yang berlangsung tiga bulan, dewan juri mengadakan tiga  kali rapat. Rapat pertama untuk menyepakati poin-poin penilaian dan  mekanisme penentuan pemenang. Rapat kedua masing-masing juri datang  dengan menyodorkan 10 unggulan. Rapat ketiga untuk memutuskan pemenang.
Mengenai kriteria penjurian, Komite Sastra DKJ selaku panitia  menyerahkan sepenuhnya kepada tiga orang juri yang mereka pilih. Dalam  pembicaraan bertiga di antara dewan juri, akhirnya diperoleh kesepakatan  bahwa masing-masing dari kami—Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi  Djoko Damono—memiliki pertimbangan sepenuhnya untuk memilh unggulan dan  memberikan alasan untuk mempertanggungjawabkan pilihan tersebut.
Pada rapat kedua di mana setiap juri memilih 10 karya unggulan,  urusannya masih mudah dan lancar. Jika pilihan masing-masing juri  berbeda, maka ke-30 novel hasil seleksi awal ini akan dipertarungkan  dalam penilaian akhir untuk menentukan satu pemenang utama dan empat  unggulan. Secara kebetulan, seleksi tahap pertama ini menghasilkan 20  judul novel dengan rincian sebagai berikut: 2 novel ada dalam daftar  unggulan semua juri, 6 novel dipilih oleh 2 juri, dan sisanya 12 novel  dipilih oleh satu juri.
Perdebatan yang cukup alot terjadi pada rapat terakhir ketika tiap-tiap  juri memberi argumen untuk mempertahankan pilihan masing-masing. Dalam  rapat yang berlangsung selama tiga setengah jam itu dewan juri akhirnya  bersepakat untuk memilih hanya empat unggulan dan tanpa pemenang utama.  Keempat unggulan tersebut adalah naskah nomor 6 (Persiden), nomor 26  (Lampuki), nomor 39 (Jatisaba), dan nomor 130 (Memoar Alang-Alang). Ada  hal-hal menarik pada masing-masing novel tersebut, namun ada  kekurangan-kekurangan yang tidak memungkinkan kami menetapkan salah  satunya menjadi pemenang utama. Berikut adalah catatan singkat tentang  keempat novel unggulan dalam sayembara kali ini:
'Persiden' karya Wisran Hadi
Novel berlatar budaya Minangkabau yang mencoba mengangkat lokalitas  dan persoalan-persoalan adat dengan cara pandang dan bentuk baru yang  kritis. Tradisi dipertanyakan dan dibenturkan dengan kenyataan dan  modernitas, bukan dimamah dan ditelan mentah-mentah. Alur bercabang di  bagian akhir membuat novel ini lebih menarik dan tak konvensional.
Mengadopsi gaya kelisanan masyarakat Minang, yang suka meledek apa  saja, dalam beberapa hal novel ini terasa menyegarkan. Namun seringkali  terasa bahwa teknik kelisanan yang digunakan oleh penulis membawa risiko  tersendiri: cerita menjadi melantur dan bertele-tele.
'Lampuki' karya Arafat Nur
Berlatar Aceh pada masa DOM, novel ini adalah satir cerdas tentang  gebalau konflik TNI-GAM yang pada ujungnya menyengsarakan rakyat kecil.  Dengan bahan cerita yang sangat emosional bagi rakyat Aceh, Lampuki  mampu menjaga penokohan tidak menjadi hitam-putih, kendati karakterisasi  tokoh utama/narator terasa kurang pendalaman. Upaya menyiasati bentuk  tampak pada alur dan penokohan yang tak linear.
Ditulis dengan rasa humor yang cukup baik, dengan kalimat-kalimat yang  beres, kadang terasa bahwa penulisnya agak kurang gigih mempertahankan  kekuatan diksi. Pembaca bisa menemukan di sana-sini istilah yang tidak  memiliki kekuatan literer, misalnya “pemerintah terkait”, “hidup makmur  serba berkecukupan, dan sebagainya. Hal lain yang menjadi ganjalan  utama, cerita berjalan sangat lambat.
'Jatisaba' karya Ramayda Akmal
Beragam karakter dimunculkan dalam cerita ini dan tertangani cukup  baik. Hanya tokoh Sitas, perempuan kasar dan tukang bergunjing,  kadang-kadang bersuara terlalu cerdas untuk karakter yang mendekati  dungu. Menggarap masalah trafficking, yang dilakukan dengan kedok  pengiriman TKI, novel ini dituturkan melalui sudut pandang si pelaku  kejahatan, seorang perempuan yang sebelumnya juga menjadi korban  kejahatan tersebut. Perempuan itu kembali ke desanya yang melarat dan  kacau oleh situasi politik pilkades, mengkhianati kenangannya sendiri,  mengkhianati kawan-kawan lama, dengan siapa ia sesungguhnya selalu ingin  bersama-sama.
