Sudah hampir tiga minggu saya berlangganan KOMPAS. Ceritanya mengapa saya bisa berlangganan berawal dari pertemuan saya dengan distributor KOMPAS, sepertinya sih, di Gramedia SUN Plaza saat saya sedang mengambil pesanan majalah sastra HORISON dan sedang bertanya adakah KOMPAS Minggu masih tersedia. Ternyata KOMPAS memang sedang ada promosi untuk kalangan akademik dengan menawarkan harga murah untuk berlangganan KOMPAS. Hanya dengan Rp. 50.000,- saya berlangganan setiap hari. Jadi, saya tidak perlu lagi setiap hari Minggu mencari KOMPAS Minggu untuk merobek bagian cerpen dan seni untuk dikoleksi sebagai aset. Sekarang saya sudah bisa dapat setiap hari. Kalau mau hitung-hitung sih harga langganan ini sangat murah jika dibandingkan dengan KOMPAS yang di jual di Sumber dan sekitar yang seingat saya lebih murah dari harga eceran Rp. 3.500,- yaitu Rp. 2.000,- sementara saya setiap harinya hanya Rp. 1.666,6667,- hehehe... diantar lagi ke teras rumah.
Saya dari dulu memang sangat menginginkan untuk berlangganan KOMPAS. Setelah memberi tahu Makcut dan ternyata disetujui, saya pun tersenyum bahagia. Sebenarnya KOMPAS biasa-biasa saja, mungkin bagi sebagian orang lainnya. Tapi, saya memiliki perasaan yang lain tersendiri. Saya cuma incar KOMPAS Minggunya saja. Tapi, tidak ada salahnya kalau saya juga membaca yang selain Minggu. Bagi Makcut, beliau adalah ibunya saya, tahu betul seperti apa sikap saya kepada KOMPAS. Bahkan beliau minta izin dulu ke saya kalau ingin mengambil KOMPAS untuk dijadikannya sebagai alas tempat baju di lemari atau pengganjal kursi yang tidak seimbang atau yang lainnya. KOMPAS begitu saya jaga posisinya di dalam kamar saya. Saya susun dengan rapi secara berurutan sesuai dengan tanggal agar saya mudah mencari jika suatu saat nanti ada yang diperlukan. Ini termasuk arsip. Posisinya sama dengan otentik-otentik saya yang lain. Bukan hanya Makcut saja yang mengerti tentang saya yang menyukai KOMPAS, Romo juga.
Masalahnya sekarang adalah, saya masih punya utang dengan KOMPAS. Saya memang berlangganan KOMPAS. Setiap hari. Pastinya begitu, bukan? Tapi, saya sering tidak sempat membaca secara intens secara komprehensif isi dari KOMPAS dalam sehari itu. Untuk KOMPAS Senin sampai Sabtu, saya hanya merobek kolom opini untuk disimpan sebagai arsip. Setelah itu saya akan baca, tapi ya sekali lagi saya katakan kalau tidak secara keseluruhan saya baca. Sehingga saya merasa seperti masih ada yang mengganjal. Katakanlah itu saya tunda dan menjadi tugas saya untuk segera menuntaskannya. Seperti bacaan novel saya yang belum tamat-tamat. Sayangnya, saya seperti itu setiap hari. Jadinya kalau saya kemana-kemana, selain ada novel di dalam tas juga ada KOMPAS. Tapi, tetap juga tidak bisa tuntas. Saya masih punya keinginan untuk bisa melahapnya abis. Sementara KOMPAS Minggu yang kolom cerpen dan seni yang saya robek untuk saya jadikan arsip juga. Saya kemudian membaca selebihnya tapi tetap juga tidak tuntas. Jadi, saya masih punya utang. Saya harus bisa menyediakan waktu agar saya bisa mengikuti perkembangan apa pun itu.
Saya dari dulu memang sangat menginginkan untuk berlangganan KOMPAS. Setelah memberi tahu Makcut dan ternyata disetujui, saya pun tersenyum bahagia. Sebenarnya KOMPAS biasa-biasa saja, mungkin bagi sebagian orang lainnya. Tapi, saya memiliki perasaan yang lain tersendiri. Saya cuma incar KOMPAS Minggunya saja. Tapi, tidak ada salahnya kalau saya juga membaca yang selain Minggu. Bagi Makcut, beliau adalah ibunya saya, tahu betul seperti apa sikap saya kepada KOMPAS. Bahkan beliau minta izin dulu ke saya kalau ingin mengambil KOMPAS untuk dijadikannya sebagai alas tempat baju di lemari atau pengganjal kursi yang tidak seimbang atau yang lainnya. KOMPAS begitu saya jaga posisinya di dalam kamar saya. Saya susun dengan rapi secara berurutan sesuai dengan tanggal agar saya mudah mencari jika suatu saat nanti ada yang diperlukan. Ini termasuk arsip. Posisinya sama dengan otentik-otentik saya yang lain. Bukan hanya Makcut saja yang mengerti tentang saya yang menyukai KOMPAS, Romo juga.
Masalahnya sekarang adalah, saya masih punya utang dengan KOMPAS. Saya memang berlangganan KOMPAS. Setiap hari. Pastinya begitu, bukan? Tapi, saya sering tidak sempat membaca secara intens secara komprehensif isi dari KOMPAS dalam sehari itu. Untuk KOMPAS Senin sampai Sabtu, saya hanya merobek kolom opini untuk disimpan sebagai arsip. Setelah itu saya akan baca, tapi ya sekali lagi saya katakan kalau tidak secara keseluruhan saya baca. Sehingga saya merasa seperti masih ada yang mengganjal. Katakanlah itu saya tunda dan menjadi tugas saya untuk segera menuntaskannya. Seperti bacaan novel saya yang belum tamat-tamat. Sayangnya, saya seperti itu setiap hari. Jadinya kalau saya kemana-kemana, selain ada novel di dalam tas juga ada KOMPAS. Tapi, tetap juga tidak bisa tuntas. Saya masih punya keinginan untuk bisa melahapnya abis. Sementara KOMPAS Minggu yang kolom cerpen dan seni yang saya robek untuk saya jadikan arsip juga. Saya kemudian membaca selebihnya tapi tetap juga tidak tuntas. Jadi, saya masih punya utang. Saya harus bisa menyediakan waktu agar saya bisa mengikuti perkembangan apa pun itu.
Saya punya rasa, orang lain punya cerita.
--Besok ada berita apa lagi ya?
--Besok ada berita apa lagi ya?
No comments:
Post a Comment