Ada kompleksitas masalah dalam masyarakat yang sederhana dan semua itu  dituturkan secara enteng, seperti nyaris tanpa pemihakan atau emosi yang  berlebihan. Bab I, yang merupakan kopian saja dari bagian tengah bab  XX, harus ditulis ulang, atau dihilangkan saja. Masalah lain adalah  kecenderungan yang tak tertahankan untuk menyelipkan bahasa lokal  (terlalu sering dan terlalu banyak) dan itu sungguh mengganggu  pembacaan.
'Memoar Alang-alang' karya Hendri Teja
Novel berlatar historis ini diilhami oleh kisah hidup tokoh faktual Tan  Malaka (1896-1949). Penulis tampak berupaya melakukan riset untuk  menghidupkan latar awal abad kedua puluh di Sumatra, Jawa, dan Belanda,  serta atmosfer pergerakan nasional di tengah kungkungan kolonialisme.  Sejumlah kejadian penting yang membangun watak, melandasi pilihan  politik dan sikap hidup karakter utama berhasil dihidupkan dalam  adegan-adegan yang menarik. Bangun cerita yang disusun lumayan memikat.  Kisah cinta segi tiga yang disusupkan di antara jalinan utama cerita  menghindarkan novel ini dari keterjerumusan menjadi sebuah risalah  propaganda yang kering.
Kelemahan novel ini terletak pada penyusunan kalimat-kalimat yang  sering rancu. Upaya terus-menerus untuk menggambarkan latar tempat dalam  deskripsi yang statis membuat cerita berjalan lambat, sesuatu yang agak  bertentangan dengan gejolak zaman dan pergolakan batin tokoh utama yang  kelak menjadi tokoh pergerakan.
Catatan Umum atas Naskah-Naskah Peserta Sayembara
Hasil akhir di atas menyampaikan pesan yang cukup jelas, yakni bahwa  harapan kami untuk mendapatkan satu saja karya yang istimewa tidak  terpenuhi. Setidaknya, dalam pandangan kami dewan juri, tidak ada satu  naskah yang benar-benar kuat untuk ditetapkan sebagai pemenang utama.  Alih-alih menemukan satu atau dua yang istimewa, kami justru mendapati  bahwa sebagian besar naskah yang disertakan dalam lomba kali ini  mengecewakan dalam beberapa hal. Pertama, dalam hal keperajinan. Ini  persoalan yang menjadi catatan utama dewan juri sayembara menulis novel  DKJ dua tahun lalu. Dan tampaknya catatan itu masih harus diperpanjang  sampai hari ini. Beberapa masalah pada keempat cerita di atas, yang  terpilih sebagai unggulan, setidaknya bisa agak mewakili gambaran  tentang lemahnya keperajiinan itu. Tentu saja ini adalah masalah  mendasar yang harus segera dibereskan oleh para penulis itu sendiri.  Tanpa kecakapan yang memadai, anda tahu, gagasan sebagus apa pun tidak  akan menjadi karya yang menarik dibaca orang.
Kedua, sejumlah besar naskah menunjukkan kepada kita bahwa para  penulisnya kurang membaca, atau kurang meluaskan minat terhadap bacaan.  Ini berakibat pada miskinnya strategi literer yang mereka gunakan untuk  membangun cerita. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka menulis  dengan rujukan yang amat terbatas dalam hal teknik penceritaan, gaya  bertutur, dan dalam mengupayakan berbagai kemungkinan bentuk.  Sebagaimana dalam urusan-urusan lain, dalam penulisan pun kita perlu  belajar banyak dari orang-orang yang lebih dulu dari kita. Mereka bisa  dari mana saja dan kecakapan yang kita butuhkan bisa kita pelajari dari  banyak sumber, dari banyak tempat.
Ketiga, ada kecenderungan luas untuk menjadikan sebuah karya sebagai  kendaraan pengangkut dakwah, baik dakwah agama maupun dakwah sekuler,  sehingga terasa bahwa para penulis hanya menunggangi cerita dan setiap  karakter di dalamnya untuk kepentingan mereka sendiri, yakni  menyampaikan petuah dan ajaran. Novel mereka dimaksudkan sebagai  tanggapan langsung, yang nyaris tanpa pengendapan, dan sekaligus koreksi  atas situasi hari ini. Ia memuat ide-ide besar, pernyataan-pernyataan  besar, tetapi lupa membangun ceritanya menjadi dunia rekaan yang kokoh.  Tampaknya, sebagian pengarang berhasrat menjadi reformer atau penggerak  masyarakat.
Tentu saja niat apa pun dibolehkan dalam penulisan. Setiap penulis  berhak menulis apa saja sekehendak hatinya. Namun setiap cerita yang  baik selalu memperlihatkan kepada kita bahwa penulisnya memiliki  kematangan teknis dan kepiawaian mengolah bahan dengan seluruh kecakapan  dan pengetahuan yang ia miliki. Setiap cerita yang baik dengan demikian  selalu menjadi dunia rekaan yang layak dipercaya: ia valid dan  realistis menurut logika cerita itu sendiri, bahkan sekalipun yang  diceritakan adalah dunia yang absurd atau kejadian-kejadian yang serba  fantantis.
Itu tantangan umum bagi setiap penulis.
Tantangan lebih khusus yang menurut hemat kami perlu dijawab oleh  penulis adalah bagaimana sebuah novel bisa memikat pembaca kita hari  ini. Kita tahu, sekarang ini sebuah novel tidak hanya bertarung dengan  novel-novel lain yang ditulis oleh penulis-penulis lain. Pertarungan  lebih keras adalah melawan dongeng-dongeng lain yang lebih sanggup  melayani zaman yang serba sibuk dan orang-orang yang tak memiliki banyak  waktu. Anda bisa mendapatkan cerita menarik hanya dalam dua jam melalui  sebuah film. Anda bisa mendapatkan cerita secara “gratis” melalui  sinetron-sinetron.
Jadi apa yang membuat orang bertahan membaca novel? Apa yang bisa  membuat orang mau bertekun dengan satu novel selama berjam-jam atau  berhari-hari untuk menyelesaikan cerita dari halaman pertama hingga  halaman akhir? Bagaimana sebuah novel bisa menarik perhatian pembaca  yang sempit waktunya dan begitu beragam perhatiannya? Bagaimana bentuk  penceritaan yang tepat utuk khalayak yang dirasuki oleh ide-ide tentang  segala yang instan sementara novel sama sekali bukan sesuatu yang bisa  diselesaikan secara instan?
Tampaknya hal-hal semacam itu belum menjadi perhatian para penulis  peserta sayembara. Di luar naskah-naskah remaja yang terasa memindahkan  kecerewetan sinetron ke dalam bentuk tertulis, banyak sekali novel yang  pengisahannya begitu lambat dan berlarut-larut, seolah-olah tidak peduli  apakah pembacanya punya waktu atau tidak. Seorang pembaca dengan minat  yang baik terhadap bacaan mungkin tidak akan berkeberatan membaca naskah  setebal 500 halaman—jika 500 halaman itu adalah ketebalan yang paling  pas bagi novel tersebut. Artinya, novel itu tak mungkin ia  diringkas-ringkas lagi.
Namun, jika novel 500 halaman bisa diringkus menjadi 150 halaman,  misalnya, itu berarti ada kemubaziran sepanjang 350 halaman. Hal-hal  mubazir inilah yang pada umumnya membuat cerita menjadi sangat lambat  dan berlarut-larut, selain lemahnya kecakapan si penulis untuk  menggerakkan cerita. Secara simpel kita bisa menganalogikan sebuah novel  sebagai “riwayat hidup” yang sudah diringkas sedemikian rupa, yang  sudah dibuang bagian-bagian buruknya, sehingga yang tersisa hanyalah  hal-hal terbaik dari riwayat “tokoh(-tokoh) utama cerita itu”.  Karena  itu mestinya ia tidak mengizinkan di dalamnya bagian-bagian yang  kedodoran. Salah satu yang paling bisa kita persalahkan dalam urusan  kelambanan penuturan dan kemubaziran adalah kecakapan yang tidak memadai  untuk menggerakkan cerita.
Dari segi tema cerita, naskah-naskah yang masuk dalam sayembara kali  ini sebenarnya menawarkan keragaman yang menggambarkan luasnya lingkup  perhatian para penulis terhadap persoalan di masyarakat kita hari ini.  Kita bisa mendapati tema-tema politik, kebobrokan moral, eksploitasi di  tiap jenjang terhadap TKI, trafficking, kegagalan reformasi, perbenturan  tradisi dan modernitas, gugatan terhadap institusi keagamaan, dan  sebagainya. Selain itu, cukup banyak juga penulis yang mengolah materi  lokal, baik sejarah maupun dongeng, dan membaurkannya dengan situasi  hari ini.
Dari sisi itu, kita bisa bersyukur bahwa ada upaya melakukan eksplorasi  lebih luas untuk menggarap tema dan mengolah sumber-sumber unik dengan  penguasaan yang baik dan rinci terhadap bahan yang dijadikan sumber.
Masalahnya, materi yang menarik tidak dengan sendirinya akan  menghasilkan cerita yang baik. Ia membutuhkan prasyarat lain yang sangat  mendasar, yakni keperajinan, dan kekayaan strategi literer. Ini adalah  batu sandungan pertama yang akan menggelincirkan setiap upaya untuk  menghasilkan karya yang baik. Lemahnya keperajinan telah membuat  sejumlah novel yang dimaksudkan sebagai respons atas situasi aktual,  misalnya kondisi politik pasca-reformasi atau kebobrokan moral di  masyarakat, gagal mencapai bentuk terbaiknya. Dalam kedua jenis novel  itu, sebagian menjadi alat penyampai petuah dan sebagian lagi menjadi  semacam laporan jurnalistik yang tidak meyakinkan.
Bagaimanapun, dalam pekerjaan tulis-menulis, ada unsur pertukangan yang  mestinya harus betul-betul dikuasai oleh penulis. Ini menyangkut  penguasaan teknis atas pelbagai perangkat kebahasaan. Juga ketepatan  penggunaannya.
Kita ambil satu contoh, dalam kecakapan deskripsi misalnya. Pada suatu  masa di abad kesembilan belas, kehebatan seorang pengarang diukur dari  kemampuannya melukiskan secara amat rinci segala hal. Sekarang, apa yang  pada saat itu dianggap sebagai kepiawaian, mungkin akan menjadi hal  yang menjemukan jika kita terapkan dalam penulisan hari ini. Kemampuan  untuk melukiskan secara rinci tentu saja masih diperlukan, tetapi  penulis hari ini harus melakukannya dengan strategi yang berbeda agar  cerita tidak terasa mandek.
Penutup
Begitulah pandangan umum dewan juri dan pertimbangan kami dalam memilih  empat naskah unggulan. Terlepas dari catatan yang berisi sejumlah  “keberatan” terhadap naskah-naskah yang menjadi peserta sayembara  menulis novel kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada setiap  peserta yang telah mengirimkan naskahnya. Ucapan terima kasih juga sudah  sepatutnya kita berikan kepada Dewan Kesenian Jakarta yang terus  mempertahankan tradisi penyelenggaraan sayembara menulis novel ini.  Tidak dalam setiap lomba kita akan mendapatkan karya pemenang yang  istimewa. Namun lomba semacam ini terbukti telah merangsang lahirnya  banyak karya.
Jika nasib kita mujur, dari sebuah lomba kita bisa mendapatkan karya  pemenang yang benar-benar kuat, bahkan dari penulis yang sebelumnya tak  pernah kita kenal. Dalam kasus seperti ini, kita bisa mengatakan bahwa  lomba seringkali menjadi jalan pintas bagi penulis untuk dibicarakan  orang. Pertarungan di media-media besar, kita tahu, membutuhkan waktu  panjang dan ketekunan dan daya tahan sampai akhirnya seseorang  membuktikan diri layak dapat tempat. Dan ada satu hal yang sering  membuat frustrasi para pemula, yakni munculnya anggapan bahwa media  sering lebih mengutamakan nama-nama yang sudah mapan. Gugatan semacam  ini masih sering terdengar dalam pelbagai forum, terutama oleh para  penulis yang merasa dipinggirkan.
Tanpa mempersoalkan benar tidaknya gugatan itu, kami berpendapat bahwa  sayembara penulisan sebagaimana yang rutin diselenggarakan oleh DKJ ini  akan merupakan kesempatan baik bagi para penulis untuk bertarung dalam  situasi yang lebih fair. Para juri hanya memeriksa naskah tanpa nama,  tanpa identitas penulisnya, sebab semuanya diganti dengan angka. Maka,  dalam riwayat sayembara DKJ, kita sering mendapati bahwa para pemenang  dan unggulan adalah nama-nama yang sama sekali baru. Beberapa bertahan  dan semakin matang, beberapa hilang. Dan kita akan mendapatkan gantinya  melalui lomba yang akan datang.
Jakarta, 14 Januari 2011
Dewan Juri
Anton Kurnia
A.S. Laksana
Sapardi Djoko Damono